Bau densifektan mendesak hidung Bram, dia terusik bangun dengan kejutan memanggil nama istrinya, "Lala!"
Kelopak matanya terbuka lebar, langit-langit bewarna putih, dengan satu titik lampu di tengahnya. Dia mengedarkan matanya, pupil matanya merekam warna dinding dengan dominasi biru dan putih. Terakhir matanya jatuh pada botol infus yang air menetes sangat lamban.
"Mengapa aku di sini?" tanyanya serak pada dirinya sendiri. Bram ingat, dia bertemu istrinya dalam bentuk ruh, sebut saja Bram telah bertemu Lala dalam wujud hantu.
Bram meremas air rindu di wajahnya, dan bergindik takut pada hitungan selanjutnya. Segera, dia tepis atas rasa cinta yang menyelimuti seluruh hidupnya.
Malam itu
Hujan baru saja berhenti, tapi bau melati dan angin membawa rasa bergindik. Tiba saja suara lirih seorang wanita yang begitu akrab di telinganya, 'Bram, aku ..., aku di sini.'
Menoleh ke asal suara.
Hantu, cekat Bram dalam hatinya, tetapi dia mengumpulkan keberaniannya. Lala adalah istri manisnya. Mengapa dia harus takut? Bukankah hal ini dia tunggu, malah bersikap pengecut. Sangat konyol sekaligus bergindik takut.
Dengan mata kepalanya sendiri, Bram bisa menyaksikan wujud nyata ruh Lala, dengan wajah terlihat seputih kapas, dua lingkaran hitam mengelilingi mata yang terlihat suram, rambut hitam yang tergerai berantakan, dengan busana serba putih menutup hingga mata kaki, dan mengambang di udara, terlihat tak memiliki kaki.
"Lala ..., mengapa dunia kita terlihat sangat berbeda?" keluh Bram.
Bram melemparkan kepalanya ke kiri dan kanan, sambil mengerjapkan mata, mempertimbangkan hal ini nyata atau ilusi. Melihat kenyataan di depan matanya, yang muncul malam
"Itu Nyata. Itu Lala ...."
Bram menarik napasnya dalam. Kini, dia yakin, hantu itu ada. Lala Kesuma, istrinya sendiri adalah hantu pertama kali, yang dia lihat dalam seumur hidupnya. Bram meringis, meremas dadanya sendiri. Karena, hal ini terlalu sakit untuk dia terima.
Bukan sekadar mimpi, atau rindu yang terlihat ilusi. Ruh nyata yang di temui malam itu, Bram sangat yakin. Dia adalah Lala Kesuma, istrinya.
Deg!
Bagai mantera yang telah kembali, percakapan pagi mereka sebelum hari naas itu terjadi, tereka ulang membekas, bukan hanya di benak, pikiran, bahkan sepasang telinganya serasa berdengung, merasa bisikan kalimat itu seperti telah menagih dirinya.
Lala, istri terbaikku, aku akan setia selalu, bahkan jika istriku tidak ada, aku akan mencari jiwanya, dan pergi menikahinya lagi.
Satu kalimat yang sering dia lontarkan, serasa peringatan untuk Bram, seperti lonceng yang bermakna 'janjimu adalah utang.'
Bram menyerap kesedihan dan janjinya sebagai utang dan tanggung jawabnya. Fakta menariknya, kini Lala datang dalam wujud Roh.
Bram menundukan kepala, haruskah dia menunaikan janji, dan melawan takdir seharusnya.
Sepanjang hari hanya dihabiskan merenung dan mengenang gambar-gambar manis dalam pikirannya, apalagi tidak ada yang berkunjung untuk Bram, karena Bram seorang anak yatim piatu, jikapun ada hanyalah orang-orang terdekat dari Lala, hanya sekadar menyapa dan pulang dalam lima menit kemudian setelah satu kalimat dingin, karena Bram cenderung peyendiri, dan tidak menyukai kehadiran orang lain.
Tok-tok-tok!
Ketokan panjang dan keras terdengar, tetapi Bram hanya duduk melamun. Tanpa sadar satu sosok bayangan hitam sudah berdiri di depan matanya, dan menepukkan tangan nyaring di depan matanya, "Bram!"
Kelopak mata Bram berkedip, dan baru menyadari sosok Arika, sahabat Lala dari masa Sekolah menengah, sudah ada di depannya.
"Ada apa?" tanya Bram tidak terlalu mengharapkan kehadiran Arika.
Arika duduk di sisi ranjang, mengupaskan kulit buah apel untuk Bram, dan terlihat berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bram, yang selalu terdengar dingin, untuk semua orang, kecuali untuk mendiang Lala, istrinya.
Arika menyelesaikan potongan buah apel, dan menyodorkannya untuk Bram. Bram menolak, pandanaganya bahkan tidak melihat Arika, seakan-akan langit biru di luar lebih menarik daripada sosok Arika, yang dari awal lebih dulu menyukai Bram, bahkan Arika lebih dulu mengenal Bram, daripada Lala.
Andaikata, perkenalan Bram dan Lala, di mulai dari Arika yang memperkenalkan Lala pada orang yang dia suka, dan ternyata ..., Arika menghela napas jika mengingat hal itu. Bram menyukai Lala, dan Arika telah kehilangan kesempatannya sejak hari itu.
Untung dia sudah mati, syukur Arika dalam hatinya, dan duduk meletakkan apel ke dalam piring, "Kata mereka, kamu dah lebih satu bulan nggak pernah nongol di kantor."
Bram terlihat tuli.
Toh, kantor itu milikmu juga, suka-suka kamulah tidak turun kantor, komentar Arika menjawab dirinya sendiri dalam benaknya.
Bram bahkan tidak melihatnya, Arika tetap menaruh perhatian, bagaimanapun Bram adalah cinta pertamanya, dan tujuan akhir hidupnya.
Arika bersikap acuh dan tidak acuh mendapatkan perlakuan dingin, dia mendorong bubur dan segelas susu di atas nampan, ke hadapan Bram.
"Makanlah ..., walau hanya satu sendok," pinta Arika lembut, dan satu telapak tangan Arika jatuh di atas punggung tangan Bram yang dingin.
Bram menarik tangannya, serasa tidak menyukai sentuhan wanita lain, selain istrinya, Lala Kesuma.
Istrimu sudah mati, Bram! Masih seperti itu, cibirnya dalam hati malas, dan mengambil satu sendok yang naik ke udara, berhenti tepat di depan mulut pria itu, "Makanlah Bram, kau kurusan sekali."
Pletak! Sendok jatuh ke lantai. Kelopak mata Bram terangkat sebentar, lalu terlihat kosong, "Maaf, saya tidak ingin makan!"
Arika menelan amarahnya. Mengubur jauh kekesalan hatinya, tetap bertutur lembut, "Baiklah, maaf menganggumu,"— Arika menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya,— "hmmm ..., makanlah tepat waktu, dan aku akan datang lain waktu."
Menunggu beberapa saat. Tidak ada satu katapun yang keluar dari tenggorokan pria yang telah mencuri hatinya tujuh tahun lalu.
Ha-ha-ha, Arika tertawa dalam hatinya. Konyol. Menyukai seseorang yang bertahun-tahun, tetapi kehadirannya terlihat kasat mata. Apa bedanya dengan hantu?
Arika mundur diri, kepalanya kembali menjulur ke belakang sesaat dia hampir melewati garis pintu, tetapi pria itu masih duduk kosong menatap langit.
Baiklah, Lala sudah mati, kaupun tak melihatku. Arika marah besar dalam hatinya.
Arika mengepalkan tangannya, kuku miliknya menusuk daging telapak tangannya. Hatinya penuh amarah, dia sudah lelah menggunakan cara halus mendekati Bram, tidak ada cara lain selain menundukan pria itu dengan cara hitam, menguasai hatinya, tubuh pria itu, dengan cara hitam, dan dia kembali segera ke rumah miliknya.
Blam!
Arika membuka kamarnya dengan tak sabar, langsung menuju lemarinya, membongkar tumpukan pakaian yang tersusun rapi dalam tiap kabinetnya, jemarinya bergetar acak mencari kain hitam di antara pakaian yang berserakan jatuh ke lantai.
Menemukannya. Kain hitam yang terlipat dengan satu simpul tali bewarna kuning, yang membungkus sesuatu di dalamnya.
......................
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Noer Hidayah
ih main dukun yaa,,
2021-05-07
0
siapa luh
wah cinta ditolak dukun bertindak inih
2021-04-26
3
Andie Anna
jangan2 Arika penyebab kematian lala karena menyukai bram
2021-04-26
2