Happy Reading 🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Rachel bernafas panjang. Dia berjalan menuju permakaman umum yang tidak jauh dari rumah sakit.
Gadis itu berusaha tak menangis lagi. Bukankah menangis tanda dia lemah? Dia tidak mau lemah. Dia harus kuat. Demi Ibu dan adiknya. Dia akan menjadi wanita tangguh yang tahan banting.
Rachel menuju satu pemakaman yang hampir usang terbukti dengan rumput-rumput yang mulai tumbuh diatas nya. Kali ini dia tidak membawa taburan bunga tetapi dia datang dengan kesedihan yang membuat jiwanya terguncang.
Gadis itu berjongkok disalah satu pemakaman. Tangannya terulur untuk mengusap batu nisan yang tertanam dengan kuat didalam tanah.
"Ayah," lirihnya lagi dan lagi dia yang sudah berjanji untuk tidak menangis nyatanya air mata tetap saja luruh begitu saja.
"Apa kabar Ayah disana?" Dia tersenyum getir "Apa Ayah tahu putri kecilmu ini sedang rapuh. Jiwanya dihantam dengan hebat oleh kenyataan. Tubuh kecilnya terpental entah kemana-mana. Apa Ayah tahu? Jika jiwanya sekarang terguncang bahkan dia mulai panik jika dia tidak merasa sedih karena yang dia rasakan adalah kesedihan."
"Ayah, kekasihmu sedang terbaring dirumah sakit. Matanya terpejam erat sama sepertimu kala itu. Dia tidak mendengarkan suaraku yang memanggil namanya." Dadanya mulai sesak. "Ayah, kekasihmu itu separuh dari jiwaku. Tetapi dia pun sekarang seolah menghancurkan jiwaku. Kenapa semua begini Ayah? Kenapa semua terjadi? Hiks hiks." Gadis itu menangis tersedu-sedu.
"Dan gadis kecil yang hadir dikehidupan kita tujuh belas tahun yang lalu kini pun ikut terbaring tak berdaya. Dia tengah berjuang melawan antara kehidupan dan kematian. Ayah dia sakit. Ada banyak penyakit yang hinggap ditubuhnya. Tolong aku Ayah." Gadis itu menangis hebat dan badannya bergetar lemah.
"Ayah, bolehkah kau peluk aku sebentar saja? Sebentar saja! Aku lelah. Aku capek. Aku tak berdaya. Kepada siapa aku harus mengadu dan bercerita betapa lelahnya aku berjuang sendirian. Sementara disana ada dua wanita yang membutuhkan perjuangan ku agar mampu melewati segala badai ini."
Rachel memeluk batu insan itu. Berharap bisa merasakan kehadiran sang ayah yang mampu menyejukkan hatinya. Barang kali dengan begitu dia bisa merasakan sedikit kelegaan dari jiwanya yang rapuh.
"Ayah."
"Ayah."
"Ayah."
Rachel berteriak histeris sambil memeluk batu nisan itu dengan tangisan dan rintihan yang menyayat hati. Mungkin dengan ini jiwanya akan baik-baik saja menceritakan segala keluh kesah pada sang ayah.
"Peluk aku sebentar saja Ayah. Aku lelah. Aku lelah. Aku rindu bersandar di bahumu seperti dulu. Aku rindu bermanja-manja di pelukanmu. Bolehkah kurasakan lagi pelukan nyaman itu. Aku kehilangan pelukkan itu sudah lama?"
Rachel mengadukan segala perasaan. Perasaan bingung. Perasaan kecewa. Perasaan marah. Dia tidak tahu harus kemana dan mencari apa? Dokter hanya memberi nya waktu dua hari. Sementara uang yang di cari pun tak datang-datang. Meminjam dan meminta pada orang lain sudah Rachel lakukan tetapi tetap saja jalan terasa semakin sempit.
Gadis itu melepaskan pelukan nya dari batu nisan itu.
"Hiks hiks hiks Ayah. Apakah Rachel salah jika Rachel mengadukan semua perasaan Rachel pada Ayah. Rachel tidak tahu harus bercerita pada siapa Ayah. Rachel.... Hiks hiks?" Tangisnya kembali pecah tak peduli dengan sakit dihatinya.
Kau tahu bagian mana yang paling menyakitkan dari perpisahan? Berpisah karena kematian! Tak peduli seberapa besar kau merindukannya, dia takkan kembali ke dunia. Tak peduli seberapa hebat kau menangis menanti kedatangannya, dia takkan kembali lagi. Percayalah sekalipun menangis darah takkan bisa mengobati segala rindu yang membelenggu dada.
Gadis itu terduduk diatas tanah sambil memeluk kedua lututnya yang dia tekuk membenamkan wajahnya disana. Rachel tak bisa bayangkan bagaimana bengkak matanya karena kebanyakan menangis. Wajah nya juga sudah pasti hancur sekali karena tak terurus.
"Ini."
Rachel mengusap air matanya saat seseorang mengulurkan tangannya dan memberikan sapu tangan untuk menyeka air mata gadis itu.
Rachel menengadah kepalanya dan menatap seseorang yang mengulurkan tangannya.
"Dokter Sandy," gumam gadis itu pelan.
"Ayo." Sandy mengulurkan tangannya agar Rachel menyambutnya.
Rachel menyambut uluran tangan dokter tampan itu. Sandy membantu Rachel dengan senyum.
"Ini pakai." Masih menyedorkan sapu tangannya pada Rachel.
"Terima kasih, Dok." Rachel memaksakan senyum.
Sandy menatap Rachel kasihan. Tadi dia tidak sengaja mendengar keluhan dan cerita gadis itu ketika ingin berziarah ke pemakaman kedua orangtuanya.
"Rambutmu berantakkan." Sandy memperbaiki rambut gadis itu yang memang terlihat berantakkan.
Rachel mengangguk sambil memeluk kedua tangannya. Sebenarnya dia malu karena ketahuan menangis dan dilihat oleh Sandy.
"Dokter, kenapa ada disini?" tanya Rachel merapikan bajunya
"Tadi saya berziarah ke pemakaman kedua orang tua saya dan tidak sengaja melihatmu ada disini," jawab Sandy.
"Mau kembali ke rumah sakit?" Dia melirik Rachel. Beberapa hari merawat Rima, Sandy jadi mengenal gadis ini.
Rachel mengangguk karena dia memang harus kembali ke rumah sakit.
"Ayo." Sandy merangkul bahu gadis itu.
Rachel mengangguk dan mengikuti langkah kaki Sandy. Dia tahu dokter ini baik tapi Rachel bukanlah tipe orang yang mudah terbuka kecuali pada Choky dan Ayunia.
Sandy membuka pintu mobil dan melindungi kepala Rachel agar gadis itu masuk kedalam mobil.
"Terima kasih, Dok." Rachel masuk dan memaksakan senyum.
Sandy mengitari mobil dan masuk menyusul gadis itu lalu melajukan mobilnya meninggalkan pemakaman umum.
"Lapar tidak?" tanya nya melirik gadis yang hanya diam disebelah nya.
Baru kali ini Sandy bertemu gadis yang tidak cerewet. Rachel terkesan pendiam dan cuek tidak banyak bicara kalau tidak diacak bicara.
"Mau makan?" tawar Sandy sekali lagi
"Boleh Dok." Karena jujur saja Rachel lapar dan dia belum makan dari tadi pagi.
"Kita singgah sebentar disana ada restaurant favorite saya. Makanan nya enak-enak," ujar Sandy.
"Iya Dok," respon Rachel pun terkesan singkat
Gadis itu menatap kosong kearah jendela kaca mobil. Dia sebenarnya ingin sendiri tapi tidak mungkin menolak tawaran Sandy apalagi Sandy adalah dokter yang merawat adiknya.
Sandy memarkirkan mobilnya didepan sebuah restaurant mewah tempat biasa dia makan.
"Ayo."
Keduanya masuk disana. Sudah beberapa hari Rachel tidak masuk kerja karena harus mengurus dan menemani Irina dan Rima di rumah sakit. Untung saja Choky bisa menghandle segala pekerjaan Rachel sehingga dia bisa izin tanpa harus mengurus segala yang rumit-rumit.
"Kau mau pesan apa?" Sandy membuka buku menu sambil melihat-lihat makanan yang akan dia pesan.
"Samakan saja dengan Dokter," jawab Rachel karena dia tidak tahu ingin makan apa. Dia belum nafsu makan namun tak enak menolak ajakan Sandy.
Sandy memesan makanan untuk mereka berdua. Dia memesan makanan spesial untuk Rachel.
"Ohhh ya Dok, beri saya waktu sampai besok untuk menyiapkan biaya operasi adik saya," ucap Rachel.
Sandy mengangguk, "Iya tenang saja. Tetapi kalau bisa usahakan ya," sahutnya. "Jangan panggil Dokter, panggil saja Sandy," sambungnya lagi.
"Saya panggil Mas Sandy saja biar lebih sopan," jawab Rachel.
Tidak lama kemudian pesanan mereka datang.
"Ayo makan."
Rachel makan dengan lahap. Dia sangat lapar, dia makan terakhir ketika Choky membawakan makanan untuknya karena tidak nafsu makan dia mengabaikan kesehatan nya sendiri.
Bersambung.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments