Terpaksa Menikahi Mafia Dingin
"Astaga! Evelyn! Lagi-lagi kau tidak becus bekerja!"
Seorang wanita terlihat tengah memunguti beberapa botol dan lembaran obat yang berserakan di lantai. Wanita yang baru saja memarahinya itu masih menatap tajam sampai ia berdiri.
"Maaf, Dok. Saya tidak sengaja tadi bertabrakan dengan seorang anak kecil yang tengah berlarian di koridor."
"Halah! Bilang saja kau ini sudah malas bekerja di sini! Jangan pakai menyalahkan anak kecil segala, Eve! Kalau kau sudah tidak sanggup bekerja, keluar saja, gampang kok!" tekan wanita yang adalah seorang dokter muda di klinik tersebut.
Wanita bernama lengkap Evelyn Arachelly Marshall dengan mengenakan seragam perawat itu, sudah bekerja di sini selama dua tahun. Tapi, seperti halnya sekarang, ia selalu mendapat perlakuan tidak baik dari semua orang yang ada di klinik, termasuk dokter muda yang ada di hadapannya.
"Berhenti saja, Eve! Kau akan semakin menyulitkan kami di sini. Lagipula klinik ini tidak akan membayar orang yang tidak kompeten sepertimu. Apalagi kau hanya seorang perawat ilegal yang tidak mempunyai ijazah. Sudah untung Ibuku menerimamu bekerja di sini, tapi kau malah terus membuat kesalahan!"
"Maaf," lirih Evelyn. Hanya itu yang bisa ia ucapkan, karena bagaimana pun ia masih sangat membutuhkan pekerjaan ini, meski gajinya tidak seberapa dibandingkan dengan kerja kerasnya.
"Pergi sana! Aku tidak mau melihat wajahmu!"
Evelyn pun membungkuk memberi hormat. Ia berjalan setengah berlari menuju ruang obat-obatan, lalu dengan cepat meletakan nampan berisi obat itu di meja dan bergegas masuk ke dalam toilet.
Rasa lelah, sedih dan marah menjadi satu. Ia tidak suka jika harus terus tertindas seperti ini, tapi siapalah dia? Dia bukan siapa-siapa di klinik kecil ini. Ia hanya perawat ilegal di sini, karena ajakan seorang kenalan ibunya yang mungkin merasa iba dan menerimanya begitu saja. Ya, karena nasib yang tidak berpihak kepadanya, empat tahun lalu, ia harus putus kuliah keperawatan itu karena kesulitan ekonomi. Apalagi, saat sang ayah dipecat dari pekerjaannya. Terpaksa Evelyn harus menanggung semua kebutuhan keluarga dengan bekerja pagi, siang, sore hingga malam.
"Tahan, Evelyn! Kau tidak boleh menangis, jangan lemah seperti ini!" lirihnya, mencoba menguatkan diri sendiri.
Jika saja saat itu dirinya tidak memutuskan kuliah, mungkin saat ini ia sudah bekerja di rumah sakit besar di kotanya, bukan hanya bekerja di sebuah klinik yang tidak memberi upah dengan cukup besar. Bahkan, gajinya hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama sebulan. Belum lagi sang ayah yang selalu meminta jatah untuk membeli minuman keras.
"Evelyn!"
Pintu suara toilet diketuk dengan cepat. Beberapa kali namanya diteriakkan dan ketukan di pintu itu tidak berhenti.
Evelyn segera mengusap bulir-bulir air mata yang mengalir di pipinya. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu mencoba merapikan seragamnya yang sedikit kusut.
"Iya, ada ap-"
Belum sempat Evelyn menyelesaikan ucapannya. Tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh seseorang hingga dirinya hampir terjatuh karena lantai yang licin.
"Apa ini?! Kau mencuri lagi, Evelyn?!" tanya wanita berseragam dokter itu. Yang tak lain ada Clara sang dokter muda sekaligus anak pemilik klinik.
"Tidak. Aku tidak pernah mencuri," kilah Evelyn dengan raut wajah yang sudah sangat panik.
"Bu! Lihatlah, orang yang Ibu anggap baik ini hanya seorang pencuri! Dia sudah beberapa kali mencuri uang dari loker para perawat, Bu. Belum lagi kemarin-kemarin ada seorang pasien yang mengeluh uangnya hilang karena dia tertidur sebentar," tutur Clara dengan menatap sinis ke arah Evelyn.
"Tidak, Bu. Demi Tuhan, aku tidak pernah mencuri, tuduhan Dokter Clara salah. Aku merasa terfitnah, Bu," kilah Evelyn yang mulai mendekati pemilik klinik itu dan bersujud di kakinya.
"Mana ada maling ngaku, Bu! Sudah jelas Evelyn mencuri! Aku tidak mau nanti ke depannya klinik ini tercemar jika terus ada dia. Lebih baik dia diberhentikan, Bu!" usul Clara.
Manik mata Evelyn membulat. Jujur saat ini sesungguhnya ia sudah ingin menampar wanita berusia dua tahun lebih tua darinya itu. Ia benar-benar merasa difitnah dan dipermalukan. Apalagi, semua orang yang kini menatapnya tidak memberi pembelaan.
"Ayo, Bu, bicara. Usir dan berhentikan dia dari pekerjaannya!" desak Clara pada sang ibu.
Wanita berusia lima puluh tahun itu menghela napas dan menatap iba ke arah Evelyn yang masih bersimpuh di bawah kakinya. "Bangun, Eve."
Wanita itu mencoba membantu Evelyn untuk bangun dan menatapnya kembali. "Maaf, Eve. Kali ini Ibu tidak bisa membantumu, karena buktinya sudah jelas uang itu ada di dalam tas milikmu. Jadi... Dengan berat hati, kau harus dipecat," tuturnya.
Sakit. Itu yang saat ini Evelyn rasakan. Pekerjaan satu-satunya yang baru akan dirinya pertahankan setelah dua hari lalu ia dipecat di tempat lain. Dunia benar-benar tidak berpihak kepadanya. Ia merasa dibuang oleh semua orang.
Dengan perasaannya yang masih berat menerima kenyataan. Evelyn segera menyambar tas miliknya yang sedari tadi dipegang oleh Clara, lalu membuang semua uang yang ada di dalamnya tepat ke muka wanita itu.
"Sialan! Kau menyebalkan, Evelyn!" sentak Clara. Namun, Evelyn tidak mendengarkannya, ia memilih melangkah pergi meninggalkan klinik yang sudah menampungnya selama dua tahun ini.
"Jangan goyah, Eve! Kau akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah ini! Pastikan kau bisa bangkit untuk menghadapi dunia kembali!" tegas Evelyn pada dirinya sendiri.
Ia melangkah menuju sebuah halte di sebrang sana. Lalu, tidak lama kemudian bus pun datang dan Evelyn menaikinya untuk pulang.
***
"Bu, Ayah!" panggil Evelyn yang sudah mulai mengigil kedinginan di luar karena setelah masuk ke dalam Bus hujan pun turun, dan berakhir ia harus basah kuyup saat berjalan dari halte ke rumahnya.
Evelyn sudah mencoba membuka pintu, tapi sepertinya pintu terkunci dari dalam. Ia juga sudah beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil kedua orang tuanya.
Hingga beberapa menit kemudian, suara kunci dibuka pun terdengar dan pintu terbuka. "Ayo, masuk! Ibu tidak bisa berada di luar lama-lama," bisik sang ibu dengan menarik lengan Evelyn.
Sesampainya di dalam Evelyn mencoba menanyakan apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya. "Ada apa? Kenapa kalian terlihat sedang bersembunyi?"
Namun, belum sempat kedua orang tuanya menjawab. Tiba-tiba pintu rumah mereka didobrak paksa dan membuatnya rusak. Evelyn terkejut dan segera merangsek mendekati kedua orang tuanya.
Seorang pria seusia ayahnya masuk bersama tiga orang pria bertubuh tegap. Pria sekitar lima puluh tahun itu tampak memakai setelan jas mewah.
"Kau terlalu santai dengan hutangmu, Bennet! Bayar hutang-hutangmu sekarang juga!" bentak pria itu.
Evelyn mengerutkan keningnya tampak merasa bingung. Hutang? Hutang apa? Selama ini ia tidak pernah tahu jika kedua orang tuanya mempunyai hutang. Ia selalu berusaha mencukupi kedua orang tuanya meski dengan gaji yang pas-pasan.
"Apa maksudnya? Apa Ayah saya mempunyai hutang?" tanya Evelyn pada pria yang dirinya lihat seperti orang kaya.
"Oh, kau anaknya Bennet yang sering dibicarakan ya. Kau cantik juga, Nak." Pria itu menatap Evelyn dengan tersenyum. "Ya. Ayahmu mempunyai hutang padaku dan itu tidak sedikit. Dia meminjam hingga milyaran, dan kedatanganku ke sini adalah untuk menagihnya. Karena dia sudah berjanji akan membayar hutang-hutang itu di bulan ini," sambungnya.
Manik mata Evelyn membulat. Ia benar-benar terkejut mendengarnya. Sejauh yang dirinya tahu, sang ayah tidak pernah meminjam uang apalagi sampai milyaran seperti ini. Apapun yang mereka butuhkan selalu Evelyn usahakan.
"Tidak mungkin, Tuan. Ayah saya tidak mungkin berhutang!" elak Evelyn merasa tidak percaya.
"Markus! Berikan catatan rincian tentang hutang Bennet semua kepadanya!" perintah pria kaya itu pada salah satu anak buahnya.
Lembaran catatan itu di lemparkannya ke arah Evelyn. Dengan cepat ia pun mengumpulkannya dan membaca setiap lembar catatan rincian hutang-hutang sang ayah. Hingga rasanya kaki Evelyn tidak sanggup lagi menopang tubuhnya.
"Ayah! Apa benar semua ini? Apa ayah berhutang sebanyak itu? Untuk apa Ayah? Ibu! Ibu pasti tahu kan semua ini?"
Kedua orang tua Evelyn hanya mengangguk samar dan menunduk. Melihat itu, hati Evelyn semakin hancur. Namun, dengan sekali tarikan napas ia pun mengangkat wajahnya dan menatap pria kaya itu.
"Tuan! Biarkan saya yang akan mencicil semua hutang-hutang Ayah saya. Tapi, saya tidak bisa menjamin seberapa lama. Beri saya waktu setidaknya satu atau dua tahun."
"Tidak! Enak saja! Aku bukan Bank!"
Mendengar itu Evelyn merasa semakin menciut. Harus bagaimana lagi, selain bernegosiasi seperti ini. "Saya janji, Tuan. Saya benar-benar akan membayar semua hutang Ayah saya."
"Tuan. Saya akan menawarkan anak saya sebagai jaminan untuk membayar hutang-hutang saya, bagaimana? Kebetulan dia juga belum menikah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Santai Dyah
kasian apes bener tu Eve
2023-06-28
0
Berdo'a saja
kesempatan untuk menjual anak nya
2023-06-21
0
Nadin
aq mampir thir di karyamu..pas melihat cuplikan nya di..my hot dedy
2023-01-30
0