Pembatas Berdarah

Tidak lama suara ketukan pintu terdengar.

'tok tok tok.

Aku berdiri dan langsung membuka pintu. Ternyata ke empat temanku datang berbarengan.

" Sudah siap ?" Tanya Bara.

" Sudah " jawabku agak ragu.

Aku masuk ke dalam untuk mengambil tas berisi barang yang sudah aku siapkan dari semalam. Kami berlima berangkat menggunakan mobil pribadi ambar, dia adalah anak orang berada dan di beri hadiah mobil ini saat dia berulang tahun ke 20 tahun.

Di sepanjang perjalanan mereka berbincang, bercanda dan mengabadikan momen perjalanan ini dengan sebuah kamera. Aku sendiri ?

Aku hanya sibuk mengutak utik ponsel masih mengorek informasi lebih dalam soal desa yang akan kami datangi.

" Eh guys, " panggil ku membuat mereka yang tadinya sedang tertawa jadi terdiam.

" Di sini ada info kalo pengujung harus izin dulu ke kepala desa nya,. Dan katanya juga, kepala desa ini memiliki seorang anak perempuan yang sakit. " Kataku sambil masih menarik ulur layar ponselku.

" Ya sudah nanti kita cari, sekalian kita izin meminta tempat untuk tinggal beberapa hari. " Ucap Reza.

Setelah perbincangan itu, kami semua menjadi diam. Perjalanan kami lancar tanpa hambatan, sampai semakin lama mobil ini semakin masuk ke dalam hutan yang lebat dan panjang. Hanya saja masih ada aspal setapak yang cukup untuk satu mobil. Semakin mobil ini melaju semakin kecil juga jalanan yang kami lewati, sekarang sudah tidak ada lagi jalanan ber aspal. Jalanan bertanah basah, dengan hutan dan jurang di sebelah kirinya.

Aku mengarahkan jalan mengikuti arah maps lewat ponsel.

" Kita harus kemana lagi ? Ini jalan buntu " kata Bara yang sedari awal membawa mobil ini.

" Kaya nya kita harus jalan deh, di maps sudah tidak begitu jauh. " Ucapku mantap.

" Ya sudah, ayo. " Kata Reza.

Kami berlima berjalan mengikuti sisa arah maps untuk menuju desa tersebut. Semakin lama semakin gelap, karena hari semakin sore. Jalanan nya pun hanya tanah basah dan rerumputan.

Cuaca yang gerimis kecil membuat suasana menjadi dingin dan tidak enak. Sekitar satu jam kami berjalan, hujan semakin lebat. Dan banyak kabut tebal menyelimuti kami, dan membuat ku semakin khawatir. Pasalnya, aku yang memiliki kelebihan indera ke enam ( indigo ) tidak melihat satu makhluk halus pun selama perjalanan.

Bukan nya bersyukur, tapi aku malah jadi dan semakin cemas.

" Apa masih jauh ?? " Tanya Dina yang wajahnya sudah mulai muram. Dia sama cemasnya sepertiku, tadi malam dia mengirimku pesan mengatakan kalau ia takut.

" Itu ada plang, ! " Ucap Reza. Di depan sana ada sebuah pembatas yang terlihat tidak terlalu besar.

Aku menyipitkan mata ku agar pengelihatan ku dari agak jauh sedikit lebih jelas.

" Desa sewu mayit. Benar, kita sudah sampai. Ini plang pembatas nya " kata Bara.

Pembatas terbuat dari kayu bertuliskan nama desa ini terlihat sudah lusuh, ukuran nya yang hanya sebatas lutut orang dewasa itu agak tertutup ilalang dan dedaunan kering.

Apa itu ?

Di pembatas itu ada cairan berwarna merah kehitaman. Tidak terlalu banyak, tapi mampu mematahkan semangat orang yang memandang nya.

" Apa ini ? Di desa ini ada kepala desanya, tapi kenapa hanya plang saja sampai buluk seperti ini ssih hahaha " ucap Ambar sambil tertawa lepas.

" Huss, ini desa keramat mbar. Kamu jangan sembarangan ucap. Lagian, ini bukan daerahmu. " Kata Reza membilangi ambar.

Reza benar, ini adalah desa keramat. Orang orang, apalagi pendatang seperti kami tidak bisa berbicara tidak sopan dan melakukan hal yang tidak seharusnya.

" Bau amis, ini darah. " Kata Bara.

Mata kami semua terbelalak. kenapa ada darah ?

" Darah ini juga masih baru, sepertinya bekas hewan mati. " Ucapnya lagi.

Aku semakin tidak mengerti mengapa ada darah di pembatas desa ini. Aku hanya berfikir logika kalau ini darah hewan, mana hewan nya ? Dan di tanah tidak ada ceceran darah sedikitpun.

Kalaupun memang hewan, seharusnya darah ini adanya di tanah. Tapi ini hanya ada di pembatas ini saja.

" Apa sing sampeyan tindakake ing kene? "

( Mau apa kalian ke sini ?) Ucap seorang lelaki paruh baya yang datang tiba tiba. Dia hanya memakai celana tanpa baju, dan membawa cangkul.

" Nuwun sewu pak, kula mriki badhe madosi desa sewu mayit. " ( Maaf pa, kami kesini imgin mencari desa sewu mayit. ) Jawabku,. Di antara teman teman ku, aku yang bisa berbahasa jawa.

" Apa sing dikarepake " ( mau apa ) tanya nya lagi.

" kita arep kanggo ngunjungi pa, mung sawetara dina. " ( Kami ingin berkunjung pa, hanya beberapa hari saja. ) Kataku lagi.

" Luwih becik kowe lunga! utawa sampeyan bakal mati ! " ( Lebih baik kalian pergi ! Atau kalian akan mati ! ) Katanya dengan nada tinggi.

Tubuhku terasa lemas, entah kenapa perasaan ku jadi tidak enak. Teman teman ku yang sedari tadi diam karena tidak mengerti percakapan aku dengan bapa tadi, jadi memperhatikanku semua.

" Ada apa lin ? Kenapa tadi ada kata kata mati? " Tanya Bara sambil memegang bahuku.

Aku masih diam terbengong memikir kan apa maksudnya semua ini. Semalam aku mimpi buruk dan sekarang ada seorang laki laki tua mengatakan hal di luar fikiranku.

Ya Allah ..

Aku tersadar dari lamunan karena ada suara petir kecil di atas langit. Hujan semakin lebat dan langit sudah gelap, aku menoleh ingin bertanya lagi ke pada kake tua itu.

Hilang ?

" Kemana bapa tadi ? " Tanyaku pada teman temanku.

" Loh, kemana ? Tadi disini. " Ucap Ambar.

Kami melupakan persoalan tadi dan melanjutkan perjalanan karena arloji yang melingkar di lenganku sudah menunjukan pukul 18.49.

Kami berjalan sampai menemukan sebuah kampung, banyak rumah rumah kayu disini. Tapi sepi, mungin karena cuaca hujan.

Kami berlima mutuskan untuk berteduh di sebuah rumah di ujung desa ini. Rumah yang agak besar dari rumah rumah yang sebelum nya kami lewati.

" Permisi.. " Ucapku sambil mengetuk pintu rumah ini.

" Iyaa, siapa " Sahut terdengar suara wanita dari dalam rumah.

Pintu di buka, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya merah yang mungkin satu set dengan kain nya. Rambutnya tersanghul rapih, wajahnya ayu di pandang khas wanita jawa.

" Permisi bu, maaf. Kami dari kota, kami ke desa ini untuk berlibur. Kalau kami boleh tau, dimana rumah kepala desanya ya bu, kami ingin meminta izin. " Kata Reza kepada wanita paruh baya itu.

" Oh iya de, ini rumah kepala desa. Kebetulan saya istrinya, silahkan masuk dulu. " Katanya.

Kami semua masuk lewat pintu samping karena sudah basah kuyup. Mataku seakan tak mau diam menatap sekeliling, dan seakan pandangan ku terkunci ke arah satu bangunan kayu kecil di sebelah kananku. Aku menatapnya terus karena penasaran.

" Bantu aakuuu... "

Samar ada suara di telingaku, suara yang sama saat aku di kamar kos pagi tadi. Aku mengerenyitkan mataku untuk memfokuskan pengelihatanku di tengah hujan deras ini.

' hmm hmmm hmmmm

Suara tangisan yang jauh namun melengking tinggi di telinga kananku, aku menghentikan langkahku dan tanganku berusaha menutup telingaku.

Semakin lama semakin sakit rasanya telingaku ini.

' hiikk hihkkk hiihkkk hikkk

Terpopuler

Comments

FiaNasa

FiaNasa

hiiiiii takut

2024-04-23

0

Winna

Winna

Sereem 🤭

2023-03-24

0

BebbyAsh_

BebbyAsh_

Terimakasih sarannya, oh ya pak/ buk itu kapital juga ya ?
btw makasih lagi udah mampir 🥰

2023-01-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!