ISOLATED (Terkurung)

ISOLATED (Terkurung)

#Seperti benang terputus

# ### Reyhan Louis De Willson (De Willson series 5)

# Seira Borbone

Namaku Seira Borbone, putri pertama Borbone group, aku seorang ahli waris yang ditunjuk oleh Ayahku sebab keluarga kami tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Aku lahir di New Zealand dan besar di Milan, Italy. Tapi kali ini keluargaku mengajakku berlibur ke Indonesia untuk bertemu salah satu rekan bisnisnya.

Padahal baru saja aku mengatakan berlibur. Tapi sungguh, liburan yang dimaksud orang seperti kami adalah menjalin kerjasama bisnis.

Aku muak dengan tektek bengek perusahaan, acara makan malam yang obrolannya hanya berputar pada bisnis dan investasi.

Kehidupan orang kaya seperti benang yang melilit uang dan kekayaan. Berbagai cara mereka bahas agar benang mereka tidak melilit kemiskinan.

Cita-citaku bekerja di perusahaan penerbit, aku ingin membuat benangku sendiri yang berhubungan dengan buku, aku suka sekali membaca. Aku ingin bertemu dengan banyak penulis terkenal, aku ingin waktuku lebih banyak membaca dibandingkan mengobrol dengan para petinggi perusahaan yang membosankan ini.

Sungguh, sebenarnya aku tidak terlalu mengerti soal bisnis. Bagaimana mungkin Ayahku akan menyerahkan Borbone group kepadaku, jika itu terjadi suatu hari nanti, aku berniat mengubah Borbone group menjadi perusahaan penerbit buku saja.

"Tuan, ini putrimu?" tanya seorang pria tua menatap ke arahku dengan senyuman tipisnya.

Kami semua rekan bisnis yang membuka kerja sama dengan De Willson group duduk di meja panjang menunggu kehadiran mereka.

"Ya, dia Seira Borbone, putri pertamaku."

"Hallo, Nona. Aku dari AFC group." Pria tua itu mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku yang duduk di depannya pun menerima uluran tangannya seraya tersenyum tipis. Ini sikap sopan santun ahli waris yang diajarkan Ayahku. Dan mau tidak mau aku harus bersikap sopan kepada mereka.

"Dan ini Eza, ahli warisku."

Eza mengulurkan tangannya kepadaku dengan tersenyum seraya menatapku. Aku sudah terbiasa dengan senyuman itu, senyuman pria penggoda.

Aku kembali menerima uluran tangan Eza.

"Kau sangat manis Nona Seira."

"Terimakasih," ucapku dengan senyuman tipis.

Kami kembali berbincang-bincang, hanya aku yang merasa bosan dan tidak nyaman berada di antara mereka semua. Dan Eza, dia terus menatapku tanpa berkedip, tapi aku tidak perduli.

Pintu besar itu terbuka dan beberapa pria berpakaian rapih pun masuk. Wajah mereka sangat datar dengan satu pria tinggi yang berjalan paling depan, dia sepertinya paling muda di antara yang lain. Tapi mereka semua punya brewok di wajahnya.

Semua orang berdiri dan aku pun ikut berdiri lalu mereka membungkukan badan kepada beberapa pria yang baru datang itu. Ayahku menekan kepalaku agar ikut membungkuk dan barulah aku tau, aku sedang membungkuk kepada De Willson group.

Mereka duduk bergabung bersama kami semua, aku melihat dua pria payuh baya yang wajahnya sama. Dan ada satu pria yang mirip dengan pria yang duduk di kursi kebesarannya.

"Yang itu Tuan Reagan dan itu Tuan Rey, ahli waris De Willson sudah jatuh kepada Tuan Rey," bisik Ayahku.

Aku menatap Rey dan sepertinya dia sadar aku tengah menatap dirinya. Pria yang tengah membaca berkas itu sontak mendongkakkan kepala dan menatapku sepersekian detik dengan mata tajamnya. Aku segera menjatuhkan pandanganku pada berkas di hadapanku dengan mengigit bibir bawahku.

Tatapannya mengerikan, sungguh.

"Ayah, bolehkah aku ke kamar mandi," bisikku.

"Tidak ada waktu ke kamar mandi, Seira." Ayahku menekan ucapannya seolah ucapannya tidak boleh dibantah olehku.

Aku menghembuskan nafas dan tidak sengaja mataku menatap kembali pria dingin itu. Dan Rey, dia juga tengah menatapku entah dari kapan.

Kemudian dia menutup berkasnya dengan mata yang masih tertuju ke arahku. Sungguh, aku sangat gugup seperti aku baru saja berbuat salah kepada pria itu.

Semua orang menatap Rey ketika berkasnya ditutup.

"Ada apa?"

Aku masih bisa mendengar Ayahnya bertanya seperti itu kepada Rey.

Rey tidak berkata apapun, dia yang semula duduk tegak, menyenderkan punggungnya di sandaran kursi.

"Siapapun yang belum siap dengan meeting sekarang, aku memberi waktu lima belas menit. Mungkin ada yang ingin ke kamar mandi."

Pria itu berkata dengan wajah datar dan mata masih menatap lekat ke arahku seolah-olah ucapannya barusan ditujukan kepadaku.

Semua orang saling menoleh, mungkin mereka bertanya-tanya, rekan bisnis mana yang ingin ke kamar mandi ketika meeting hendak dimulai. Itu sikap tidak sopan dan sikap yang sangat buruk, Ayahku pernah mengajari itu. Tapi kali ini aku benar-benar ingin ke kamar mandi.

Dengan ragu-ragu aku mengangkat tanganku membuat Ayahku yang duduk di samping melebarkan mata.

"Seira --"

"Aku izin ke kamar mandi sebentar Tuan." Aku memotong ucapan Ayahku dan aku memberanikan diri meminta izin dengan menatap mata Rey.

Semua pandang mata langsung tertuju kepadaku. Rey tidak berbicara apa-apa, dia hanya menganggukan kepala samar.

Aku pun buru-buru pergi dari ruangan itu membuat Ayahku berhasil menghembuskan nafas kecewa akan sikapku. Aku tidak perduli akan hal itu, aku harus cepat-cepat membereskan panggilan alam ini, aku sudah tidak tahan.

****

Mataku mengerjap, kepalaku berdengung dan sakit, aku mendesis seraya membuka mataku, semuanya buram hingga aku harus mengerjap beberapa kali.

Aku mengedarkan pandanganku, menatap kebingungan pada ruangan yang tidak aku kenal. Dan menyadari sekarang aku ada di ranjang, aku beranjak dari tidurku, duduk seraya terus berusaha mengenali kamar ini.

Aku kembali mendesis seraya memegangi kepalaku, aku mencoba berpikir bagaimana bisa aku ada di kamar ini. Tapi sayang, aku tidak ingat apapun.

Hal terakhir yang aku ingat, aku izin ke kamar mandi saat meeting bersama De Willson group.

Moment saat meeting sampai aku ada di kamar ini seperti benang yang terputus, aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya setelah aku izin ke kamar mandi, sungguh.

Aku turun dari ranjang, karena kepalaku terasa pusing, aku berpegangan pada meja.

Ruangan ini sangat gelap, hanya ada satu lampu di meja samping ranjang yang menyala membuat seisi ruangan menjadi temaram.

Aku menghentikan langkahku ketika aku menyadari sesuatu. Bajuku, baju formalku kini berubah menjadi kemeja putih di atas lutut. Aku memegang tubuhku sendiri. Dan astaga ... aku tidak pakai bra bahkan ****** *****.

Apa aku di perkosa seseorang?

Pintu terbuka membuat aku terperanjat kaget.

"Ini masih malam, kenapa kau bangun, Seira."

Aku menyipitkan mataku, mencoba melihat siapa pria yang baru saja masuk karena kamar ini terlalu gelap. Dan seketika aku melebarkan mata kala Tuan Rey berdiri di hadapanku dengan memakai kaos hitam dan celana panjang.

"T-Tuan Rey ..."

"Hm? Ini masih malam, tidurlah."

Tangannya membelai pipiku dengan santai seolah-olah kami sepasang kekasih.

Aku sontak menepis tangannya dan menyemburnya dengan pertanyaan tanpa basa-basi. "Ini dimana? Dan kenapa aku di sini?"

"Ini rumahku, Seira."

Aku melebarkan mata, kenapa aku ada di rumah Tuan Rey. "Apa yang terjadi? Dan kenapa aku tidak memakai pakaian dalam. A-apa ... apa kau ---"

"Aku mengganti pakaianmu karena ada bedeb*h yang hampir memperkosamu, Seira. Seluruh pakaianmu sudah di gerayangi oleh tangan kotornya. Aku tidak suka."

Aku diam sejenak, mencoba mencerna ucapannya, siapa yang hendak memperkosaku? Aku bahkan tidak ingat sama sekali.

"Tidak ada yang hendak memperkosaku. Apa kau sedang membual, Tuan?"

"Aku tidak membual, Seira."

"Oke, jika aku hampir diperkosa, kau tidak bisa mengganti pakaianku sesukamu. Itu sama saja kau melecehkanku karena ada bagian dari tubuhku yang tidak seharusnya kau lihat."

"Aku bilang aku tidak suka dengan pakaianmu yang sudah digerayangi tangan kotornya, Seira. Lagipula, aku tidak melakukan apapun kepadamu."

"Bagaimana aku bisa percaya dengan ucapanmu?"

Dia tersenyum miring. "Cara satu-satunya dengan aku menidurimu sekarang. Jika kau masih berdarah itu artinya kau masih virgin. Bagaimana?"

Aku menghela nafas dengan memejamkan mata mencoba menetralisir amarahku yang hampir naik ke ubun-ubun. Pria seperti Rey tidak satu di dunia ini, aku sering kali digoda oleh beberapa pria yang selalu mengatakan ingin meniduriku, jadi aku tidak kaget dengan ucapan Rey.

"Dimana Ayahku?" tanyaku mengalihkan bualan Rey yang menyebalkan.

"Aku tidak tau."

"Apa maksudmu tidak tau? Kita sedang meeting pagi itu, kau ingat?"

"Kita tidak jadi meeting."

"Hah?" Aku mengernyit heran.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapanmu. Aku pergi."

Aku baru saja melangkah menuju pintu, Rey langsung menangkap tubuhku, aku memberontak dan Rey membantingku ke kasur.

"Dunia luar tidak baik untukmu, Seira." desisnya membuatku merinding.

Aku menatapnya dengan beringsut mundur ketakutan, kenapa Rey menangkap tubuhku dan melemparku ke ranjang seolah-olah dia tidak suka aku pergi.

"Apa maksudmu, Tuan?"

"Panggil aku Rey, kau tidak perlu formal kepadaku."

"Biarkan aku pergi."

"Tidak."

"Ini bukan rumahku."

"Rumahku juga rumahmu, Seira."

Aku menggeleng tidak mengerti dengan setiap ucapannya. Apa sebenarnya Rey ini orang gila? Kenapa dia terus membual seperti ini, mengatakan aku hendak di perkosa seseorang padahal aku tidak ingat apapun, melarangku pergi sampai mengatakan jika ini juga rumahku.

Rey mendekat ke arahku hingga dia sedikit membungkuk di atasku. Tangannya membelai kepalaku dengan wajah dingin dan mata tajamnya membuat jantungku berdebar ketakutan hingga nafasku tidak teratur.

"Tetaplah di sini, Seira."

Dia berkata dengan suara beratnya.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Lisa Halik

Lisa Halik

mampit tbor...

2023-02-03

1

sari ariswati

sari ariswati

maaf kak thenthen,AQ baru mmpir🥰🥰beberapa hari ini agak sibuk kak🥰🥰sukses trs y Thor,sehat sll🥰

2023-01-21

1

Eka Ibu'e Ogy

Eka Ibu'e Ogy

hadir lagi kak di karya terbarumu😍😍😍

2023-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!