Happy Reading 🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Rachel memukul dadanya berulang kali berusaha melepaskan segala sesak yang menghantam disana. Menangis memang tidak menyelesaikan masalah tetapo menangis dapat memberi kelonggaran dalam dada.
Rachel menangis sambil memeluk tubuhnya dengan erat. Jujur gadis itu benar-benar butuh pelukkan dari seseorang tetapi siapa? Tidak ada tempatnya bersandar.
Choky dan Ayunia tidak selalu bisa berada didekat Rachel karena mereka berdua juga memiliki kehidupan sendiri yang tentunya harus di prioritaskan.
"Ibu hiks..." Rachel menangis dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Bangun Bu. Bangun." Gadis itu menatap Ibunya dengan deraian air mata.
Sudah dua hari Ibu dan adiknya tak sadarkan diri dari pingsan. Kenapa dua orang itu tampak kompak membuat dirinya rapuh.
"Dek bangun. Bangun Dek. Bangun," desaknya sambil menguncang tubuh sang adik.
Irina sejak kematian suaminya memang sering sakit dan drop-dropan hingga membuat kondisinya selalu memburuk tiba-tiba.
"Kenapa kalian seperti ini padaku? Kenapa kalian membuatku khawatir dan panik? Tolong buka mata kalian. Tolong buka," desis nya sambil menangis hebat.
"Bu, bangun Bu. Bangun. Rachel rindu masakkan Ibu. Sudah dua hari Ibu tertidur seperti ini. Kenapa tidak bangun-bangun Bu?." ucapnya lagi.
Tangisan Rachel saling bersahutan dengan dentingan alat pendeteksi jantung Irana dan Rima. Kedua wanita berbeda usia dan generasi itu tampak kompak memejamkan matanya seolah tak ingin diganggu oleh siapapun.
Rachel menyeka air matanya. Gadis itu berdiri dari duduknya dengan mata sembab dan wajah yang berantakan.
"Permisi, Nona." Sandy menghampiri gadis itu.
"Pagi, Dok." Rachel menghapus air matanya dan memaksakan senyum.
"Bisa keruangan saya sebentar?" pinta Sandy, dokter yang menangani penyakit Rima dia spesialis ginjal.
"Iya Dok."
Rachel melangkah keruangan Sandy dan mengikuti dokter itu dari belakang. Dia berusaha menyembunyikan wajah sedihnya dari orang-orang yang menatapnya.
"Silahkan duduk Nona." Sandy menunjukkan kursi didepan mejanya.
"Iya Dok. Terima kasih." Gadis itu duduk dikursi depan meja Sandy.
Sandy menghela nafas panjang. Sebenarnya dia kasihan melihat Rachel setiap hari dia mendengar curahan hati gadis itu. Sungguh malang sekali nasib gadis ini.
"Jadi begini Nona, kondisi adik Anda semakin menurun. Ginjal didalam tubuhnya sudah rusak dan harus segera dibuang dengan ini saya harapkan anda untuk mencari pendonor agar ginjal adik anda tetap berfungsi karena ginjal yang satu nya juga sudah rusak," jelas Sandy panjang lebar.
Deg
Jantung Rachel serasa hancur seketika mendengar penjelasan dokter.
"Ambil ginjal saya saja, Dok," suruh Rachel yakin dengan keputusannya.
"Baik. Mari, saya akan periksa apakah ginjal Anda cocok dengan ginjal adik Anda."
Rachel melakukan pemeriksaan tentang kecocokan ginjalnya. Gadis itu berharap sekali jika ginjalnya sama dengan ginjal sang adik. Rachel tidak mau kehilangan adik dan Ibu nya. Apapun akan dia lakukan untuk dua orang yang dia cintai itu.
"Bagaimana Dok?" tanya Rachel hati-hati. Dia benar-benar takut kalau ginjalnya dan Rima berbeda.
"Syukurlah Nona, ginjal Anda dan adik Anda memiliki golongan yang sama. Tetapi apakah Anda siap menerima resikonya?" Sandy menatap Rachel, kasihan sekali gadis ini.
Rachel mengangguk antusias, "Saya yakin Dok," sahut Rachel "Tetapi bolehkah saya minta satu hal, Dok?" pinta Rachel.
"Katakanlah!" Senyum Sandy.
"Jangan katakan pada siapapun kalau saya yang mendonorkan ginjal saya untuk adik saya, Dok. Saya takut nanti malah membuat orang kasihan pada saya. Saya tidak suka dikasihani," ucap Rachel dengan tatapan memohon.
Sandy terdiam sambil mencerna ucapan gadis didepannya ini. Lalu dia menatap wajah sendu Rachel.
Dokter tampan dan muda itu mengangguk sambil memaksakan senyum.
"Saya harap Anda segera menyiapkan biaya administrasi nya, Nona, agar kami bisa melakukan operasi dengan cepat," ucap Sandy.
"Baik Dok. Akan saya usahakan," sahut Rachel
Rachel keluar dari ruangan Sandy. Tatapannya benar-benar kosong dia seperti wanita depresi.
"Aku harus kuat," gumamnya menyemangati dirinya. "Tetapi kemana aku harus cari uang sebanyak itu untuk biaya operasi Rima dan Ibu?" Dia kembali berpikir keras. "Tidak akan ada konglomerat atau pengusaha kaya yang mau meminjamkan uang dengan nilai fantastis tersebut. Lalu aku harus meminta tolong pada siapa?" Rachel mendesah pelan.
"Mas Choky dan Nia tidak boleh tahu kalau aku akan mendonorkan ginjal untuk Rima. Mereka pasti tidak akan setuju dengan keputusan ku," gumam Rachel lagi sambil berjalan masuk kembali kedalam ruangan rawat inap Rima dan Irina.
Rachel membersihkan tubuh Irana dan Rima secara bergantian. Gadis itu dengan telaten menggelap tubuh kedua wanita yang begitu dia cintai. Kebetulan hari ini libur bekerja karena hari Minggu jadi dia bisa bersantai dan menjaga Ibu dan adiknya seharian.
Air mata kembali menetes dipipinya saat menggelap tubuh sang Ibu dengan kain basah.
"Kemana Rachel harus mencari uang Bu?" rintihnya pelan. "Bolehkah Rachel juga tertidur seperti kalian? Rachel lelah Bu. Rachel sangat lelah. Kenapa dunia begitu kejam pada Rachel?" adunya.
Rachel juga membersihkan tubuh Rima. Kondisi adiknya ini memang sempat turun beberapa waktu lalu dan Rima harus cuci darah setiap Minggu nya. Tapi adiknya itu terlalu banyak melakukan aktivitas berat hingga membuatnya drop total.
"Bangun Dek. Kata nya mau ikut olimpiade Matematika. Kalau terus tertidur begini bagaimana bisa kau ikut? Tidak mungkin Kakak yang gantikan," celetuknya sambil terkekeh pelan. "Walaupun Kakak mu ini paling pintar tetapi dia bukan siswa sekolah menengah lagi. Dia adalah gadis berusia 26 tahun yang tidak laku-laku," celoteh Rachel lagi terkekeh tapi anehnya air mata membanjiri pipi cantiknya.
Sambil segugukan membersihkan tubuh adiknya. Namun, tetap saja sekeras apapun tangis yang menggema tak membuat kedua orang itu terbangun dari tidurnya. Mereka malah terlelap, menganggap tangisan Rachel adalah nyanyian tidur yang membawa mereka terlelap ke alam mimpi.
Dadanya sesak dan hidungnya tersumbat. Pasokan udara didalam paru-paru nya terasa menipis meski Rachel memukul dadanya berulang kali tapi tetap saja tangisnya tak juga berhenti.
Setelah membersihkan kedua orang itu. Rachel naik keatas ranjang adiknya. Ranjang itu cukup besar dan cukup ditempati oleh dua orang.
Rachel memeluk Rima dan membenamkan wajahnya didada bidang adiknya berusaha meluapkan segala emosi yang membuncah didalam dadanya.
Rachel sangat menyanyangi adik kecil itu. Perbedaan usia mereka cukup jauh. Kehadiran Rima ditengah-tengah keluarga kecilnya menambah kebahagiaan berlipat kali ganda untuk Ibu dan Almarhum Ayahnya.
Setelah lelah menangis Rachel pun tertidur dengan memeluk Rima yang sama sekali tidak terusik dengan tangis dan pelukkan Kakaknya.
Dalam keadaan rapuh dan lelah, kita butuh pelukan dari orang-orang yang kita sayang. Butuh dukungan dan masukkan. Namun apa daya jika sudah tak memiliki siapa-siapa seperti Rachel. Dia hanya bisa menangis dan menceritakan segala rasa lelah nya pada dua orang yang enggan bangun dari kemarin.
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Bonfiasia Watty
Next....
2023-02-04
0