Suffering
PERHATIAN!!! JIKA INGIN MENSKIP MASA KECIL KELAM SANG MC. BISA BACA MULAI DARI BAB (4) YA!! TAPI DISARANKAN YA BACA DARI AWAL BAB SIH ... (^^)
05 Januari 2025 ....
Butir-butir air turun dari langit, membasahi tanah dan jalanan sekitar. Awan-awan yang sebelumnya nampak putih cerah kini hanya bersisakan awan hitam tebal menyelimuti langit. Terik matahari kini sudah tak dapat dirasakan. Hanya menyisakan suasana dingin, sedikit gelap karena hujan yang kian deras.
Bola matanya yang nampak ungu cerah memandang nanar rintik-rintik hujan dari balik jendela kaca. Duduk termenung menopang dagu, matanya menatap luar jendela, memandang rintik-rintik hujan yang kian deras mengguyur halaman sekolah.
Sepasang tangan nampak dengan cekatan menggulung secarik kertas yang sudah diberi air dingin membentuk bola-bola berukuran sedang. Tangan kanan dengan balutan sarung tangan plastik putih yang memegang bola kertas itu ia angkat, lantas melemparnya menuju pada anak kecil yang duduk di sudut ruangan, dekat pintu jendela.
'Aku akan mengerjainya. Pasti ini akan sangat seru,' batin anak sambil tangannya fokus menggulung kertas itu.
Mata anak itu masih memandang nanar luar jendela Rintik-rintik hujan kian membesar, kian deras. Tangannya masih menopang dagu, sesekali ia mengerjapkan kedua matanya.
Matanya kembali mengerjap saat pipi kanannya terasa terkena sesuatu yang dingin. Matanya sedikit melirik pada pipi kanan. Nampak bola kertas terasa dingin menempel pada pipi kanannya, begitu dingin.
Tangan kanannya terangkat, hendak meraih bola kertas yang terasa dingin itu. Pipi kanan itu sampai membekas merah karena terkena air dingin, tepatnya air yang berasal dari dalam kulkas, belum membeku.
'Kenapa dia gemar sekali menggangguku? Aku sungguh muak melihat wajahnya yang sangat menyebalkan itu," batin Kevin.
Mata Kevin menangkap sosok anak seusianya berdiri tak terlalu jauh darinya duduk. Mulut anak itu nampak menyeringai puas, di tangan kanannya masih ada satu bola kertas dingin.
Dengan kasar tangan Kevin melempar bola kertas di lantai, lantas mengedarkan pandangannya kembali pada luar jendela. Sosok anak itu nampak memasang wajah masam saat Kevin tak memberikan sedikitpun raaksinya.
"Hei! Kamu tidak punya Ayah kan? Aku dengar ibumu tidak waras. Apa aku berkata benar?" tanya anak itu dengan senyum seringainya, seakan memancing emosi Kevin.
Namun anak kecil berambut hitam pekat itu diam tak bergeming, seakan ucapan pedas anak nakal itu hanyalah angin lewat yang tak perlu dihiraukan.
Sekali lagi tangan yang memegang bola kertas itu ia lempar. Untuk yang kedua kalinya bola kertas itu hendak mengenai pipi Kevin. Namun dengan cepat anak itu menangkap bola kertas dingin hanya dengan kedua jari tanpa menolehkan kepalanya. Anak nakal terbelalak tak percaya, dia hanya bisa berdecak kesal sembari kembali duduk di bangkunya karena pelajaran yang akan dimulai.
Bel berbunyi. Mata Kevin kembali memandang luar jendela. Rintik-rintik hujan masih berjatuhan di tanah, membentuk butir-butir sebesar biji jagung. Kevin menghela nafas pelan seraya menggendong tas di belakang punggungnya.
"Huh. Aku pikir saat pulang hujan akan berhenti," gumam Kevin dengan parasnya yang nampak gusar.
Tak ada jas hutan, tak ada payung. Kevin hanya bisa menunggu hingga hujan mereda di depan teras sekolah. Ia tak bisa menunggu dalam kelas karena sebentar lagi semua pintu sekolah akan ditutup.
Suasana semakin dingin. Awan gelap tak kunjung hilang, kabut-kabut tipis mulai muncul membuat suasana menjadi mencekam. Kedua tangannya mengusap-usap punggung tangan, juga memeluk tubuhnya sendiri untuk meredakan hawa dingin yang mulai masuk dalam tubuh.
Saat semua pintu sekolah ditutup, Bu Miranti wali kelas Kevin pun juga keluar dari ruangan seraya membuka payungnya. Ketika kedua kaki itu hendak melangkah menerobos hujan, matanya tak sengaja melihat anak muridnya yang masih berada di teras depan.
Bu Miranti sempat menatap anak muridnya itu dengan seksama sebelum akhirnya ia mengangguk pelan seraya berjalan menghampirinya.
"Kevin, kenapa kamu masih di sini?" tanya Bu Miranti seraya menepuk pelan punggung Kevin, membuat anak itu tersentak.
Kevin menoleh sejenak lantas kembali memandang di depannya sembari menjawab, "Aku masih menunggu hujan berhenti. Aku tak membawa payung ataupun jas hujan." Wajahnya datar, terkesan dingin.
"Tapi ini sudah sore. Begini, bagaimana kalau Ibu antar kamu pulang?" usul Bu Miranti ramah, payungnya sudah terbuka, tapi dibiarkannya tergeletak di lantai teras.
"Tidak perlu, Bu," sahut Kevin datar.
"Kenapa? Hujan sepertinya tak akan reda. Biar Ibu antar kamu pulang saja, tidak apa-apa kok."
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, terimakasih sudah mau menemaniku." Kevin berlari, meninggalkan Bu Miranti yang masih berdiri terdiam di teras sekolah.
Semakin cepat kaki Kevin melangkah menerobos hujan yang kian deras, hingga membuat seragam dan tas gendongnya basah kuyup. Kedua mata Bu Miranti masih menatap punggung Kevin yang kian berlalu pergi sembari menghela nafas pelan, lantas meraih payungnya dan berlalu pergi menerobos hujan.
Saat Kevin tiba di depan halaman rumahnya, butir-butir air sebesar biji jagung itu kini sudah mulai mengecil, membentuk Rintik-rintik gerimis.
Kevin berdiri di depan pintu, mengusap-usap punggung tangannya sembari melepas sepatu dan kaos kakinya. Usai melepas kaos kaki dan sepatu, Kevin mengetuk pintu.
"Ibu!"
Hening, tak ada yang membuka ataupun jawaban dari sang Ibu. Perlahan tangannya bergerak memegang gagang pintu, dan membuka pintu. Sunyi, hening dan gelap. Itulah yang terlihat saat Kevin masuk dalam rumah yang nampak sederhana itu.
Kevin diam saja, berdiri di ambang pintu. Dia menelan ludah, mengedarkan pandangannya pada sekeliling sudut ruangan. Hening, juga minim pencahayaan dengan lampu temaram yang terpasang di atap-atap langit dengan cat putih yang sudah sedikit mengelupas.
Lantai terlihat sedikit kotor, terdapat jejak kaki yang berlumpur menempel di lantai. Kevin melangkahkan kakinya perlahan masuk ke dalam kamar.
"Kevin, darimana saja kamu?" Suara yang terdengar tidak asing bagi Kevin. Sang Ibu
bernama Madya.
Tanpa Kevin sadari, dari saat dirinya masuk rumah. Sosok wanita paruh baya dengan rambutnya yang tergerai berdiri dikegelapan.
Kevin berhenti di depan pintu kamarnya, tangannya yang sudah memegang gagang pintu langsung ditarik dan membalikkan badan, menatap sang Ibu yang nampak memandangnya dingin.
"Tadi hujan. Dan aku harus menunggu hujan sedikit reda untuk bisa pulang. Di rumah tak ada payung ataupun jas hujan." Kevin nampak terbata-bata dalam berbicara, bulir-bulir keringat dingin membasahi kedua tangan dan pipinya.
Madya melangkah menghampiri putra tunggalnya itu. Matanya menatap kosong pada Kevin, tangan kanannya bergerak menyentuh kepala Kevin. Anak itu nampak gemetar, wajahnya tertunduk, kedua tangannya bergetar hebat.
Kevin mengangkat wajahnya saat merasakan sentuhan lembut tangan sang Ibu. Wanita itu masih menatap kosong pada Kevin.
"Lain kali harus cepat pulang. Ibu tidak peduli walau kamu harus kehujanan." Nadanya nampak dingin, wajahnya pun datar, dan tatapannya nampak mengerikan.
Tangan yang sebelumnya menyentuh lembut kepala Kevin, kini terasa erat dan menyakitkan saat kuku-kuku tajam di tangannya sedikit menusuk daging kepala Kevin.
"Kevin janji akan pulang tepat waktu Ibu!" serunya. Kevin meringis menahan sakit di kepalanya.
Madya melepas tangannya yang mencengkeram kepala Kevin, wanita itu melangkah pergi masuk kamar. Setelah Madya masuk kamar, Kevin menyentuh kepalanya. Nampak cairan merah kental menempel pada telapak tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Nataleeus Gamara
sarann sy thorrr..kelarin karyanya atu atuuu ..jgn terlalu kemarukk....ujung2nya..ngak ada satupun karya anda yg kelar ampe tamat...yg ada cmn hiatus ngak jelas....akhirnya numpukkk jadi SAMPAHHHHH. di pustaka NT...
maaf..ini hanya sekedar sarann ..kalo anda tdk suka abaikannn saja....😂😂😂😂😂😂😂😛
2023-01-18
0