"Kamu beneran tidak mau tinggal di sini? Ini rumahmu juga, Violete." Ricko duduk mengunyah makanannya. Saat sedang makan ditemani adik barunya yang sebenarnya lebih tua darinya.
"Sudah kubilang sebelumnya, bukan? Kita tidak bisa tinggal bersama karena aku tidak ingin terkurung di sangkar emas ini." Violete sebenarnya lebih ke trauma karena rumah besar itu mengungatkan pada rumahnya yang tidak kalah besar.
Dalam hidupnya, ia jarang bisa keluar dari rumah karena selalu mengerjakan pekerjaan rumah di tempat yang sangat besar dan mewah. Sehingga tidak ada waktu pergi keluar bersama teman-temannya. Setelah dirinya dikabarkan meninggal, mulai saat itu pun ia meninggalkan kehidupannya yang dulu. Nama dan identitas telah berganti tapi ia masih tetap ingin tinggal seorang diri. Tidak ingin berada di tempat yang mengingatkan dengan masa lalunya. Ia lebih memilih mengontrak rumah kecil yang tidak membuatnya repot membersihkan atau tinggal di apartemen.
"Masalah menjadi guru, aku sudah mengaturnya untukmu. Menurut data yang kamu berikan sebelumnya, aku sudah mengaturnya. Kamu tinggal datang saja ke sekolah itu."
"Terima kasih, Kakak yang tampan. Aku tidak perlu khawatir lagi ke depannya karena masih bisa melihat Rosy, anakku. Yang paling membahagiakan bagi seorang ibu adalah bisa melihat putri kecilnya tersenyum. Bukankah seperti itu, Paman kecil?"
"Sialan! Kenapa malah menyebutku paman kecil? Aku tidak suka dipanggil seperti itu, Tante. Lebih baik kamu bereskan makanmu! Nanti akan ku antar kamu ke apartemenku saja. Kamu puas, bukan?" Ricko berbicara seolah-olah sedang marah. Namun ia merasa senang karena rasa memiliki seorang yang bisa diajaknya berbicara tanpa adanya rasa canggung.
Dalam kehidupannya, Ricko seperti hidup dalam kehampaan. Ia tidak bisa bercanda dengan bawahannya atau saudara angkatnya. Bahkan saudara angkatnya yang dipercayainya telah berkhianat. Karena hampir saja mengambil seluruh harta warisan orang tuanya jika ia tidak bersama adik perempuannya.
Situasi yang memaksa Ricko sehingga membuatnya menjadi pria bertangan dingin yang tak segan pada semua orang. Ia hanya mengingat adik kandungnya yang telah ditetapkan meninggal dunia dan ditemukan mayatnya sampai tidak bisa dikenali lagi . Untuk mengembalikan harta itu, ia hampir putus asa, sebelum akhirnya menemukan sosok wanita malang itu. Wanita yang bisa dijadikan pengganti sang adik yang terkubur di tempat rahasia.
Kepercayaan diri Ricko begitu tinggi terhadap wanita yang baru ditemuinya lewat kecelakaan maut. Ia merasa iba dan harus membantunya agar memiliki kehidupan yang lebih baik. Tentu saja ada timbal balik atas semua yang ia lakukan. Ia membutuhkan kepercayaan untuk bekerjasama melakukan sandiwara itu.
"Aku sudah selesai makannya, Kak. Kapan aku bisa pergi dari rumah ini?" tanya Violete dengan nada manja. Mulai saat ini ia tidak harus mengurus rumah besar lagi. Ia hanya fokus menjadi seorang guru dan seorang gadis muda seperti umumnya. Tidak mempedulikan masalah rumah tangga yang tidak ada akhirnya.
"Baiklah kalau kamu sudah siap, mari kita pergi ke apartemen. Tapi kurasa pakaianmu terlalu sedikit. Jadi, bagaimana kalau kita belanja dulu di mall? Pakaian kamu yang sedikit itu, biarkan di rumah ini. Biarkan bibi yang mengurusnya, kalau-kalau kamu ke sini lagi. Nanti tidak perlu beli lagi."
"Terserah kakak saja, lah. Kebetulan aku mau membeli pakaian dalam. Kamu mau nemenin aku? Siapa tahu nanti ketemu sama gadis baik yang mau menemanimu di sangkar emas ini."
"Ah, tidak apa. Yang penting kamu senang saja. Baiklah, ayo kita berangkat!" Ricko bergegas mengambil kunci mobil di meja. Lalu memakai jaketnya yang berada di kursi.
***
"Ayah ... aku mau yang itu," ucap seorang gadis berusia lima tahun. Ia sedang memilih bando berwarna biru muda. Melihat bando berbentuk boneka pinguin, membuatnya tertarik.
"Sebentar, Sayang. Ayah sedang ada pekerjaan sebentar. Kamu ambil sendiri saja, yah." Pria tinggi tegap yang sedang memainkan ponselnya, tidak bisa menuruti kemauan anaknya.
Walaupun sedang menemani sang anak, pria itu tidak berhenti melakukan pekerjaannya. Lewat ponsel miliknya, ia mengatur semua urusannya yang tidak bisa ditunda. Jadi ia membiarkan putri kecilnya pergi jauh dari sisinya.
'Ya Tuhan, Rosy. Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu sendirian ke sini? Ke mana orang yang harusnya menjaganya?' Violete melihat gadis kecil yang ia lahirkan lima tahun lalu. Ia ingin sekali memeluk gadis kecil itu dengan erat. Namun ia sadar, identitasnya telah berubah total. Ia tidak lagi menjadi Viola Maurent yang selalu menemani putri kesayangannya.
Miris melihat anak gadisnya sendirian tanpa ada yang menjaganya. Namun hati sebagai seorang ibu tergerak dengan sendirinya. Dengan meninggalkan Ricko yang berada di sampingnya, wanita itu menghampiri gadis kecil yang sedang berjalan sendiri.
Rosy, nama panggilan gadis kecil itu, mengalami kesulitan mengambil bando yang berada di rak atas. Ia pun memanjat rak itu karena rasa ingin memiliki yang tidak bisa ditahan. Gadis itu hampir terjatuh karena kehilangan kendali. Untung saja Violete sigap dan menangkapnya. Sontak Rosy memeluk wanita yang menangkapnya.
"Mama, aku takut! Huhuhuhu ...." Rosy juga merasakan ada sang ibu yang telah menangkap dan memeluknya. Air mata tercurah begitu mendapatkan pelukan hangat dari Violete. Rasa sedihnya karena kehilangan sosok ibu yang selalu menemaninya, membuatnya tidak tahan lagi untuk mengeluarkan semua beban yang ada. Ia memeluk Viola dengan erat dah tak mau lepas lagi. Menganggap wanita yang memeluknya adalah ibu kandungnya sendiri.
Betapa tidak sedih hatinya, melihat putri kesayangannya menangis begitu hebatnya. Rasa sedih, haru, pilu, membuat hatinya teriris seribu luka. Violete sendiri rindu berat pada Rosy yang merupakan buah hatinya bersama suami yang tidak berguna itu. Tidak peduli apa, saat ini melepaskan kerinduannya tidak bisa ia bendung. Ia pun menangis di depan anak kandungnya.
"Mama ke mana saja, Ma? Aku, aku sangat kangen sama mama. Mama jahat! Tinggalkan Rosy sendirian, huhuhu! Mama jahat, ahhh!" teriak Rosy sambil memukul-mukul pundak Violete.
Violete diam saja menerima pukulan gadis kecilnya. Ia memang merasa menjadi seorang ibu yang jahat karena saat bertemu dengan putrinya, ia malah sudah memiliki identitas lain. Ia bukan lagi Viola yang menjadi ibu dari Rosy. Bukan lagi seorang wanita rumah tangga yang terus-terusan tersiksa oleh perlakuan mertua dan suaminya yang berselingkuh di belakangnya.
"Mama! Mengapa Mama diam saja, Ma? Jawab aku, Ma. Huhhh, mama jahat padaku! Nggak sayang lagi sama Rosy, huhuhuhu!" Rosy terus memukul-mukul wanita yang masih dianggap ibunya. Karena belum melihat wajahnya tentu ia merasakan batin seorang ibu.
"Rosy, diam! Dia bukan mamamu!" bentak Giovano Hengkesa, ayah dari Rosy. Juga suami dari Viola yang dianggap sudah mati. "Maafkan anak saya, Nona. Aku khawatir karena kematian mamanya membuatnya hilang kendali. Jadi menganggap orang lain sebagai mamanya."
Seketika itu Violete mengalihkan pandangannya. Dengan berurai air mata, ia melihat suaminya yang tidak mungkin mengenalinya lagi. Namun air mata yang tercurah itu bisa membuat pria itu bingung. Mengapa bisa menangis hanya karena gadis kecil yang menganggapnya sebagai mamanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments