Aku dan Budi mengayuh sepeda kita berdua dengan kencang karena bangun kesiangan sebab kemarin malam. Tiba-tiba mobil sport warna merah melintas disamping kami dan membuang sampah botol minumannya ke jalan. Ditambah lagi botol sampahnya terlempar ke arah mukaku karena terkena hembusan angin.
Wush...... angin pagi berhembus dan punk suara botol mengenai kepalaku. Seketika aku langsung berhenti dari kayuhan sepedaku.
"Aduh," ucapku sambil mengerem sepedaku lalu mengusap-usap dahiku.
"Apa ini?" ucapku terkejut sambil mengambil botol Aqua plastik dibawah.
"Botol plastik, sapa sing buang botol sembarangan hah?" ucapku terkejut dan kesal.
Si Budi ikut berhenti dan memberi tahuku orang yang menyebabkan masalah ini.
"Itu Lam wong sing didalam mobil sport warna merah," katanya sambil menunjuk mobil yang melaju agak kencang dengan asap yang mengepul dan suara bisingnya.
"Semprul, kejar Bud tindakan bahaya iki ditambah pencemaran lingkungan," suruhku sambil mengayuh sepeda ku kencang sambil membawa botol sampah tadi ditangan ku.
"Iya lihat kukus knalpot mobilnya ngebul banget," ucap si Budi yang juga siap meluncur mengejar orang yang tak bertanggung jawab itu.
"Weh berhenti kring kring kring," teriakku sambil membunyikan bel sepeda ku.
"Mobil abang berhenti," saut si Budi yang juga berteriak. (Abang disini bukan Kakak ya tapi artinya warna merah.)
"Weh berhenti... weh.." teriak kami berdua kembali sambil mengayuh sepeda kami lebih kencang.
Orang yang didalam mobil sport itu melihat kaca spionnya dan melihat aku dan Budi yang sedang mengejarnya.
"Weh berhenti," kami terus berteriak agar pengguna mobil sport itu memberhentikan mobilnya.
Mobil sport itu memelankan laju jalannya dan berhenti. Begitu juga aku dan Budi yang sama-sama berhenti. Orang yang ada didalam mobil keluar dengan menutup mobilnya dengan keras.
"Lam kayaknya marah," ucap si Budi padaku ketakutan.
"Wis tenang wae," ucapku agar mempercayaiku.
Terlihat orang itu ternyata seorang yang masih remaja seperti kami yang juga memakai seragam putih item. Ya selama masa OSPEK kami memakai pakaian putih hitam dengan berkalung sebuah papan yang tertera nama kami. Mobil remaja itu kebetulan juga mengarah ke Universitas Jenderal Soedirman.
Ya aku belum memperkenalkannya di awal siapa musuhku dalam cerita ini. Ya dia adalah anak dari Rektor Kampus kami. Namanya adalah Samsul Baidullah. Anaknya sombong dan bersifat seenaknya serta musuh bagi Alam. (Yang dimaksud bukan Alam diriku ya tapi Alam Semesta.)
"Heh kalian berdua siapa hah meneriaki aku seperti itu," marahnya sambil menunjuk-nunjuk kearah kami.
"Maaf Mas e ini sampah e Mas e bukan?" tanyaku sambil mengangkat botol plastik yang ada di tangan ku
"Iya memang kenapa?" jawabnya sinis.
"Maaf Mas, Mas e iki dah buang sampah sembarang terus botol ini tadi melayang ke kepalaku," jelas ku sambil menunjukkan botol sampah yang dibuangnya lalu aku memperlihatkan dahiku yang lecet sedikit padanya.
"Apa masalahnya? Kamu ya juga tak apa-apa," katanya.
"Iya aku baik, tapi Mas iki bisa membahayakan orang lain dan pengendara lainnya gara-gara ditimpuk botol sampah Mas e," jelas ku kembali sambil turun dari sepedaku.
"Iya Mas, minta maaf batuk (dahi) kanca ku dadi luka kaya gitu," timpal si Budi menyuruhnya remaja itu minta maaf padaku.
"Terus ya mobil Mas e itu penyebab polusi udara, berisik pula," tambahnya.
"Masalah buat kamu? Kalian berdua ini siapa sih saudara bukan tapi sok ngatur hidupku. Ayah aku juga gak nglarang diriku," ucapnya malah nyolot kepada kami.
"Kami berdua memang bukan siapa-siapa bahkan kita tak saling kenal tapi sebagai manusia harus saling mengingatkan kan," jelas ku menasehatinya.
"Halah aku tak butuh ceramahan pagi mu itu," bantah remaja itu seenaknya.
"Jen ini orang dibilangin malah ngelunjak," ucap si Budi mulai kesal dengan tingkah lakunya.
"Kalian marah? Yang harusnya marah tuh aku. Kalian berdua seenaknya memberhentikan orang saja," tanyanya yang lalu diteruskan dengan menyalahkan kami berdua.
"Huh kan Mas e yang bikin kesalahan ya kita kejar," si Budi makin geram dengannya.
"Ini dibilang kesalahan polusi udara lah. Kalian berdua memang kayaknya gak pernah lihat mobil sport ya," ucapnya lagi.
"Hem oh ya kalian berdua kan orang kampung pasti gak pernah lihat pastinya," tambahnya yang malah mengejek kami berdua.
"Pernah leh walau kur lihat di tv," ucap si Budi lirih.
"Ciah mamang kampungan," si remaja itu makin merendahkan kami.
"Mas sebaiknya jangan pakai mobil sport di jalan raya selain suaranya terlalu bising asapnya juga terlalu banyak dan dapat menyebabkan polusi," aku berusaha menasehatinya kembali agar pria remaja itu mengerti kalau perbuatannya salah.
"Kalian berdua ini terlalu peduli dengan alam. Alam rusak kita juga tak bisa apa-apa kan?" katanya santai seolah tak memperdulikan alam sekitar.
"Kata siapa? Jika alam rusak kita hanya perlu memperbaikinya saja seperti jangan membuang sampah sembarang seperti Mas nya ini. Dan sebaiknya Mas membuangnya jika Mas sudah sampai di tempat tujuan, jelas ku melangkah ke arahannya sambil memberikan sampah botol itu.
Buk.... Remaja itu terlihat kesal dan melempar botol minuman itu ke arahku lagi. Tapi untung aku cepat menghindar.
Perdebatan diantara kita bertiga semakin panas. Semua orang yang melintas juga melihati kami berdebat. Dan sepertinya diantara mereka ada yang merekam perdebatan kami juga.
"Wah parah Lam aku rekam ya, jarang-jarang nemu konten kaya gini," ucap si Budi tak terima sambil mengeluarkan handphonenya dan bersiap untuk merekam.
"Ngajak berantem kalian berdua," si remaja itu malah menantang kami sambil melangkah ke arah Budi dan hendak merebut handphonenya.
"Apa apa maju sini," suruh Budi memberanikan diri sambil merekam dan berjalan mundur.
Saat remaja itu maju hendak memukul kami berdua. Seorang polisi datang melerai. Ternyata Pak Polisi sudah dari tadi perhatikan kami yang sedang berdebat ini dari layar cctv Prapatan. Ya kami bertiga ribut di Prapatan lampu merah.
"Heh berhenti kalian bertiga," teriaknya sambil berjalan menghampiri kami bertiga di seberang.
Pak Polisi menghampiri kami dan menanyakan tentang masalahnya.
"Selamat pagi adik-adik," sapa Pak Polisi sambil memberikan hormat pada kami.
"Pagi Pak Polisi," jawab ku dan si Budi. Si Budi yang tadinya sedang merekam kejadian jadi langsung berhenti dan segera menyimpan hpnya.
"Ada masalah apa kalau boleh tau?" tanyanya.
"Begini Pak, Mas ini tadi membuang sampah ke jalan dan tak sengaja mengenai dahiku," jelas ku.
"Bener Pak sampai luka," timpal si Budi mengadu.
"Mas apa benar begitu?" Pak Polisi menanyakan kebenarannya pada si remaja pengendara mobil sport itu.
"Iya memang kenapa?" jawabnya menantang Pak Polisi.
"Lam lihat mukanya itu ra santai," ucap si Budi padaku.
"Dah tahan sit, ada Pak Polisi," kataku menenangkan amarah si Budi.
"Gini Mas, perbuatan Mas ini terlalu membahayakan pengendara lain," Pak Polisi memberikan nasehat kepada remaja itu.
"Bahaya gimana cuma lecet segitu aja lebay amat," jawabnya kesal sambil menunjuk kearah ku.
"Bukan begitu Mas tapi tindakan mas ini sudah melanggar hukum," jelas Pak Polisi kembali.
"Pak, dia juga pakai mobil sport di jalan raya asapnya itu membuat polusi," adu si Budi pada Pak Polisi.
"Apa iri kamu gara-gara gak punya," ucap si remaja itu tak terima.
Aku dan Budi hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkah belagunya itu.
"Mas mobil sport itu digunakannya di sirkuit balap bukan di jalan raya," Pak Polisi kembali memberikan nasehat kepadanya.
"Lagian kamu itu salah malah gak ngakuin," ucap pak polisi yang mulai geram dengan tingkahnya.
"Bapak tau aku ini siapa?" tanya si remaja itu pada polisi dengan sombongnya.
"Anak siapa? Anak Pak Presiden, anak Pak Presiden saja kalau bikin kesalahan juga pasti si hukum," jawab Pak Polisi sambil melotot padanya.
"Pak hukum wae kon kapok," suruhku pada Pak Polisi agar menghukumnya.
"Iya bener," timpal si Budi juga.
"Sudahlah kamu cepat pus up 10 kali," suruh Pak Polisi kepada remaja itu.
"Tapi Pak," bantahnya.
"Sudah lakukan kan saja," suruh Pak Polisi kembali.
"Kamu tak malu apa dilihatin banyak orang. Anak remaja jaman sekarang memang susah dibilangin," marah Pak Polisi pada remaja itu.
Dengan terpaksa si remaja itu melakukan push up di jalanan beraspal sebanyak 20 kali.
Pengguna jalan lain semua melihat ke arah kami. Bahkan mereka semua juga menertawakan remaja yang dihukum itu.
"Bud jam pira sekarang?" tanyaku pada si Budi karena melihat hari terasa semakin siang saja.
"Halah jam 9 Lam," si Budi melihat ke jam tangannya dengan terkejut.
"Aduh gawat wis telat," ucapku sambil menepuk tanganku ke dahiku. Aku kelupaan dengan lukaku. Aku mengernyit sedikit karena terasa perih.
"Pak saya pamit ya," aku langsung berpamitan kepada Pak Polisi.
"Ya sudah kalian boleh pergi biar ini jadi urusan bapak," Pak Polisi mengizinkan kami berdua untuk pergi melanjutkan perjalanan kami.
"Terimakasih Pak," ucapku dan si Budi sambil menunduk.
"Sama-sama, hati-hati kalian berdua ya," pesannya pada kami.
Aku dan Budi kembali mengayuh sepeda masing-masing dan pergi ke kampus sementara remaja tadi dihukum pus up oleh Pak Polisi.
Aku dan Budi melambaikan tangan padanya sambil tertawa melihat dirinya sedang dihukum. Ia malah melihat kami dengan tatapan tak suka.
"Sudah Pak," lapor si remaja itu sambil mengusap-usap kedua tangannya karena kotor.
"Bagus, sekarang kamu boleh pergi," jawab Pak Polisi mengizinkan nya pergi.
"Dari tadi kek," ucapnya kesal. Remaja itu hendak pergi tapi di panggil kembali oleh Pak Polisi.
"Eh Mas tunggu," panggil Pak Polisi.
"Apa lagi?" tanyanya sambil berbalik.
"Serahkan kunci mobilmu. Mobil kamu Bapak sita. Minta orang tua mu datang ke Kapolres Sudirman," suruhnya.
"Nah Pak," si remaja itu memberikan kunci mobilnya dengan terpaksa.
"Sial awas kalau aku ketemu dengan orang kampung itu," gumamnya sambil memberhentikan sebuah taksi yang lewat.
Remaja itu terpaksa naik taksi. Saat ingin pergi, Pak Polisi menepuk pundaknya.
"Mas Mas," panggilnya.
"Apa?" tanyanya lagi.
"Botol sampahnya jangan lupa dibawa ya," suruhnya.
Remaja itu berlari untuk mengambil sampah botol dan mengambilnya dengan sewot.
"Sekarang boleh pergi saya?" tanyanya.
"Silahkan jangan ulangi lagi ya," jawab Pak Polisi mengizinkan nya.
Si remaja itu masuk ke taksi yang diberhentikannya, remaja itu terpaksa melanjutkan perjalanannya menggunakan taksi.
Pak Polisi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya heran melihat tingkah anak muda sekarang.
...🌳🌳🌳🌳🌳🌳...
Di Universitas Jenderal Soedirman.
Aku dan Budi sudah sampai di Kampus tapi ternyata kami berdua ketinggalan apel pagi dan semua mahasiswa sudah memulai kegiatannya.
Franky yang melihat kami menghampirinya dengan berlari kecil ke arah kami.
"Bud, Lam kowe pada darimana?" tanyanya pada kami.
Belum dijawab sebuah pengumuman muncul
"Bagi mahasiswa baru bernama Alam Setiawan dan Budi Utomo harap menuju ke kantor rektor sekarang," panggilnya mengarah pada kami.
"Heh kalian dipanggil," ucap si Sinta memberi tahu sambil berjalan ke arah kami.
"Ada apa ya?" tanyaku bingung.
"Mbuh Lam," jawab si Budi yang juga tak tahu alasan kita dipanggil.
"Apa gara-gara telat," pikirku.
"Bisa jadi," timpal si Budi yang berpikiran sama.
"Kalian berdua lebih baik cepat ke sana," suruh si Clara pada kami.
"Baiklah, kita pergi dulu," ucapku.
Seketika aku memutar kakiku kembali sebelum pergi.
"Punten kantor rektor dimana ya?" tanyaku pada temen-temen karena aku dan Budi tak tahu letak Kantor Rektor.
"Haduh di sana dari halaman lurus kantor pojok dewek," jawab si Frank sambil menepuk dahinya.
"Oh ya ya suwun Frank," ucapku lalu pergi.
Aku dan Budi menuju kantor rektor yang di tunjukkan si Frank.
"Itu bukan Lam?, tanya si Budi padaku.
"Iya Bud ada tulisannya," jawabku karena melihat papan ruangan di atas pintu.
Aku dan Budi langsung mengetuk pintu.
"Tok tok tok, permisi pak bapak panggil kami," ucapku sambil mengetuk daun pintu.
"Alam, Budi," seseorang dengan berpakaian jas memanggil nama kami.
"Iya Pak," jawab aku dan Budi.
"Masuk," suruh orang berjas itu.
Kami berdua masuk sedangkan orang yang berjas tadi menunggu diluar. Aku seketika terkejut mendapati remaja tadi sudah disana dan sedang duduk memandangi kami berdua dengan tatapan belagunya.
"Permisi ada apa ya Pak?" tanyaku. Terus aku melihat sekeliling dan melihat di meja ada papan nama tertulis nama 'Samsudin' ya nama ketua rektor kampus kami dan juga ayah dari si Samsul.
"Kalian tahu kenapa kalian dipanggil?" tanya Pak Rektor berbalik tanya.
"Tidak Pak," jawab kami berdua sambil menggelengkan kepala
"Apa gara-gara kami berdua telat," tebak ku tiba-tiba.
"Iya dan ditambah lagi kalian telah mempermalukan anak saya di tengah jalan," ucapnya membenarkan sambil menuduh kami.
"Anak bapak siapa?" tanyaku.
"Dia Samsul Baidullah," jawabnya sambil menunjuk remaja tadi yang sedang duduk.
"Apa dia anak bapak?" tanya si Budi pada Pak Rektor karena tak percaya.
Aku dan Budi melirik kebelakang, ia dengan santainya menyergitkan dahinya sambil mengangkat bahunya seolah-olah tak tahu apa-apa. Padahal dirinya telah mengadu ke ayahnya sebelumnya. Ya dirinya tau nama kami juga karena tadi ia melihat papan nama kami saat di jalan.
"Iya kenapa?" tanyanya tak suka sambil memberikan tatapan tajam kepada kami.
"Bukan begitu Pak tapi tadi kami mendapati anak bapak membuang sampah sembarangan dan kebetulan sampah itu terkena kepala saya," jelas ku mengatakan yang sebenarnya.
"Iya kami juga telat gara-gara debat dengannya," timpal si Budi menambahkan.
"Apa salahnya membuang sampah hah lagi pula itu sampah kecil dan tak akan membuat kotor jalan," Pak Rektor malah membela anaknya yang salah bukan menegurnya.
"Tapi Pak walau hanya satu tapi jika dibiarkan takutnya penggunaan jalan lain juga akan ikut melakukan hal sama dan jika dibiarkan akan banyak sampah yang berserakan," ucap ku dengan berani menasehati Pak Rektor.
"Lihat Yah mereka berdua berani-beraninya menceramahi Ayah yang seorang rektor," si Samsul malah meng kompor-kompori ayahnya agar memberi pelajaran pada kami.
"Kalian tak tahu saya rektor disini hah, bicara yang sopan kamu," ucapnya marah.
"Tapi menurutku saya sudah sopan dan sudah menjelaskan kejadiannya dengan detail," aku membantah perkataan Pak Rektor yang memarahi kami.
"Yah mereka juga membuat ku push up di tengah jalan pagi-pagi," adu si Samsul lagi pada Bapaknya.
"Berani-beraninya kalian juga membuat anak saya ditegur polisi," marahnya lagi.
"Sudahlah sekarang lebih baik bapak hukum kalian saja," Pak Rektor pada akhirnya memberikan hukuman pada kami berdua yang tak membuat kesalahan besar.
"Hukum..? Kok kenapa kita dihukum?" tanya Budi terkejut dicampur bingung.
"Masih tanya lagi kenapa?" ucap pak rektor semakin marah.
"Kalian itu sudah telat dan sudah mempermalukan anak saya, dan kalian harus membersihkan seluruh area yang ada di Fakultas MIPA ini," jelasnya sambil memberikan perintah hukuman pada kami berdua.
"Apa Pak, Bapak gak salah area Fakultas MIPA disini luas Pak." Budi terkejut mendengar hukuman tak masuk akal yang di berikan Pak Rektor pada kami berdua.
"Kalian berdua menolaknya?" tanyanya.
Budi akan berbicara lagi tapi aku menahannya dengan menatap tajam matanya.
"Baik kami terima hukuman bapak. kami berdua minta maaf," ucapku mengakhiri pembicaraan agar tak menjadi panjang.
"Baiklah, silahkan kalian keluar dan langsung kerjakan hukumannya jangan istirahat sebelum kalian selesai semua," Pak Rektor menyuruh kami pergi dan langsung menyuruh kami berdua agar segera mengerjakan hukuman berat itu.
Aku dan Budi hanya bisa menelan ludah mendengar hukuman yang berat ini. Sungguh apes hari ini padahal aku telah melindungi bumi tapi malah dihukum gara-gara dituduh mempermalukan anak rektor. Ya sudah jalani saja apa adanya.
Saat kami berdua hendak keluar seketika Budi berhenti dan berkata "Pak, apa bapak tidak menghukumnya juga dia juga telat," katanya.
"Dia itu anak saya, keluar". Pak Rektor malah semakin marah dan menyuruh kami segera keluar dari sana.
...🌵🌵🌵🌵🌵🌵...
Kami berdua terpaksa menerima hukuman itu walau kami merasa tak bersalah. Kami berdua mulai dari ujung area Fakultas MIPA sampai ujung yang lain. Mulai dari kamar mandi, Ruang UKS, perpustakaan, dan masih banyak ruang lainnya. Hampir lima jam kami membersihkan semua itu hanya berdua saja. Teman teman kami bahkan tak berani membantu kami karena takut dengan pak rektor. Sampailah akhirnya di penghujung ruang Kampus yaitu perpustakaan.
Sambil bersih-bersih si Budi tampak kesal sampai melempar kemoceng nya ke lantai saking kesalnya.
"Bud kamu kenapa?" tanyaku karena melihat Budi yang tiba-tiba melemparkan kemoceng yang dipegangnya.
"Aku gela lam gela, padahal kita hanya telat tapi dihukumnya berat banget kaya habis nglakuin kesalahan besar," Budi terlihat sangat kesal dan marah atas hukuman yang tak adil ini.
"Aku ngerti tapi kita hanya bisa menerima kenyataan saja," ucapku menenangkannya.
"Tapi ra adil Lam, padahal kita berdua hanya telat malah ditambah nuduh mempermalukan anake Bapak Rektor yang namanya Samsung," tuturnya kesal sampai salah ucap nama.
"Bud Samsul Bud bukan Samsung," seketika aku menjadi tertawa karena mendengar Budi yang salah mengucapkan nama.
"Iya lah itu aku lagi kesel jadi maklum ilat ku kepleset," ucapnya tak santai.
"Iya iya kesuh ya kesuh aja karo banting barang, takut rusak nanti dihukum lagi," jelasku menasehatinya.
"Habis aku kesel bedugul atiku," katanya yang masih marah pada si Samsul.
"Ditambah deleng sifatnya itu songong nya minta ampun ditambah sifat belagunya juga elus dada aku Lam," tuturnya lagi.
"Wis wis itung itung membersihi kabeh sekampus dadi ana manfaatnya bisa gawe kampus lewih resik enak dipandang, debu ilang sampah dibuang mbok seger dadi ne," jelasku bahwa hukuman itu juga memberikan manfaat bukan pelajaran saja.
"Iya tapi capek Lam," keluh Budi yang sudah tak sanggup lagi membersihkan.
"Sama, sabar Bud sedikit lagi. Semangat," ucapku memberi dorongan agar tak menyerah.
Setengah jam aku membersihkan perpustakaan yang lumayan luas berdua saja. Rasanya ingin istirahat minum es yang dingin mesti seger. Pada akhirnya kita berdua selesai membersihkan seluruh kampus ditambah ruang perpustakaan yang terakhir.
"Ah akhirnya rampung," ucapku lega sambil turun dari tangga setelah menyusun beberapa buku di rak lemari.
"Iya Lam kesele eram," ucap si Budi yang merasa lega juga.
"Kantin yuk nginum," ajak ku padanya.
"Hayu," jawabnya setuju.
Baru saja keluar dari perpustakaan kami mendadak dikejutkan dengan Frangky, Clara dan Sinta yang membawa aneka minuman segar dan jajanan.
"Hei Bro Bro ku," panggil di Frank yang datang bersama si Sinta dan si Clara.
"Franky jaluk minum e," rengek si Budi manja.
"Yah wis tak beliin spesial buat kanca ku sing tes di hukum," si Frank memberikan sekantong kresek pada kami berdua yang tadi dibawa Sinta dan Clara.
"Suwun temen," ucapku dan Budi senang.
"Duduk duduk sit," suruh Sinta pada kami untuk duduk dilantai.
Kami semua duduk lesehan dilantai depan perpustakaan yang habis dipel olehku dan kebetulan sudah kering.
Aku dan Budi langsung meneguk sebotol Aqua dingin sampai habis tak tersisa.
Glegek glegek glegek suara ku dan Budi yang meminum air sampai tuntas.
"Segereeeee," ucapku setelah menghabiskan satu air botol mineral tanpa sisa.
"Iya Lam seger pisan," timpal si Budi yang juga merasa kesegaran minumannya walau hanya air mineral dingin.
"Kesel Bud, Lam?" tanya si Frank padaku dan Budi.
"Ya jelas lah ndadak sarana tanya," jawabku.
"Kesel pisan leh bayang na aku dan alam bersih na dari ujung sana gutul ujung sini. Buahh rasanya kaya mau pingsan," jelas si Budi pada lainnya.
"Maaf ya kami tak bisa bantu kayaknya pak rektor Ra ngizinin," ucap si Clara meminta maaf karena tak bisa menolong ku dan Budi.
"Iya tak apa-apa aku ngerti," jawabku.
"Kalian berdua dihukum gara-gara Samsul yah," tebak si Frank.
"Kamu kenal Samsul Frank?" tanyaku.
"Kenal Bapaknya kan batir Bapak ku," jawabnya.
"Oh ngonoh toh," ucap ku dan Budi berbarengan.
"Ya, aku sebenarnya kon kanca an karo Samsul tapi aku tak mau," tutur si Frank pada kami semua.
"Kenapa?" tanyaku mempertanyakan masalahnya.
"Deleng mukanya be wis melehi. Gething aku ra sudi, lebih baik temenan sama kalian berdua senamun kadang jengkel na," jawabnya sambil menjelaskan kejelekan si Samsul pada kami semua.
Aku dan temen-temen tertawa rasanya hilang semua rasa capek yang dirasa. Saat sedang asyik tertawa tiba-tiba si Samsul datang dan dengan seenaknya menendang sampah makanan dan minuman yang telah kami kumpulkan.
"Dasar orang kampung makan aja di pinggiran lantai begini kaya gak ada tempat lain," ucap si Samsul yang tiba-tiba datang sambil menendang sampah yang kami kumpulkan.
"Heh Sul kamu ini datang-datang malah ngajak ribut," marah si Frank padanya.
"Eh Frank kamu temenan sama anak kampung itu?" tanyanya sambil tertawa kecil seakan-akan mengejek ku.
"Iya ngapa?" tanya si Frank tak santai.
"Ngapa sih temenan sama anak kampung lebih temenan sama aku yang selevel," jawab si Samsul sambil menghasut si Frank agar tak berteman dengan ku dan Budi.
"Suka-suka aku mau berteman dengan siapa," jawab si Frank yang membela aku dan Budi.
"Punten kamu ini telah membuat lantai menjadi kotor kembali tau," tegur ku memberi tahu kesalahannya.
"Halah sok bersih kamu kotor ya tinggal dibersihkan lagi apa susahnya," jawabnya membantah.
"Heh Samsung kamu ini penyakit bumi yang membuat bumi sakit," Budi mengatai si Samsul dengan berani walau masih salah mengucap namanya.
"Bumi sakit berobat lah, dan kamu ini kayaknya ada yang salah dengan pelafalan mu namaku itu Samsul bukan Samsung," ucapnya malah menasehati si Budi yang salah ucap namanya.
"Oh iki toh Bud sing namanya Samsul?", tanya si Sinta yang bersiap memberi pelajaran sambil menggulung lengan bahunya
"Iya Sin, jawab si Budi mangut-mangut.
"Mantes bener katamu Frank dilihat be aku wis ra seneng sama sifatnya dan wajahnya, ganteng juga nggak malah mirip sama virus," ucap si Sinta lagi sambil menjelek-jelekkan si Samsul.
"Heh kamu itu seorang gadis tapi mulutmu tak dijaga aku ganteng kaya gini malah disamain sama virus kurang ngajar banget kamu ya," tunjuk si Samsul merasa tak terima dikatakan virus oleh si Sinta.
"Emang dasar jelek kan sifatmu juga elek, dan bener katamu Sin mukanya mirip virus penyakit bumi," si Clara juga ikut mengatai si Samsul penyakit bumi.
"Wah cewek satunya ikut ikutan," si Samsul semakin kesal dengan kami berlima.
"Heh Sul punten kalau gak ada perlu mending pergi aja ngerusak kesenangan orang," suruhku mengusirnya pergi
"Ngusir kamu," ucapnya tak terima sambil menatap tajam ke arahku.
"Iya kami ngusir kamu," si Sinta membela ku dan ikut menyuruh si Samsul pergi.
"Berani kalian sama aku aku beritahu ayahku supaya menghukum kalian," ucapnya kesal karena tak terima di usir oleh kami.
"Lah tukang ngadu," ledek di Budi padanya.
"Adu sana aku ra wedi aku, ra takut arep anak Rektor, Pak Presiden nek jengkel na kayak kamu ya aku kesuh," tambah si Clara yang juga kesal dengan kelakuan si Samsul yang tukang adu itu.
Tiba-tiba ada orang yang memanggil dirinya dari belakang.
"Den Samsul dicariin Bapak," panggil orang yang berjas tadi yang seorang sekretaris Ayahnya.
"Tuh dicariin Bapakmu, sana pergi pergi," ucap si Budi memberi tahu sambil mengusirnya kembali dengan mengibaskan kedua tangannya kearah si Samsul.
"Awas ya kalian semua aku hafalkan muka kalian yang ngeselin ini," ancamnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah kami berlima.
"Sok hapalkan aja lupa mukaku sing rada Ireng tapi senyumnya manis," ucap si Frank meladeninya.
Aku dan lainnya malah tertawa dengan jawaban si Frank yang menjawab sambil tersenyum paksa pada si Samsul. Sementara Samsul pergi bersama sekretaris Ayahnya.
Tiba-tiba seseorang menegur kami dari belakang.
"Heh kalian berlima siapa yang membuat lantai kotor penuh dengan sampah," panggil seseorang menegur kami dari belakang.
Kami berlima menengok bersama dan kami semua nyengir kepada Kak Kris yang ternyata yang menegur kami.
"Maaf Bang Kris," ucapku meminta maaf padanya.
"Kalian ini makan dan minum sampahnya dibikin berserakan," tegurnya kembali.
"Tapi Kak, sebenarnya kami telah mengumpulkannya tapi tadi ditendang oleh si Samsung," tutur si Budi pada Kak Kris. Ia jadi keterusan memanggil nama Samsul dengan panggilan Samsung.
"Banyak alasan cepat bereskan jangan ada yang tersisa," suruh Kak Kris pada kami.
"Iya iya," jawab kami semua menurut.
"Kakak pergi dulu, bersihkan semuanya jangan sampai ada sisa," pamit Kak Kris lalu pergi meninggalkan kami.
"Siap Kak," ucap kami kompak sambil memberikan hormat padanya.
Hem lagi-lagi dihukum lagi tapi hukuman ini berbeda karena bukan hanya aku dan Budi tapi temen-temen lainnya juga ikut membantu.
Kawan jangan di tiru ya perbuatan si Samsul yang seenaknya membuang sampah dijalan tanpa memikirkan pengguna jalan lain. Untung yang dibuang sampah botol ringan walau sedikit terasa di kepalaku. Tapi coba bayangkan kalau sampah botolnya masih ada airnya. Terus misalnya pengendara motor melintas dan tiba-tiba dikejutkan dengan sampah botol yang dilempar dari dalam mobil pastinya terkejut dan mungkin juga bisa terjatuh karena kaget.
Bersambung........🍄🍄🍄
...----------------...
Kamus: Lewih:lebih; gutul: sampai; batir: teman; melehi: menyebalkan; gething: benci; kesele: capeknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ𖤍ᴹᴿˢ᭄𝓐𝔂⃝❥AyJinda❀∂я
dah istirahat sekarang apalagi temen-temen yang lain pada datang bawa minuman buat kalian berdua
2023-06-26
1
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ𖤍ᴹᴿˢ᭄𝓐𝔂⃝❥AyJinda❀∂я
lah bapak gimana sih malah belaian anaknya yang jelas-jelas salah perlu di getok nih kayaknya
2023-06-26
1
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ𖤍ᴹᴿˢ᭄𝓐𝔂⃝❥AyJinda❀∂я
betul itu pak anak sapa emangnya anak orang juga kan wkwk
2023-06-26
1