Bab 7

Mobil sedan biru itu terparkir di halaman rumah sakit. Kevin keluar dari mobil, lantas berjalan masuk rumah sakit sambil memasukkan kedua tangan dalam saku jaket. Dia berhenti depan kasir, bertanya pada perawat wanita yang berada di sana tentang di mana kamar sang Ayah dirawat. Dan mereka menjawab jika Gravil berada di kamar lantai lima.

Kevin mengangguk, lantas berjalan menuju lift usai membungkuk sopan pada perawat. Tiba di lantai lima, mata Kevin melihat seorang Dokter yang baru saja keluar dari kamar sang Ayah dirawat bersama seorang perawat mengekor di belakang.

"Tunggu!" Kevin setengah berteriak, perawat dan Dokter berhenti, mereka menoleh.

"Ada apa? Siapa kamu?" tanya sang Dokter sambil mengerutkan kening, perawat di belakangnya diam saja menyimak.

"Saya Kevin, anak dari Tuan Gravil. Aku ke sini untuk melihat bagaimana keadaan ayahku?" tanya Kevin setelah dia membungkuk sopan pada Dokter di depannya.

Sang Dokter melirik pada Gravil yang nampak terbaring tak sadarkan diri, lantas kembali memandang Kevin seraya berkata.

"Tuan Gravil jatuh koma. Dapat dilihat jika seseorang telah menembak tepat pada bagian jantungnya. Beruntung beliau masih dapat diselamatkan, walau jatuh koma."

"Di mana kejadian penembakan? Anda pasti tahu kan?" tanya Kevin antusias.

"Di gedung lantai enam perusahaannya," jawab sang Dokter, Kevin manggut-manggut.

'Bagian jantung, ya. Jelas pembunuhan ini tidak dilakukan oleh orang amatir, pasti mereka pembunuh bayaran,' batin Kevin.

"Baiklah, terimakasih informasinya. Tolong sebisa mungkin Dokter selamatkan nyawa ayahku," ucap Kevin, sang Dokter tersenyum sembari mengangguk pelan.

Lantas Kevin mengedarkan pandangannya pada jendela kaca. Kakinya melangkah pelan mendekati jendela kaca, memandang nanar sang Ayah lewat pintu jendela. Bola mata itu sedikit bergetar, bulir-bulir air berada di sudut netra, enggan untuk keluar. Namun wajahnya masih nampak datar, nyaris tanpa ekspresi.

Sang Dokter mendekati Kevin, lantas menepuk pelan punggungnya. "Jangan khawatir. Tuan Gravil pasti akan segera sembuh." Lantas bersama perawat di belakangnya, sang Dokter berlalu pergi.

Kevin memandang sekilas punggung sang Dokter, lantas kembali mengedarkan pandangannya pada sang Ayah.

"Jangan khawatir, Ayah. Kamu dan Ibu sudah banyak membantuku. Dan aku pasti akan membalasnya. Apapun akan kulakukan untuk kalian." Matanya berkaca-kaca, namun wajahnya masih datar, nyaris tanpa ekspresi.

Usai melihat sang Ayah, Kevin berlalu pergi meninggalkan rumah sakit. Dia kembali melajukan mobilnya, sesekali tangannya yang memegang kemudi dia pukul dengan kasar.

Sekitar limabelas menit, mobil sedan biru itu berhenti di tepi jalan dekat dengan gedung bertingkat. Kevin turun dari mobil, berdiri memandang gedung bertingkat itu sebelum kakinya melangkah memasuki gedung.

Para karyawan perusahaan yang sudah mengenal siapa Kevin langusng menebar senyuman ramah mereka, sesekali ada juga beberapa yang sampai membungkuk sopan menyambut kedatangan Kevin. Namun pemdua itu diam tak bergeming, nampak tak acuh pada orang-orang yang ramah padanya.

"Lantai berapa ruangan Ayah?" tanya Kevin pada salah satu karyawan laki-laki.

"Di gedung lantai enam perusahaannya," jawab sang Dokter, Kevin manggut-manggut.

'Bagian jantung, ya. Jelas pembunuhan ini tidak dilakukan oleh orang amatir, pasti mereka pembunuh bayaran,' batin Kevin.

"Tapi Pak Gravil tidak ada," sahut karyawan sambil tersenyum kikuk.

"Aku tak berniat untuk menemuinya. Aku hanya ingin ke tempat ruangan ayahku." Sorot matanya nampak dingin, sang karyawan menelan ludah memperhatikan ekspresi dingin Kevin.

Sang karyawan mengangguk cepat, lantas berjalan mendahului, Kevin mengekor di belakang menuju lift.

"Apa Anda akrab dengan Pak Gravil?" tanya karyawan sambil menunggu lift berhenti di lantai tujuan.

"Ya," jawab Kevin singkat, dia nampak fokus pada ponselnya.

"Pak Gravil terkenal dengan ketegasannya di perusahaan ini. Dan aku pikir beliau tak akan luluh dengan putranya sekalipun. Aku sedih saat tahu beliau tertembak," kata sang karyawan dengan paras sendu.

"Kamu tahu kronologinya? Kamu tahu siapa yang menembak Ayah?" tanya Kevin, pandangannya beralih pada karyawan di sampingnya.

Sang karyawan menggeleng pelan sembari berkata, "Tidak, aku tidak tahu. Pembunuhan itu sepertinya sudah direncanakan."

"Apa ada kamera cctv di ruangan Ayah?" tanya Kevin lagi.

Sang karyawan mengangguk cepat seraya berkata, "Ya, ada. Tapi saat polisi memeriksanya, kamera cctv sudah disabotase."

"Nanti aku akan memeriksanya. Aku sedikit banyak tahu tentang komputer. Mungkin aku bisa memperbaiki kamera cctvnya," kata Kevin. Matanya kembali pada benda pipih di tangan kanan itu.

Pintu lift akhirnya terbuka, mereka telah sampai di lantai enam. Nampak di depan pintu terdapat garis kuning larangan untuk masuk ke dalam.

"Apa polisi yang memberikan garis larangan itu?" tanya Kevin. Sang karyawan langsung mengangguk cepat, raut wajahnya nampak kikuk.

"Aku perlu masuk untuk memeriksa. Apa tidak bisa?" tanya Kevin sambil matanya yang fokus pada gadis kuning larangan untuk tidak diperbolehkan masuk.

"Tidak bisa. Aku saja yang ingin mengambil dokumen penting di dalam tak diperbolehkan," kata sang karyawan sambil menghela nafas pelan.

"Kalau begitu bawa aku ke ruangan cctvnya berada," pinta Kevin. Sang karyawan mengangguk lantas membawa Kevin pada sebuah ruangan cctv yang letaknya tak jauh dari ruangan Gravil.

"Jika kamu bisa memperbaiki kamera cctvnya, mungkin kita akan mendapat petunjuk," kata sang karyawan sambil terus berjalan di depan Kevin.

"Aku akan mencobanya," kata Kevin saat mereka tiba di dalam ruangan komputer itu berada. Kini Kevin sudah duduk di kursi menghadap pada layar komputer.

Dia memeriksa setiap kejadian yang berada di kamera cctv, namun belum ada hal yang mencurigakan. Sampai di menit terakhir, tiba-tiba saja layar komputer menjadi blur dan kemudian menghitam.

"Inilah yang menyulitkan," kata karyawan saat komputer di depannya mulai menghitam. Mulutnya nampak berdecak tidak puas, sesekali tangan kanannya memukul pegangan kursi.

"Apa ini sudah diretas?" gumam Kevin, dia nampak menopang dagu.

Sepersekian detik, tangan Kevin dengan cekatan mengotak-atik layar komputer di depannya. Sesekali kedua tangannya ia regangkan, lantas kembali fokus pada keyboard di depannya.

Beberapa kali dia gagal. Namun Kevin tidak menyerah, dia terus mencoba mengotak-atik, bahkan memeriksa kabel yang menyalurkan komputer pada kamera cctv.

"Huh." Kevin menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangan saat komputer cctv telah kembali berjalan normal.

"Kamu berhasil! Bagaimana bisa kamu melakukan itu? Aku sungguh kagum," ucap sang karyawan, matanya nampak berbinar, sementara Kevin diam tak menanggapi.

Dia fokus kembali pada kamera cctv. Dalam rekaman Gravil nampak tengah duduk santai di dalam ruangannya, nampak fokus pada dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya.

Selang beberapa menit, tiba-tiba saja dinding kaca di belakang Gravil pecah. Sebutir peluru terlontar tepat mengenai punggung Gravil. Peluru itu sampai menembus pada jantung Gravil. Sang karyawan nampak tertegun, sementara Kevin masih dengan ekspresi tenangnya.

"Tak ada apapun. Hanya ada peluru melesat ke arah Ayah. Tak ada seseorang yang tertangkap kamera cctv," gerutu Kevin, tangannya nampak diremas-remas.

"Jadi, semua ini hanya sia-sia saja?" Sang karyawan berdecak kesal, namun Kevin tetap diam saja.

"Jika bagimu ini hanya sia-sia. Tapi bagiku ini semua sudah menjadi petunjuk walau samar-samar," sahut Kevin, bola matanya nampak fokus pada rekaman itu.

"Apa kamu punya rencana?"

"Entahlah. Kamu tak perlu tahu bukan? Kamu tak ada hubungannya dengan ini," sahut Kevin, kepalanya menoleh, menatap dingin karyawan di belakangnya. Jakun karyawan itu naik turun menelan ludah.

Kevin beranjak berdiri usai mengcopy rekaman itu dan menyimpannya dalam sebuah chipset kecil, memasukannya dalam saku jasnya.

"Baiklah aku akan pulang dan mencari tahu. Aku tidak akan tinggal diam membiarkan pembunuh kep*rat itu merasakan ketenangan."

"Jika kamu membutuhkan bantuanku aku siap membantu. Namaku Charlie," ucapnya, tangannya terulur, namun Kevin diam tak menanggapi uluran tangan Charlie.

"Aku tidak berniat untuk mengenalmu. Aku juga tak berniat untuk meminta bantuanmu." Lantas Kevin melangkah keluar ruangan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!