Mendadak Jodoh 3

Laisa memberungut sebal. Dia kecewa pada semua orang, apalagi mama papanya. Dua orang malaikatnya itu bahkan tampak tak merasa bersalah. Mereka ketawa penuh suka cita dengan besan barunya. Laisa menuju meja makan di mana dua pasang yang resmi besanan itu berada. Laisa mah bodoh amat dengan Raika yang masih tidur nyenyak di ranjangnya. "Rai mana ca?" Tanya mamanya.

Laisa mengedikan bahu, dia sibuk mengisi piringnya dengan nasi goreng. Laisa lapar pemirsa. Belum makan, bahkan dari kemaren  dan semalam suami kurang ajarnya itu dengan tidak tahu dirinya meminta jatahnya. Dengan berat hati Laisa memberinya. Raika yang dikasih jatah tidak cukup sekali, dia terus dan terus membuat Laisa tidak dapat tidur hingga pukul tiga pagi. Laisa tentu langsung mandi mengabaikan bagian bawahnya yang masih sakit. Terus dia tidur sebentar di sofa kecilnya. Laisa mana sudi satu ranjang dengan Raika. Saat subuh Laisa kembali membuka matanya untuk wudhu dan sholat subuh. Usai solat Laisa mengecek handphonenya. Beberapa notifikasi dari sahabatnya muncul. Tentu mereka ingin tahu kapan bisa meet time lagi.

Laisa sedih, hidupnya tidak akan sebebas dulu lagi.

"Ca, suamimu mana?" Tanya mama Rai.

"Tidur." Jawabnya singkat.

"Kamu itu Ca, pamali ngisi perut dulu sebelum suami. Bangunin suami kamu sana. Perempuan itu harus ngurus suaminya dengan benar."

"Hem."

"Yang dibilang mamamu benar Ca. Tante nikahin Rai sama kamu biar dia keurus."

"Ica bukan baby sitersnya Rai." Jawab Laisa ketus mengunyah  makanannya.

"Lah siapa bilang kamu baby sitersnya Rai!" Leha berdecak kesal, menantunya cari gara-gara.

"Ca siapa yang ngajarin kamu kurang ajar!" Lemba menaikan suaranya.

"Kami ini nanya baik-baik sama kamu, di mana Rai? Kok kamu malah terkesan tidak peduli dengan suamimu itu." Sindir Leha menahan amarahnya.

"Ica memang tidak peduli."

"Ya Allah Ca, mama papa gak ngajarin kamu begini nak."

"Apa Ica gak punya pilihan?" Tanyanya pada kedua orangtuanya itu.

"Apa Ica boneka kalian? Ica boneka kan pa, ma? Yang gak punya hati dan perasaan. Kenapa kalian nikahin Ica, tapi sedikitpun tidak meminta persetujuan Ica? Kenapa Ma, Pa?" Semua orang terdiam, seharusnya memang Laisa diberitahu terlebih dahulu.

Raika  yang melihatnya  murka, Laisa sama sekali tidak sopan kepada empat orang tua itu.

"Laisa kamu ini kenapa? Berteriak-teriak tidak jelas. Kalau bicara dengan orang tua itu yang sopan."

Laisa mendelik malas kearah Raika, "kenapa? Elo juga mau jadiin gue boneka?"

"Laisa, mama papa cuma mau ngelakuin yang terbaik buat kamu nak." Ucap Lembah.

"Kami tidak ingin kamu salah jalan nak." Ucap Sarah.

Laisa memandang kedua orang tuanya dengan pandangan terluka, memang Laisa melakukan apa hingga dia salah jalan. Laisa selalu menuruti maunya mama papanya, meski tanpa persetujuan langsung dari kedua orang tuanya. Kali ini pun begitu, tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, dia dinikahkan dengan Raika.

Setidaknya kedua orangtuanya itu meminta persetujuannya dulu. Atau paling tidak mengatakan keputusan mereka. Laisa merasa ditipu mentah-mentah. Laisa berlari ke kamarnya. Pikirnya satu Laisa harus kembali ke tempatnya, tempat di mana dia tinggal beberapa tahun ini.

Dengan tergesa-gesa Laisa menaruh baju-bajunya ke dalam koper. Jangan kira Laisa akan menangis, Laisa, dia tidak ingin terlihat lemah dimata siapapun.

"Mau ke mana kamu Ca?" Tanya papanya saat Laisa melewati mereka.

"Pulang."

"Pulang ke mana?"

"Ke kosan Ica."

"Kamu tidak ku izinkan pergi ke kota Ca." Rai yang berbicara.

"Apa hak lo?"

"Gue suami lo brengsek. Lo ikut gue sekarang. Ma, pa, om, tante Rai bawa Ica ke rumah Rai." Rai menarik tangan Laisa agar mengikutinya. Kemudian dengan kasar dia menyuruh Laisa masuk ke mobilnya.

"Masuk cepat! Elo emang harus dikasarin biar nurut."

Mobil Raika menuju tempat di mana dia tinggal. Desa itu bahkan belum terjamah listrik. Laisa tidak bisa membayangkan jika dia akan hidup di desa Raika. Laisa tidak mau, namun dia tidak dapat menolak. Raika sekarang imamnya.

"Gue gak mau tinggal di sini Ka?"

"Elo istri gue, elo harus tinggal bareng gue."

"Tapi Ka, gue gak mau tinggal di sini."

Raika membawa Laisa ke dalam rumahnya. Rumah yang dibangunnya dua tahun lalu. Yang memang dipersembahkan untuk anak istrinya. Rumah tingkat dua itu, sebenarnya sangat nyaman untuk ditinggali. Namun kendalanya desa ini PLN belum tersedia, listrik hidup saat malam tiba. Laisa tidak mempermasalahkan listriknya namun jika signal ilang-ilangan dan susah untuk mencharger handphone juga laptopnya. Itu yang menjadi masalah Laisa. Laisa bekerja di internet. Kalo tinggal di desa ini mana  bisa Laisa kerja.

Laisa menurut saja saat suaminya itu mengajaknya ke kamar milik pria itu. "Bisa gak Ka, kita tinggal di kota aja?" Tanyanya ragu-ragu.

"Kenapa? Kerjaan aku tu di sini Ca. Kalau di kota aku mau kerja apa?"

"Banyak Ka, kamu bisa bawa mobil kan? Kamu jadi driver online aja." Usulnya pada suaminya itu.

"Enak aja kamu ngomong?" Raika mendengus sebal.

"Lah napa itu kan halal, lagian untungnya lumayan loh." Ujar Laisa.

"Gak mau Ca. Aku gak mau, enakan hidup di desa. Paginya aku bisa ngajar di sekolah. Sorenya bisa berladang dan berternak."

"Aku gak mau Ka, di sini gak ada wifi. Aku gak perlu wifi deh. Listrik sini saja belum masuk."

"Salah siapa mau jadi istriku?"

"Ih siapa yang mau jadi istri elo."

Kalau boleh memilih, Laisa belum mau menikah.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!