Bab 2

Hamparan tanah dengan rumput-rumput hijau menampakkan banyaknya benda-benda untuk bermain, seperti sebuah ayunan, jungkat-jungkit, atau bahkan tempat untuk pelosotan pun ada di sana. Langit masih nampak cerah walau warna jingga hampir menutupi langit, terik matahari pun kian kembali pada tempatnya untuk beristirahat.

Sepasang tangan itu nampak membawa banyak kantong plastik hitam. Salah satu kantong plastik terdapat beberapa macam sayuran hijau, juga tomat dan wortel pun berada di sana. Mata ungunya memandang nanar beberapa anak kecil yang nampak asik bermain di taman.

Ingin sekali kedua kaki itu melangkah maju, bergabung dengan anak-anak kecil yang nampak bahagia. Namun mata yang melirik banyak kantong plastik hitam itu memaksa dirinya untuk tidak melangkah maju. Ia urungkan niat bergabung dengan mereka, lantas berbalik badan, berjalan pergi ke arah yang berlawanan dengan taman.

Sesekali matanya melirik taman dan anak-anak kecil itu dengan tatapan nanar, lantas kembali beralih pada pandangannya yang lurus ke depan.

'Aku harus bisa menerima kenyataan pahit ini. Teruslah bergerak maju, jangan menoleh!'

Tiba di rumah, Kevin melepas sandalnya dan hendak masuk rumah. Ruangan yang seperti biasa, berantakan dan minim pencahayaan. Kali ini ada begitu banyak pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. Kevin mengedarkan pandangannya pada semua sudut ruangan, tak ada apa-apa selain pecahan gelas dan piring.

"Ibu ...."

Teringat akan sang Ibu. Kevin bergegas menuju dapur. Aroma seperti makanan gosong tercium saat Kevin tiba di dapur. Di atas kompor nampak wajan dengan makanan di sana yang nampak kelihatan hitam, gosong. Kompor dibiarkan tetap menyala, kepulan asap beraroma sangit melayang di udara.

Kevin mengedarkan pandangannya ke sudut ruangan lain, dia melihat Madya ibunya nampak terduduk di lantai bersender dinding. Raut wajahnya nampak kacau, sesekali tangan kanannya menggores lengan kiri sendiri hingga mengeluarkan cairan merah kental.

"Apa yang ibu lakukan!" Kevin meraih kedua tangan sang Ibu, memegangnya erat. Bola matanya nampak bergetar, bulir-bulir air keluar dari sudut mata.

"Kenapa. Kenapa Ayahmu meninggalkan Ibu!" seru Madya, giginya nampak gemeretak, wajahny merah padam.

Kevin diam tak bergeming, wajahnya tertunduk. Dia menyeka air mata di sudut matanya dengan punggung tangan, lantas kembali tangannya memegang dan mengelus kedua tangan sang Ibu yang sudah nampak sedikit keriput.

"Ibu, aku selalu di sini bersama Ibu. Kevin tidak akan pernah meninggalkan Ibu." Kevin mengulurkan kedua tangannya, lantas meraih tubuh sang Ibu, memeluknya erat.

Madya mengginggit bibir bawahnya, giginya gemeratak. Kedua tangan itu menyentuh punggung Kevin, lantas mendorongnya sekuat tenaga, hingga menyebabkan Kevin terduduk ke lantai.

"Aku tidak butuh kamu! Kamu hanyalah anak pembawa sial!" seru Madya. Kevin terbelalak, tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut sang Ibu.

Kevin beranjak bangun, kedua tangannya terulur, hendak meraih tubuh sang Ibu. Tetapi dengan kasar Madya kembali mendorong tubuh Kevin, membuatnya terjatuh menghantam meja dapur. Gelas dan piring yang terletak di atas meja jatuh saat meja bergetar, hampir saja gelas dan piring itu akan menghantam kepala Kevin.

Tapi anak kecil itu berhasil menghindar. Madya beranjak berdiri lantas melangkah pergi masuk ke kamarnya. Kevin masih duduk terdiam bersender pada kaki meja, kedua tangannya gemetar. Bola matanya bergetar, kembali bulir-bulir air hangat itu keluar dari sudut mata.

Kevin memeluk tubuhnya sendiri, memeluk kedua lututnya. "Aku sungguh hanya ingin membuat Ibu tersenyum. Tapi kenapa ...." Kevin tak melanjutkan ucapannya.

Kevin hendak bangkit berdiri, namun tangan kirinya tak sengaja menyentuh pecahan piring dan gelas. Kevin meringis kesakitan, dia mengangkat tangan kirinya. Terdapat cairan merah kental terus menetes ke lantai dari tangan kirinya.

Kevin masuk kamar sembari memegangi tangan kirinya yang terus mengeluarkan cairan merah kental, tak kunjung berhenti. Dia membuka lemari, mengambil obat p3k lantas membalut tangannya dengan perban.

"Kenapa Ibu begitu tidak menyukaiku? Apa salahku?" Usai memerban tangan kanannya, Kevin terduduk di lantai bersender pada kaki ranjang.

Matanya nampak sembab, hingga sedikit bengkak pada kelopak matanya. Sekuat tenaga dia menahan air matanya untuk tidak keluar. Nyatanya hal itu sulit untuk dilakukan saat dia mengingat kembali ucapan pedas sang Ibu.

* * *

Langit nampak cerah yang masih menampakkan sedikit langit jingganya. Matahari kian muncul, menampakkan cahayanya yang terasa hangat.

Sepasang tangan nampak cekatan menumis bumbu dan sayuran, meletakkannya dalam wajan di atas kompor dengan api sedang. Usai menyiapkan masakannya di atas meja, Kevin melangkah pergi, hendak masuk kamar untuk bersiap.

"Mau ke mana?" Madya meraih tangan Kevin saat dirinya akan masuk kamar.

"Kevin akan siap-siap dan berangkat sekolah," ucap Kevin, nadanya sedikit gemetar.

"Jangan sekolah! Tidak ada gunanya kamu sekolah. Apa kamu pikir dengan sekolah kehidupan kita akan bisa berubah?

Lebih baik sekarang kamu cepat bersihin rumah, pel lantai dan sapu sampai bersih. Itu juga piring kotor dicuci." Madya duduk di meja makan, mulai menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Kevin.

Kevin terdiam mematung. Matanya menatap kosong sang Ibu. Kedua tangannya mengepal erat, sedikit gemetar. Dia melangkah mendekati sang Ibu, menatapnya kosong seraya berkata.

"Kevin ingin sekolah! Kevin ingin mengubah hidup! Kevin ingin mengubah hidup Ibu! Kevin ingin Ibu bahagia." Walau matanya yang nampak menatap kosong. Tetapi jelas sekali bola mata itu nampak gemetar, menahan air matanya untuk tidak keluar.

Madya berhenti makan, sendok yang dipegangnya ia lempar hingga menghantam dinding. Kevin tersentak, tapi matanya masih kosong menatap sang Ibu.

Madya menoleh, menatap Kevin dingin seraya berkata, "Jika kamu ingin aku bahagia." Madya mendekatkan wajahnya, menatap Kevin dengan bola matanya yang nampak menonjol. "Bawa aku pada ayahmu. Kamu bisa kan?"

"A-ku ...." Kevin tak bisa berkata lagi. Tenggorokannya seakan tak bisa diajak berkompromi. Kedua tangannya gemetar, keringat dingin membasahi pipinya.

"Kenapa diam? Kau tak bisa." Madya beranjak berdiri, meninggalkan makanan yang masih cukup banyak di atas piring.

"Tunggu, Ibu!" Kevin meraih tangan sang Ibu, matanya nampak berkaca-kaca.

"Kevin hanya ingin Ibu bahagia. Tapi Kevin tak bisa mengabulkan permintaan Ibu. Kevin bahkan tidak tahu di mana Ayah sekarang."

"Kalau begitu." Madya berjongkok, menatap Kevin dingin. "Buatlah ayahmu menderita. Apa yang sudah terjadi pada Ibu adalah salah ayahmu." Madya memegang kedua pundak Kevin, memegangnya erat, hingga membuat pundak itu bergetar.

"A-pa ...." Kevin terbelalak.

"Benar. Buatlah ayahmu menderita. Cari dia dan balaskan dendam Ibu pada ayahmu. Dialah yang sudah membuat Ibu menderita. Aku ingin dia juga menderita." Bola matanya nampak gemetar, Madya yang sebelumnya selalu memandang Kevin dengan tatapan dingin, kini mata itu nampak berkaca-kaca menatap putra tunggal di depannya.

Madya kemudian beranjak berdiri, melangkah masuk kamar. Kevin masih berdiri terdiam, matanya menatap kosong di hadapannya.

"Balas dendam, ya." Kevin memiringkan kepala, matanya kembali menatap kosong.

Ketika Kevin hendak masuk kamar, tiba-tiba saja terdengar suara seperti ada orang yang memukul tembok di dalam kamar sang Ibu. Kevin berhenti di ambang pintu kamarnya, dia menajamkan pendengarannya.

Suara itu masih terdengar cukup jelas. Lantas Kevin berjalan mendekati pintu kamar sang Ibu, dia memberanikan diri untuk mengetok pintu.

"Ibu, ada apa? Apa Ibu baik-baik saja?"

Hening, tak ada suara sang Ibu menjawab. Kevin mulai terlihat gusar. Dia menelan ludah, menghela nafas panjang lantas memberanikan diri untuk membuka pintu kamar.

Mata Kevin terbelalak, dia berdiri mematung di dalam kamar sang Ibu. Bola matanya bergetar, keringat dingin membasahi wajah dan kedua tangannya.

"Ibu!" Kevin berteriak, tubuhnya masih berdiri mematung melihat apa yang berada di depannya.

Seutas tali tambang nampak bergelantungan di langit-langit atap. Tali itu menjerat leher sosok wanita yang tidak lain adalah Madya, Ibu Kevin. Tubuhnya bergelantungan di langit-langit atap, lehernya nampak memerah karena jeratan tali yang cukup erat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!