Bab 6

"Dominic, Bapak terpaksa mengambil keputusan ini untuk membuatmu berubah. Kamu akan di skors selama tiga Minggu!"

Ucapan tegas Bapak kepala sekolah masih terngiang di pikiran Dominic, hingga dirinya tiba di depan pintu kelasnya. Tubuhnya nampak gontai berdiri di depan pintu. Lantas tangan sedikit berotot itu memegang gagang pintu, membukanya.

Saat pintu terbuka lebar, nampak Kevin berdiri di ambang pintu, menghalangi jalan. Mulutnya nampak menyeringai, seakan meledek apa yang Dominic sudah alami. Dominic hendak masuk, namun Kevin merentangkan satu tangannya memegang daun pintu, membuat Dominic mengeraskan rahangnya.

"Apa yang kamu lakukan? Minggir!" Dominic mencoba untuk masuk kelas, tapi Kevin tak menggubrisnya, masih berdiri di ambang pintu.

"Jangan marah-marah begitu. Bagaimana? Apa kamu merasa puas dengan pertemuan hari ini di ruang kepala sekolah?" tanya Kevin, nadanya terkesan meledek. Tak henti-hentinya mulut itu menyeringai.

"Kamu pasti sengaja tidak melawanku, benar bukan? Kamu benar-benar sudah membuatku naik darah." Dominic mengepal erat satu tangannya, hendak memukul wajah Kevin untuk yang kedua kalinya.

Namun pukulan yang mendarat dari tangan Dominic tak mengenai wajah Kevin. Pemuda itu mengelak dengan melangkah mundur, membiarkan Dominic hilang keseimbangan dan tersungkur ke lantai.

"Jangan membuang tenagamu, Dominic. Apa kamu ingin mencari masalah denganku?" Kevin menatap tajam Dominic, namun wajahnya nampak datar.

"Sekarang apa yang akan kamu lakukan? Melampiaskan kemarahanmu padaku untuk yang kedua kalinya?" Kevin menaikkan kedua alisnya, kedua tangan itu terlipat di dada bidangnya.

Dominic beranjak berdiri seraya menepuk-nepuk lututnya yang berdebu, mengabaikan Kevin yang masih berdiri bersedekap dada di sampingnya. Lantas pemuda itu berjalan menuju bangkunya, meraih tasnya, lantas berjalan menuju pintu keluar.

Kevin kembali menyeringai memandang cara berjalan Dominic yang nampak gontai. Ia menjulurkan tangan kirinya tepat di hadapan Dominic. Sontak kaki Dominic tersandung pada kaki Kevin, kembali dirinya tersungkur ke lantai.

"Aduh, udah dua kali jatuh. Gimana? Sakit?" Kevin menepuk-nepuk pelan kakinya, seakan membersihkan debu kotor yang menempel.

Kevin duduk berjongkok. Tangannya menyentuh dagu Dominic, sorot matanya nampak dingin dan datar, nyaris tanpa ekspresi.

"Wajahmu saja yang kelihatan beringas. Namun nyalimu langsung ciut tanpa anak buahmu," kata Kevin dingin.

Tangan yang masih memegang dagu Dominic ia tekan, semakin erat tangan itu memegang dagu Dominic. Hingga membuat Dominic meringis kesakitan saat salah satu kuku tajam Kevin mengenai dagunya. Cairan merah kental sedikit mentesi lantai, beraroma anyir.

Sebelum tangan itu ia tarik dari dagu Dominic. Tangannya yang lain nampak terkepal erat, lantas tangan yang terkepal erat itu terangkat, mendaratkan beberapa pukulan di wajah beringas Dominic. Hingga mengeluarkan cairan merah kental di sudut bibirnya.

Dominic meringis kesakitan. Tangannya hendak menyeka cairan merah kental di sudut bibir, namun Kevin dengan kasar langsung menepisnya. Lantas Kevin mendaratkan satu tamparan tepat di sudut bibir Dominic, membuat pemuda itu mengerang kesakitan.

"Bagaimana? Rasanya pasti sakit dengan pukulan ini? Rasanya sama saat kamu memukul wajahku," kata Kevin, sorot matanya masih dingin. Dominic menelan ludah ketika matanya menatap mata Kevin.

Tak bisa membuka mulut, rasa perih dan sakit di kedua pipinya sudah tak terasa. Seakan tatapan mata Kevin membuat sekujur tubuhnya membeku, tak bisa merasakan apa-apa, mati rasa. Dominic ingin melawan pemuda di depannya, namun bangkit berdiri saja tidak mampu. Tubuhnya gemetar, giginya gemeratak.

"Ini kali pertama dan terakhir aku melakukan ini padamu. Lain kali jika kamu ingin menjahili seseorang." Kevin kembali berjongkok. "Lihat dulu siapa yang akan kamu jahili." Kevin kembali berdiri, lantas melangkah pergi menuju pintu keluar kelas sembari menenteng tas gendongnya di balik punggung.

Kevin tengah menunggu taxi yang dipesannya saat tiba-tiba saja suara dering seperti alarm berbunyi menarik perhatiannya. Dia lantas merogoh saku jasnya, mengambil ponsel dan mengangkatnya.

"Iya, Ibu. Ada apa?" tanya Kevin, wajahnya nampak datar.

Setelah cukup lama berbicara dalam telfon, Kevin mematikan ponselnya. Tangannya mengepal erat memegang benda pipih itu. Taxi datang, Kevin lantas masuk dalam mobil.

"Mau ke mana, Tuan?" tanya sopir taxi, terdengar ramah.

"Pulang," jawabnya singkat.

Tak lama mobil taxi itu berhenti di tepi jalan dekat gerbang pintu besi yang luas dan besar. Kevin lantas turun dari mobil.

Dengan langkah kakinya yang cepat dirinya masuk pintu gerbang, mengacuhkan Pak satpam yang membungkuk sopan padanya.

Kakinya terus melangkah memasuki rumah besar nan mewah itu, para pelayan menyambutnya ramah, namun Kevin diam tak bergeming.

Kakinya berhenti saat kedua mata itu menangkap tubuh sang Ibu yang nampak gontai duduk bersender pada kaki sofa. Tak henti-hentinya sudut netranya mengeluarkan bulir-bulir air hangat. Sorot mata Kevin sedikit bergetar memandang sang Ibu yang masih terisak, namun wajahnya masih nampak datar.

Perlahan Kevin melangkahkan kakinya menghampiri sang Ibu. Duduk di sampingnya seraya berkata.

"Bagaimana ini bisa terjadi, Ibu? Bagaimana Ayah bisa kecelakaan? Siapa orang yang sudah berani melukai Ayah?" tanya Kevin, nadanya sedikit bergetar, namun wajahnya nampak masih datar.

"Ibu tidak tahu. Sekarang ayahmu di rumah sakit, Dokter mengatakan jika Ayah jatuh koma." Kirana terisak, tak henti-hentinya bulir-bulir air hangat itu keluar dari sudut netra.

"Kalau begitu aku akan ke rumah sakit. Ibu, di rumah sakit mana Ayah dirawat?"

Usai Kirana memberikan alamat rumah sakitnya. Kevin beranjak berdiri, membantu sang Ibu untuk bangkit. Lantas tangannya meraih tangan sang Ibu, memapahnya hingga sampai kamar. Lalu Kevin membaringkan tubuh sang Ibu di atas ranjang, membalutnya dengan selimut tebal.

"Ibu istirahat saja. Biar aku yang ke rumah sakit menemui Ayah." kata Kevin usai menyelimuti sang Ibu. Kirana hanya mengangguk, bibirnya nampak dipaksakan untuk tersenyum pada putranya itu.

'Mereka sudah baik padaku, memberiku tempat tinggal dan kasih sayang. Aku pasti akan mencari tahu siapa yang sudah melukai Ayah.'

Tanpa berganti baju terlebih dulu, Kevin langsung melangkah pergi keluar rumah setelah melemparkan tas gendongnya di sofa. Carlos nampak mengusap-usap mobil sedan mewah itu saat Kevin berdiri di belakangnya.

"Aku akan menggunakan mobil satunya. Di mana kunci mobilku?" tanya Kevin. Carlos nampak bingung, tapi dia dengan cekatan memberikan kunci mobil sedan biru, mobil pribadi milik Kevin, namun dirinya hanya jarang saja memakainya.

"Tumben sekali Tuan Muda ingin megendarai mobil sendiri?" tanya Carlos sembari menyodorkan kunci mobil, dan Kevin meraihnya.

"Ini penting. Kamu tak perlu ikut, di rumah saja. Siaga jika Ibu ingin pergi, kamu antar," kata Kevin, Carlos mengangguk cepat.

Kevin menyalakan mobil berwarna biru tua yang nampak kinclong itu, lantas langsung menancap gas, melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

"Tuan Muda Kevin benar-benar tampan dan keren. Dia juga pintar. Tak heran jika Nyonya dan Tuan mau mengadopsi dirinya." Carlos tersenyum tipis, kemudian fokus kembali mengusap-usap mobil sedan hitam itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!