Bab 3

Kevin menghela nafas, bola mata yang tadinya nampak bergetar kini kembali normal. Mulutnya nampak menyeringai menatap tubuh sang Ibu yang masih bergelantungan di langit-langit atap. Tangan itu menyeka keringat yang sedikit membasahi pipi, lantas mendudukkan pantatnya di lantai bersender pada kaki ranjang.

Kevin mendongakkan kepalanya, kini matanya saling beradu pandang dengan mata sang Ibu yang nampak melotot, bibirnya terbuka lebar disertai air liur yang sebelumnya terus muncul, namun kini sudah menghilang bak ditelan kesunyian.

Saat bola mata itu menatap wanita bergelantungan di langit-langit atap. Kembali bola matanya bergetar, bulir-bulir air kembali keluar dari sudut netra. Kevin kembali menyeka air mata itu menggunakan punggung tangan seraya beranjak berdiri.

"Aku senang. Tapi aku juga sedih saat aku sudah kehilangan semuanya. Aku tak punya siapa-siapa lagi." Kevin melangkah mundur, kini dia berdiri di ambang pintu.

"Selamat tinggal, Ibu. Jangan khawatir. Aku pasti akan membalaskan dendammu pada Ayah. Aku akan mencarinya, jangan khawatir.

Di sini aku merasa sudah tak punya tujuan hidup. Tapi setelah melihat Ibu pergi meninggalkanku, aku mulai berpikir jika apa yang Ibu katakan sebelumnya benar.

Aku harus melakukan sesuatu untuk Ayah. Jika aku berhasil menemukannya, maka aku akan memberinya kejutan indah." Kevin tersenyum, terkesan menyeringai lebar. Lantas ia berbalik, melangkah keluar kamar sebelum tangannya menutup pintu.

* * *

Lima hari telah berlalu begitu cepat, dan kini mayat Madya masih bergelantungan di langit-langit atap. Bau bangkai mulai berbau menyengat. Sosok wanita paruh baya yang tinggal tidak jauh dari rumah Madya mulai mencium bau bangkai itu. Sesekali wanita paruh baya itu memandang rumah Madya lewat pintu jendela, hening dan sunyi, tak siapapun di sana.

"Sepertinya aku harus turun tangan. Apa Bu Madya tidak mencium bau bangkai ini," gerutu wanita paruh baya sembari melangkah keluar, menuju rumah Madya.

Wanita paruh baya itu berdiri di depan halaman rumah Madya. Matanya lantas menangkap sosok anak kecil yang nampak duduk di teras rumah, nampak termenung. Wanita paruh baya itu lantas melangkah maju menghampiri Kevin.

"Nak, di mana ibumu? Aku mencium bau bangkai dari beberapa hari yang lalu. Apa ibumu tidak membuang bangkai tikusnya?" tanya wanita paruh baya itu, dia nampak memegang hidung dengan tangan kanannya.

Kevin tersadar dari lamunannya. Kepalanya mendongak, mata itu nampak menatap kosong pada wanita paruh baya di hadapannya. Wanita itu sedikit melangkah mundur, merasa jika anak kecil di depannya itu terlihat begitu menakutkan dengan penampilannya yang nampak acak-acakan.

"Apa Bibi mencari Ibu?" tanya Kevin, mulutnya menyeringai. Wanita paruh baya mengusap-usap tengkuknya, terasa dingin sambil menganggukkan kepala.

"I-ya. Apa dia di rumah?"

"Dia memang di rumah. Bibi harus menolong Ibu."

"Menolong? Apa maksudmu?" tanya wanita paruh baya, keningnya nampak berkerut.

Kevin beranjak berdiri, lantas melangkah masuk rumah. Wanita paruh baya itu hendak mengikuti Kevin, tapi dia berhenti saat melihat lantai teras yang diduduki Kevin nampak berbekas aneh, artinya anak itu sudah duduk di sana cukup lama.

Wanita paruh baya menggelengkan kepalanya dengan kasar, menyadarkan pikirannya yang sudah melangkah jauh. Kevin berhenti di ambang pintu, memiringkan kepalanya seraya berkata.

"Kenapa Bibi masih di situ? Ayo." Wanita paruh baya mengangguk lantas mengekor di belakang Kevin.

Anak itu terus melangkahkan kakinya, melewati dapur, lorong yang nampak gelap. Hingga tak berselang lama, langkah kaki Kevin berhenti di depan pintu yang tertutup rapat. Kembali wanita paruh baya memegangi hidung dengan satu tangannya karena bau bangkai yang kembali tercium.

"Apa yang ada di dalam ruangan itu? Kenapa bau bangkainya benar-benar menyengat?" Wanita paruh baya masih memegangi hidungnya, perutnya terasa diaduk-aduk.

Ingin sekali wanita paruh baya itu berlari ke kamar mandi, mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Namun ia enggan melakukannya karena itu termasuk perbuatan yang tidak sopan di rumah tetangga.

"Aku akan membuka pintunya. Tapi setelah apa yang Bibi lihat, Bibi tak perlu terkejut atau takut," ucap Kevin, matanya menatap kosong pada wanita paruh baya di depannya.

Wanita paruh baya mengangguk ringan, walau tengkuknya kini mulai kembali terasa dingin, meremang. Wanita paruh baya bergidik ngeri, memperhatikan sekeliling. Semua benda yang berada di ruangan itu tak terawat.

Bahkan bekas pecahan gelas dan piring di lantai ruang depan masih berserakan di sana. Wanita paruh baya harus berhati-hati dalam melangkahkan kakinya saat melewati pecahan gelas dan piring itu.

Kevin mendekati pintu, tangannya memegang gagang pintu. Dia membuka pintu itu perlahan-lahan, deritan pintu itu terdengar cukup kasar, memecah keheningan.

'Suasananya mulai terasa aneh. Rumah ini benar-benar aneh,' batin wanita itu.

Wanita paruh baya menelan ludah, tak sabar melihat apa yang sebenarnya berada dalam ruangan itu. Tapi dirinya juga bergidik ngeri, merasakan tengkuknya yang meremang hebat.

Kini pintu terbuka lebar. Wanita paruh baya melangkah perlahan memasuki kamar mengekor di belakang Kevin. Saat dirinya sudah berdiri di ambang pintu, wanita paruh baya terbelalak.

Kedua kakinya bergetar, terasa lemas. Sulit rasanya untuk menggerakkan kaki itu, juga sulit rasanya untuk membuka mulut. Keringat dingin mulai keluar, membasahi wajah dan lehernya.

Kevin terdiam, matanya masih kosong menatap mayat sang Ibu yang masih tetap dibiarkan bergelantungan di langit-langit atap. Sementara mulut wanita paruh baya itu terkatup rapat, tak bisa membuka mulutnya.

Bahkan untuk menggerakkan lehernya saja tak bisa, seakan leher itu telah membeku. Kevin menoleh, lantas menepuk kasar punggung wanita paruh baya, dan membuatnya kembali tersadar.

"Nak, apa ini benar Bu Madya?" tanya wanita paruh baya, matanya nampak bergetar.

"Iya. Ibu bunuh diri lima hari yang lalu." Kevin nampak tenang, wajahnya datar nyaris tanpa ekspresi.

Wanita paruh baya kembali terbelalak, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Perlahan dia melangkah mundur, tangannya merogoh saku baju, mengambil ponselnya.

Bu Madya mengubungi polisi, setelah itu dia membawa Kevin pergi keluar dari rumah, masih membiarkan mayat Bu Madya tergelantung di langit-langit atap.

"Kita di sini akan menunggu polisi datang. Kamu jangan takut ya, Kevin." Wanita paruh baya memegang tangan Kevin.

Selang setengah jam, akhirnya sekitar dua mobil kepolisian datang dan memakirkannya depan rumah Kevin. Salah satu polisi datang membawa garis larangan untuk masuk usai mayat Bu Madya dibawa keluar untuk dievakuasi.

"Apa aku tak bisa tinggal di sini?" tanya Kevin pada salah satu polisi wanita yang berdiri tak jauh darinya.

Polisi wanita menoleh, lantas berjongkok. Kedua tangannya memegang pundak Kevin seraya berkata dengan ramah.

"Tidak bisa. Apa kamu punya anggota keluarga lain?" tanya polisi wanita bernama Ariana itu. Kevin menggeleng ringan, matanya menatap kosong.

"Kamu sungguh kasihan." Ariana mengelus lembut kepala Kevin, tapi ekspresi Kevin masih tetap sama, dingin dan datar.

"Kami akan mengadopsinya." terdengar suara lelaki, Ariana menoleh ke sumber suara.

Sosok lelaki yang belum terlalu tua dan juga wanita cantik berdiri di halaman depan rumah Kevin. Raut wajah mereka nampak terlihat gusar, namun tetap memaksakan bibir mereka tersenyum ramah.

"Apa kalian saudara dari anak ini?" tanya Ariana.

"Tidak, bukan. Tapi kami akan menjaganya, kami mengenalnya."

"Baiklah. Jika kalian merasa mampu dan ingin, aku akan mengizinkan." Ariana menoleh pada Kevin, berharap anak itu akan mengerti. Dan Kevin hanya mengangguk tanda setuju.

'Aku akan segera mencarimu, Ayah. Tunggulah aku.'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!