“Syil, nelpon nih orang! emang lu the best deh.”
[Ya, Sist, gimana?] Andi menjawab telepon dari Asisten Produser yang menawari memfilmkan novel Syila.
[Bapak ngundang Mbak Syila buat membicarakan revisi kontrak kerja sama, bapak bilang semua syarat akan dimasukan ke dalam kontrak, jadi Bapak minta Mbak Syila untuk mereview bersama dan kalau memungkinkan, sekalian tanda tangan kontrak.]
[Ok, kapan? biar saya cek dulu jadwal Mbak Syilanya, soalnya dia sibuk minggu ini bertemu dengan beberapa Produser lain.] Andi menjadi lebih pintar dalam keadaan seperti ini.
[Besok pagi ya, Bapak ingin bertemu secepatnya.] Asisten itu terdengar terburu-buru dan takut, jelas pihak mereka sudah kalah dalam bernegosiasi dengan Syila, perempuan yang teguh pada apa yang dia pegang.
“Syil! Gila! Gila! Syarat kita diterima, besok kita ketemu bapak, katanya semua syarat lu bakal udah ada di kontrak, emang elu juara, ya.”
“Kan gue udah bilang shay, yaudah, sana keluar, gue mau nulis lagi, berisik tau.”
“Iya Yang Mulia.” Andi keluar dari kamar Syila, mereka berdua sedang di apartemen Syila, tempat kerjanya memang di sana, Syila memutuskan untuk membeli sebuah unit apartemen agar bisa bebas menulis tanpa gangguan, sementara keluarganya sudah dibelikan rumah di selatan kota ini.
…
“Makasih ya Pak, udah diundang lagi ke sini, untung aja hari ini ketemunya, kalau besok mah, kita udah ada jadwal, hari ini rencananya jadwal Syila ke Dokter Gigi, tapi udah kita batalin aja, bisa minggu depanlah.” Andi terdengar bicara omong kosong, karena Syila paling anti ke Dokter Gigi dan mereka tidak punya janji temu dengan siapa pun saat ini.
Syila sedang meeting dengan Pak Ammarhudi Katarjo, dia adalah Bos dari Production House cukup besar di negeri ini, kalau tidak salah ada 3 nama besar yang menguasai ranah perfilman di negeri ini, salah satunya adalah, yang dimiliki oleh Pak Ammarhudi Katarjo ini.
“Baik, Pak Andi, ini kontrak kerjanya, bisa di pelajari dahulu, Mbak Syila mau baca dulu?” Sekertarisnya menyodorkan map transparant yang berisi 2 rangkap draft kontrak kerja, Andi langsung menyodorkannya pada Syila.
“Saya akan mempelajarinya dulu ya Pak, boleh saya meminta waktu 2 hari untuk mengambil keputusan.” Andi langsung menendang kaki Syila, dia merasa Syila sudah keterlaluan. Kenapa harus menunda jika uang sudah di depan mata. Itu yang Andi fikirkan.
“Terlalu lama Syila, kamu sedang menguji kesabaran kami?” Produser itu tertawa dengan menggelegar, walau perkataannya cukup tajam.
“Aku tidak bisa memutuskan kalau dipaksa dan terburu-buru Pak, bukan gayaku.” Syila ikut tertawa terbahak-bahak, bahkan Andi kaget dan merinding, karena Syila tidak seperti biasanya, dia hanya sedang menyamai kedudukan, Syila memang paling tidak mempan diintimidasi.
“Ok, satu hari, saya nggak bisa mundur lagi.” Produser itu berkata.
“Deal, satu hari, besok tepat jam yang sama, aku akan datang ke sini, setelahnya aku akan putuskan terima atau tidak, kalaupun terima, pasti ada beberapa hal yang mungkin aku highlight, apakah itu bisa diterima?”
Produser itu terlihat sangat kesal, tapi dia seperti mempunyai firasat yang baik pada proyek kali ini, mengingat sudah 1 tahun belakangan, tidak ada satu pun proyek yang bisa membuat production housenya menjadi nomor satu.
“Bisa, tentu saja saja, Syila yang tentukan.” Pak Ammar seperti sedang menyindir karena merasa Syila terlalu banyak minta, sebagai penulis yang belum pernah memiliki karya yang difilmkan, tentu permintaannya dianggap keangkuhan.
Setelah itu, Andi dan Syila pamit dengan membawa draft kontrak kerja itu.
“Lu sih keterlaluan Syil, 2 hari, untung aja dia setuju sehari, kalau dia kesel dan tendang kita dari kantornya, gimana?” Andi marah-marah, sekarang mereka sudah di mobil Syila, Syila yang menyetir, karena Andi tidak suka menyetir.
“Itu namanya seni negosiasi Shay, target gue emang sehari, tapi kan kalau gue bilang sehari, mereka pasti nawar, makanya gue set dua kali lipat dari target yang mau gue capai, sama kayak gue nulis, ekspektasi gue, selalu gue bikin double, kalau akhirnnya nggak tercapai, ya pasti seenggaknya gue dapet setengahnya.”
“Syil, gue tau, filosifi lu yang tinggi itu memang dalem, tapi nggak selamanya itu bisa nolong lu, dan please, lain kali, tolong banget, diskusi sama gue, sumpah gue selalu deg-degan setiap diskusi sama lu.”
“Tapi lu seneng kan, selalu deket sepupu lu yang cerdas ini?” Syila meledek.
“Senang kagak, jantungan iya.”
“Tenang, kita berdua kan udah gue asuransiin, jadi nggak masalah kalau sakit jantung doang mah.”
“Eh, sakit jantung deket ke mati kali!” Andi protes dan kesal.
“Mati mah urusan Yang Maha Kuasa Abangku sayang, jadi kita jalanin aja hidup dengan santai.” Syila melepas setirnya dan merentangkan tangan, seolah menghidup udara segar di pantai, dengan kemampuan menyetir yang tinggi, tentu ini tidak membahayakan.
“Pantes ya, Mami lu, Kakak lu, Papi lu pun! nggak ada yang mau dampingin jadi Manager, pasti karena ini nih alesannya, karena lu yang keras kepala, gini nih kalau dari orok udah di jadiin Princess, makanya keras kepala!” Andi ternyata benar-benar marah, tapi Syila tahu, Andi sebenarnya sangat sayang padanya, seperti adik sendiri, walau Ibunya adalah kakak dari papinya Syila. Bukan dari rahim yang sama, tidak membuat Andi ragu untuk selalu menjadi bantalan atau pun tameng bagi Syila.
“Nih, udah sampe, pulang gih, jangan ngayap ya.” Syila mengantar Andi sampai rumahnya.
“Lu tuh yang jangan ngayap, kerjaannya di warung kopi aja berjam-jam.”
“Kalau gue nggak ke warung kopi, nggak ada buku yang bisa lu jual, inspirasi tuh bukan muncul dari tempat tinggi Bang, tapi dari tempat yang jauh ke bawah, serius!” Syila tidak benar-benar ke warung kopi, tapi dia ke kafe kecil di dekat apartemen atau gang-gang perumahan, kafe yang tidak mahal, tapi banyak orang lalu lalang, itu membuat Syila melihat dan menghasilkan ide dari orang-orang itu.
Di kafe ini Syila melihatnya untuk pertama kali, lelaki itu, Selebritis besar itu.
Saat itu Syila baru selesai tour ke beberapa daerah untuk presale dan tanda tangan buku cetakan pertama untuk buku ketujuhnya, setelah terbit Syila tidak pernah menunggu lama untuk menulis lagi, kadang dia merasa bahwa serangkaian kegiatan Marketing ini tidak nyaman, terpaksa tersenyum padahal lelah, terpaksa menjelaskan pada sudah puluhan kali dia menjelaskan dan terpaksa seolah perduli, karena Syila orang yang paling cuek dan tidak perduli perasaan orang lain.
Hari itu dimana saat dia bertemu Izraa Erdhana, lelaki tampan yang membuatnya tidak tidur berhari-hari karena serangan ide itu, membuat Syila berhasil menyelesaikan buku dengan judul, 'Pria dalam Naungan Dendam', salah satu judul yang membawa namanya semakin dikenal, setelah 6 bulan menulis judul tersebut, Syila akhirnya menerbitkan buku itu, dan sekali lagi menjadi buku best seller dengan genre Action, Thriller dan Misteri, buku pertama tentang pembunuhan, buku ini menjangkau pembaca pria dan wanita, hingga pangsa pasarnya yang sudah luas, menjadi semakin luas, beberapa adegan pertarungan bahkan membuat Syila harus mendaftarkan diri di tempat Taekwondo untuk melakukan riset, karena untuk tulisan, tentu adegan pertarungan itu cukup sulit kalau tidak terjun langsung, paling tidak, setelah ini dia memiliki kemampuan bela diri yang cukup mumpuni.
Hari ini dia ke kafe ini lagi untuk sekedar minum kopi, dia ingin membaca draft kontrak dengan suasana senyaman mungkin, dia paling tidak bisa melakukan deal asal-asalan, untuk perencanaan hidupnya saja, dia selalu membuat semuanya terkoordinasi dengan baik sesuai bagan struktur yang dia buat. Ya, memang serumit itulah Syila, dibalik pakaiannya yang sederhana itu, terdapat bakat dan kecerdasan yang luar biasa, lebih dari yang manusia miliki pada umumnya.
"Mbak Syila, kemaren ada yang nanyain." Seorang pelayan yang cukup sering bertemu dengannya berkata.
"Juno?" Syila menebak.
"Iya, dia suruh saya cepat-cepat hubungi, kalau Mbak Syila ke sini, saya boleh begitu? " Pelayan ini tahu betul siapa pelanggannya, tentu dia tidak akan membuat pelanggannya tidak nyaman dengan melanggar privasi.
"Suruh aja dateng, nggak apa-apa, tapi selalu tanya aku ya kalau ada hal kayak gini, terima kasih kamu sudah menjaga privasiku."
"Iya Mbak, oh ya, aku boleh minta tanda tangan nggak? novel yang kemaren cetak aku udah beli."
Pelayan wanita itu meminta dengan sopan.
"Boleh, sini bawa bukunya, oh ya satu lagi, aku traktir kamu makan ya, pesan apa pun yang kamu mau, aku yang bayar." Ini salah satu kelebihan Syila, dia tidak pernah lupa berterima kasih dengan pantas, diantara semua sifat kerasnya, hal ini lah yang menjadikannya begitu disayangi penggemar bukunya.
"Makasih Mbak Syila, tapi yang kali ini nggak usah deh, masa tiga kali beli buku, tiga kali ditraktir makan." Pelayan itu pergi mengambil buku Syila dan tidak lama kemudian kembali, Syila menandatanganinya.
"Yakin nggak mau ditraktir?" Syila mencoba untuk membujuk.
"Nggak Mbak, saya beli karena suka dan banyak dapat pelajaran, jadi bukan untuk sok deket sama Mbak." Pelayan itu cukup baik.
"Ok deh, aku kasih tiket nonton aja ya nanti, buku yang ini kan bakal difilmin, aku bakal masukin nama kamu sebagai salah satu undangan di bioskop saat premier filmku, gimana?" Syila terdengar memaksa.
"Mbak ... makasih banyak ya." Pelayan itu menyalami tangan Syila.
"Lebay ah, yaudah telepon si Juna gih, bilang aku ada di sini."
Juna adalah teman SMAnya, satu-satunya teman, tapi Syila juga tahu dia memiliki perasaan yang lebih padanya, tapi Syila selalu memberi batasan yang jelas diantara mereka.
Hanya perlu menunggu 15 menit, Juna sudah sampai di kafe itu, rumahnya memang tidak jauh dari apartemen Syila.
“Syil!”
“Sabar, sabar Bos, kenapa pake teriak-teriak sih!” Juna terlihat marah begitu datang.
“Elu nyebelin banget, telepon nggak diangkat, dateng ke apartemen, lu nggak pernah ada, chat boro-boro di read, ngilang aja kerjaan lu!” Dia mengambil es kopi Syila dan meminumnya, mereka memang terbiasa melakukan hal semacam itu, minum atau makan dalam satu wadah.
“Kan elu tau, kalau gue lagi serius nulis, gue hiatus dari pergaulan, gue bener-bener cuma di kamar atau di kafe, justru gue kasian ama lu, kalau kita ketemuan juga, pasti elu gue cuekin, makanya gue memilih untuk tidak ketemu siapa pun, jangankan elu, Andi, Mami, Papi dan Kakak gue pun, nggak ada yang gue temuin, jadi jangan terlalu mikir yang enggak-enggaklah.” Syila menenangkan sahabatnya yang terkadang lupa bahwa Syila begitu serius menekuni bidang tulis menulis ini.
“Syil, gue cuma khawatir, elu tuh kebiasaan deh.”
“Kalau udah tau kebiasaan, kenapa mesti kaget sih?” Syila kesal, karena Juna berlebihan, sikapnya melebihi kekasih, padahal mereka cuma sahabat, ini yang membuat Syila malas punya kekasih, karena sahabat saja sudah berlebihan begini, apalagi sudah jadi kekasih, selain alasan besar lainnya yang sudah menghantui hidup Syila belasan tahun.
“Ok, yaudah, sekarang bisa kan kita ketemu dan ngobrol.
“Bisa, duduk, pesen kopi sendiri gih, jangan abisin punya gue.” Syila protes kopinya terminum cukup banyak oleh sahabatnya ini.
“Syil, proyek film gol?” Juna bertanya setelah kopinya sudah di meja dan tentu saja amarahnya meredam.
“Ini gue lagi baca pasal per pasal, jadi lu kalau mau ngomong yang nggak penting, mening out deh.”
“Mau gue bantuin nggak?” Juna adalah seorang lulusan hukum, banyak hal tentang perjanjian kerja, dibantu olehnya, karena Syila sendiri, jurusan Psikologi.
“Kan draft awal udah lu baca, ini gue cuma mau cek soal syarat yang gue kasih ke mereka, harusnya mereka udah masukin semua.”
“Lu yakin Syil?” Juna bertanya.
“Soal?”
“Lu kan pasti akan menulis judul baru lagi, mengingat judul ini sudah selesai cetak, lalu akan di filmkan. Biasanya setelah itu, elu akan mulai dengan judul baru, kalau akhirnya harus sibuk dengan ikut menggarap film, apa itu nggak berat Syil?”
“Trus, gue harus serahin bayi gue ke tangan orang yang nggak gue kenal gitu? mening nggak gue kasih tuh bayi gue.” Syila selalu menyebut karya-karyanya adalah bayi-bayinya, sedang dia adalah Ibu dari ke semua bayi tersebut.
“Jadi elu akan cuti nulis dan memutuskan ikut menggarap film ini?” Juna bertanya.
“Menurut lu, gue bisa gitu, nggak nulis?”
“Ya, terus?”
“Gue akan tetep nulis, di sela-sela waktu pembuatan film, walau nanti agak telat untuk launching buku terbaru, paling nggak, gue tetap bisa nulis plus ikut proses pembuatan film.” Syila punya target sendiri, setiap selesai launching buku pertama, dia akan beri jeda 6 bulan untuk launching buku selanjutnya, jadi setahun, ada 2 buku yang Syila terbitkan, di penerbit yang berbeda, kecuali buku bersambung.
“Jadi, kapan ketemu nyokap, bokap?”Juna bertanya dengan ragu.
“Jun, kok balik ke situ lagi sih? Kan lu tahu, gue tidak akan pergi sejauh itu, ini tentang hubungan kita Jun.”
“Paling enggak, temuin orang tua gue dulu, mereka cuma ingin ketemu sama lu Syil.”
“Sebagai apa Jun? anak angkat?” Syila tertawa, tapi itu bukan lelucon bagi Juna.
“Sebagai seseorang yang membuat anaknya, nggak bisa pergi kemana pun, selain tetap bertahan dan menunggu.”
“Jun .... “ Syila menatap dengan mata khawatir, dia takut bahwa perkataan Juna bisa saja menjadi beban untuknya, sejahat itu kah dia?
_________________________________
Catatan Penulis :
Hatiku milikku, begitupun denganmu
Jiwa tentu saja milik sang pencipta
Tapi jika takdir tak terelakan
Apakah cinta bisa dipaksa?
Entahlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Narimah Ahmad
tk siapa yg dpt melihat,takdir , jodoh dn segala... 🤔
2024-09-27
0
Diankeren
nme'y rasa g bisa dpksa sep Juna.....
2023-12-29
0
dtyas (ig : dtyas_dtyas)
bacanya pelan2, sayang kl keburu-buru 🥰
2023-07-02
0