Bab 005: Hampir

Raut elok Likta tampak bersinar diterpa matahari terbit, seulas senyum tersungging di bibirnya yang mungil dan seksi, sehingga Tiarnan merasakan sesuatu meleleh di dalam diri. Berpotensi merusak segala rencana yang telah terpikir sebelum bertemu wanita berparas menggemaskan itu.

Kekaguman terselip kala Tiarnan menatapnya, kebutuhan yang salah mencengkeram diri begitu kuat sampai seluruh tubuh terasa tegang. Namun, ingatan akan Tanya mengikuti, hingga sudut bibir melengkung sinis. “Siap untuk petualangan selanjutnya?”

“Ke mana lagi?” tanya Likta sambil menikmati secangkir susu hangat dan roti bakar cokelat.

Nada ceria yang terlontar dari bibir Likta, menyebukan dada Tiarnan. Bagaimana wanita itu tetap tenang di atas kepergian Tanya dan lebih buruk lagi di sini bersamanya. Seakan-akan tidak memiliki hubungan serius dengan seseorang atau tepatnya kekasih Tanya.

“Hello.” Likta melambai, isi gelas dan rotinya telah berpindah semua ke dalam perut, ada kerutan di kening tatkala mendapati Tiarnan melamun. “Ke mana?”

“Nanti juga tau.” Tiarnan ingin tahu sejauh mana Likta percaya kepadanya. Berhubung wanita itu terdiam lama, dia menaikan alis, seraya bertanya, “Jadi, gimana?”

“Boleh, masa cutiku masih dua hari.” Setelah menyetujui, Likta berdiri, membayar roti dan susu. “Dua roti bakar, susu, dan kopi, berapa?”

Tiarnan kembali dikejutkan oleh tindakan Likta, ini kali pertama dia ditraktir wanita. Dia hampir menyerah pada sisi terlemahnya, tetapi dengan segala upaya memperkeras diri supaya tidak goyah. Menghancurkan orang yang tega merenggut kebahagiaan adiknya, hingga tak sanggup meneruskan hidup.

“Kita harus pergi sekarang atau tunggu setengah—satu jam lagi?” Likta bertanya tanpa menoleh, dia terlihat asyik menikmati sekitar.

“Kamu bawa sepatu?”

“Kenapa?”

“Sandal kurang cocok untuk petualangan kita kali ini,” terang Tiarnan.

“Oh, gitu.” Bibir Likta semakin kecil saat mengerucut, serupa pita mungil berwarna merah jambu.

Rasa sesak di hati Tiarnan seketika menghilang. Apa yang telah wanita ini lakukan hingga membangkitkan naluri paling dasar seorang pria. Dia pun menggeleng, bergulat sengit dengan diri sendiri, bahwa yang kini dirasa salah. “Aku ada sepatu di mobil, entah ukurannya cocok atau tidak, sebab itu punya—” Maafkan Kakak, ya, karena meminjamkan milikmu kepada wanita yang juga merebut laki-laki brengsek itu darimu.

“Hai, dari tadi melamun terus, awas kesambet, loh,” seloroh Likta.

“Eh, iya, ayo kita lihat apa sepatu itu muat.”

Keduanya pun meninggalkan tempat wisata paralayang menuju parkir, Tiarnan mengeluarkan sepasang sepatu dari bagian belakang mobil dan Likta segera memakainya.

Dengan kecepatan rendah mobil Tiarnan menyusuri jalanan landai, agak santai karena tidak seperti kemarin yang lebih banyak tanjakan.

Setelah menempuh dua jam perjalanan, Tiarnan mengarahkan mobil ke jalan yang kanan-kirinya ditumbuhi banyak pohon pinus. Melintasi jalan berbatu, makin masuk ke tengah hutan dan tiba di dataran lapang berpavingsto.

“Heemmss, udaranya lebih segara di sini daripada di sana,” aku Likta begitu turun dari mobil. “Aduh—”

“Kenapa?” Khawatir dengan kondisi Likta lebih dari yang ingin Tiarnan akui. “Ini waktu yang tepat untuk membatalkan kalau kamu ragu.”

“Bukan gitu, aku perlu ke toilet,” ungkap Likta seraya mencari-cari di mana keberadaan fasilitas umum itu.

“Ada di sana, mau kutemani?”

“Oh, enggak usah.” Likta bergegas pergi tanpa menoleh lagi.

Kesempatan itu digunakan Tiarnan untuk menelepon seseorang, tak berselang lama pria berperawakan tinggi kurus datang, memberi beberapa perlengkapan guna memenuhi kebutuhan dalam perjalanan.

“Mas, apa enggak sebaiknya lewat jalur aman saja?” Orang itu mengingatkan.

“Seruan lewat hutan, sambil refreshing.” Tiarnan terus melihat ke arah Likta berada. “Sudah, buruan pergi, kalau memang perlu, aku telepon.”

“Hati-hati, ya, Mas.”

Seperginya orang itu Likta kembali, Tiarnan dapat melihat keterkejutan di wajah wanita itu.

“Yuk!” Tas berukuran besar bertengger di punggung Tiarnan, terdapat tenda gulung di bagian bawahnya. “Ayo!”

Setelah menepuh perjalanan kurang lebih 1,6 kilometer, Tiarnan menengok ke belakang, apakah Likta tertinggal. Dan, seketika langkahnya tersandung, nyaris tersungkur sebab wanita itu mengulas senyum. Seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja di belakangnya.

“Hati-hati,” ucap Likta kemudian.

“Ya.” Tiarnan berhenti, duduk sebentar sambil selonjoran. “Nih, minum dulu biar tidak dehidrasi.”

Rasa haus jelas menguasai Likta saat ini, dapat dilihat dari caranya minum, kepalanya mendongak hingga mengekspos leher seputih susu. Membuat Tiarnan susah menelan saliva yang bercokol di tenggorokan.

“Terima kasih, masih jauh ya?” tanya Likta usai meneguk air.

“Lumayan, kamu tunggu sini bentar,” perintah Tiarnan, bersiap pergi.

“Kamu mau ke mana?”

“Ambil air,” sahut Tiarnan sambil menggoyang botol.

“Yah, kenapa enggak bilang kalau itu harus cukup sampai tujuan.” Likta menunduk, sedih, bibirnya mengerucut lagi.

“Tolong—” Kondisikan bibirmu, sialan, itu menggangu sekali. Lanjut Tiarnan dalam hati diganti dengan kata, “Jangan ke mana-mana, jaga baik-baik tasnya.”

“Sip, please, jangan terlalu lama,” pinta Likta dengan kegugupan yang menyolok, dan tanpa sadar memancing kecemasan dalam diri Tiarnan.

Sebagai balasan, Tiarnan hanya mengangguk, lalu masuk lebih dalam ke semak belukar. Dia sengaja tak kembali lebih cepat. Maksud hati ingin menghukum Likta saat ini, syukur-syukur melihat wanita itu menjerit ketakutan.

Namun, Tiarnan tidak mendapatkan yang dimau, justru hati tercubit ketika melihat Likta melepas sepatunya. Dari jarak jauh pun, Tiarnan menyadari kernyit kesakitan di dahi wanita itu. Dan, tahu pasti bahwa ukuran kaki Tanya lebih kecil.

“Oh, Tanya, apa kamu tidak salah menduga? Dia wanita yang—apa kamu akan marah saat aku melepaskan dia tanpa hukuman?” monolog Tiarnan sembari menyadarkan punggung pada batang pohon pinus.

Pada saat bersama, kedua orang berbeda tempat itu mendongak, awan gelap berarak-arak tertipu angin. Menggumpal pekat dan siap meneteskan air.

“Hujan,” seru Tiarnan lantas keluar dari persembunyian.

Likta menoleh cepat, kelegaan tergambar jelas diraut wajahnya yang tampak lelah, tetapi segar dan menawan bagi Tiarnan.

“Akhirnya, lama sekali?” tanya Likta, sambil mengenakan sepatu. “Apa menurutmu kita bangun tenda di sini? Atau tetap melanjutkan perjalanan.”

“Sebaiknya lanjut setelah hujan reda.” Tiarnan bergegas melepas tenda dari pengaitnya, dalam hitungan menit sudah bisa dijadikan tempat berteduh dan tanpa rintik-rintik air langit mengguyur hutan belantara.

Tanpa sepatu Tiarnan dapat melihat luka di bagian belakang pergelangan kaki Likta. “Kamu tidak apa-apa?”

“He'eh.” Likta menjawab sembari mengulas senyum.

“Aku tadi jalan terlalu cepat, dan—”

“Omong apa, sih, udah enggak apa-apa, santai aja,” kata Likta penuh keyakinan.

Apa ini akting? Ada sejumlah kru salah satu stasiun televisi bersembunyi di balik semak-semak? Atau—Kepala Tiarnan berdenyut, jari jempol dan telunjuk memijit pangkal hidung ringan. Siapa sangka segala hal tentang Likta makin mengikatnya begitu kuat, mengikis asumsi buruk bagaimana Likta begitu tega merebut kekasih adiknya.

“Ada apa? Kepalamu pusing? Di dalam tas ada apa aja? Aku bawa obat, tapi kamu belum makan karbohidrat.” Suara Likta terdengar gelisah.

“Buka aja,” tutur Tiarnan lantas membaringkan tubuh.

Begitu mengantongi izin, Likta segera membukanya, ada kotak makan. Ekspresi di wajah sama persis ketika kembali dari toilet, terkejut. “Ada nasi sama rendang, kamu kapan menyiapkan ini semua?”

“Emm, itu—kamu juga harus makan, itu perut baru kemasukan susu sama roti.” Jelas terlihat Tiarnan sedang mengalihkan pembicaraan.

Keduanya menikmati makanan dalam kebisuan, suara hujan di luar tenda mulai reda. Tanpa mengobrol acara bersantap selesai lebih cepat.

“L—” Hampir. Nyaris saja bibir Tiarnan menyebut Likta, padahal sedari awal belum tau nama satu sama lain. “Lepas aja sepatu itu, kamu bisa pakai punyaku.”

“Terus kamu mau pakai apa?” tolak Likta halus.

“Gampang, aku ada sandal gunung di tas. Nih, bersihkan lukamu, takutnya infeksi.” Tiarnan menyodorkan kotak P3K.

Perdebatan kecil terjadi di antara keduanya mengenai alas kaki, Tiarnan berkeras agar Likta memakai sepatu, tetapi wanita itu tetap teguh dalam pendirian menggunakan sepatu adiknya.

“Jangan memaksakan diri,” tungkas Tiarnan. “Perjalanan kita—”

“Lumayan jauh, aku tau itu, makanya lebih aman pakai sepatu,” potong Likta tanpa menaikan nada bicara.

“Aku gendong apa pakai sepatu?”

“Wah, tambah ngaco. Oke aku pakai sepatumu, apa kamu senang?” Likta pun memakai sepatu Tiarnan tanpa melepas talinya karena longgar.

Seperti di dorong rasa simpati, Tiarnan berputar haluan dan menempuh jarak lebih dekat. Keduanya pun tiba di kawasan penduduk yang sering Tiarnan bantu, orang-orang di sana menyambut hangat.

“Mas—” seru pria yang tadi menemui Tiarnan tertahan di tenggorokan ketika jemari orang yang hendak disebut menempel pada bibir. “Cepat sekali sampainya, muter, ya?”

Lewat sudut mata, Tiarnan lagi-lagi memergoki Likta terkejut. Mungkin berpikir telah dikerjai. “Karena hujan, jadi—”

“Loh, kok, belum diminum tehnya?” Wanita paruh baya keluar sambil membawa gorengan. “Maaf, Emak adanya ini. Habis mau datang enggak bilang-bilang, Mas—Aduh, opo to bocah iki, sikile Mak e, kok, dipidek.”

Pria seumur Tiarnan itu menarik lengan ibunya hingga menghilang di balik tirai. Dua menit berikutnya kembali ke ruang tamu.

“Dok, bisa antar kita?” tanya Tiarnan kepada pria tadi.

“Loalah, kok buru-buru? Apa sebaiknya enggak nginep aja?” usul wanita paruh baya.

“Maunya gitu, tapi teman saya ini sudah habis masa libur,” tolak Tiarnan halus, sambil menjabat tangan kapalan wanita itu akibat kerja keras. “Kalau masih ada kesempatan kita pasti ke sini lagi.”

“Mari, Buk, Assalamu'alaikum.” Likta mencium tangan beraroma matahari wanita itu.

“Waalaikumsalam.”

Terpopuler

Comments

👑Ria_rr🍁

👑Ria_rr🍁

beh flashback-e bikin jiwa gemes ada rahasia apa di balik ini

2023-03-19

2

.

.

belajar lah positif thinking
jangan negatif Mulu donk

2023-02-13

1

Its ḿe Nä

Its ḿe Nä

Enaknya, bagi roti nya dong

2023-01-24

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 001: Menemukan Ayah si Jabang Bayi
2 Bab 002: Ini Bukan Sinetron atau Kisah Novel
3 Bab 003: Nyaris Saja Luluh Lantak
4 Bab 004: Sinting!
5 Bab 005: Hampir
6 Bab 006: Ssttt
7 Bab 007: Kamu Percaya Sihir?
8 Bab 008: Ironi Pernikahan Tanpa Cinta
9 Bab 009: Sama Datarnya
10 Bab 010: Cukup
11 Bab 011: Menderita
12 Bab 012: Dipuja-puja
13 Bab 013: Istri Mas Tiarnan
14 Bab 014: Afair
15 Bab 015: Waaow
16 Bab 016: Rivalnya
17 Bab 017: Sudah Puas?
18 Bab 018: Tidak Boleh Dibiarkan
19 Bab 019: Sejak Kapan?
20 Bab 020: Bersikaplah Dewasa
21 Bab 021: Menunggu
22 Bab 022: Dia, kan, istrimu
23 Bab 023: Stres Memicu Kram Perut
24 Bab 024: Dama benar
25 Bab 025: Ibu Pengganti
26 Bab 026: Di antara Tanya, Arfid, dan Likta
27 Bab 027: Ingin Memercayaimu
28 Bab 028: Emosi Menurun
29 Bab 029: Segera Diresmikan
30 Bab 030: Penaklukan Hati Sang Pertapa
31 Bab 031: Loh, Kok, Marah?
32 Bab 032: Kecewa Berat
33 Bab 033: Ada Apa Ini?
34 Bab 034: Sampai Ajal Nanti
35 Bab 035: Perasaan Lega
36 Bab 036: Sudah Tidak Sayang 'kah, Mama Arima?
37 Bab 037: Mama Mengkhianatimu Kita
38 Bab 038: Ikhlas
39 Bab 039: Jumlah Segitu Dapat Dari Mana?
40 Bab 040: Aku Udah Kenyang, deh, Bri
41 Bab 041: Kehilangan Dirimu Terlalu Cepat
42 Bab 042: Sentimental Sekali
43 Bab 043: Membingungkan
44 Bab 044: Sekeping Hati Tidak Berarti
45 Bab 045: Hidangan Penutup
46 Bab 046: Kecemburuan
47 Bab 047: Ini Tidak gratis
48 Bab 048: Munafik!
49 Bab 049: No Debat!
50 Bab 50: Belajar dari Pengalaman
51 Bab 51: Berantakan
52 Bab 52: Berdampak Besar
53 Bab 53: Bukankah Cinta Memang Gila?
54 Bab 54: Dia Telah Mengambil Alih Dirimu
55 Bab 55: Menjagamu Kebahagiaan Terbesar
56 Bab 56: Aku Harus Kembali ke Indonesia
57 Bab 57: Zein dan Seysan
58 Bab 58: Menyusul Tiarnan ke Swedia
59 Bab 59: Menguntungkan Baginya
60 Bab 60: Pernikahan Ganda
61 Bab 61: Berita Buruk!
62 Bab 62: Terancam Dipecat
63 Bab 63: Versi Lebih Muda
64 Bab 64: Sepercik Sesal
65 Bab 65: Orang yang Salah
66 Bab 66: Menyenangkan
67 Bab 67: Ini Beresiko Likta!
68 Bab 68: Mana Buktinya?
69 Bab 69: Bagian Tersulit
70 Bab 70: Penderitaan
71 Bab 71: Menempati Posisi Likta
72 Bab 72: Seandainya Lebih Kuat
73 Bab 73: Belum Siap Melihat Dunia
74 Bab 74: Aroma Manis Likta
75 Bab 75: Semua Telah Berakhir
76 Bab 76: Ceraikan Aku!
77 Bab 77: Berkalang Dosa
78 Bab 78: Sudah Final
79 Bab 79: Pribadi Lebih Lurus
80 Bab 80: Siapa dan Ke mana kira-kira Tiarnan?
81 Bab 81: Sisi Lain
82 Bab 82: Memandang Sebelah Mata
83 Bab 83: Kemenangan Tiarnan
84 Bab 84: Memakanmu
85 Bab 85: Obsesimu
86 Bab 86
Episodes

Updated 86 Episodes

1
Bab 001: Menemukan Ayah si Jabang Bayi
2
Bab 002: Ini Bukan Sinetron atau Kisah Novel
3
Bab 003: Nyaris Saja Luluh Lantak
4
Bab 004: Sinting!
5
Bab 005: Hampir
6
Bab 006: Ssttt
7
Bab 007: Kamu Percaya Sihir?
8
Bab 008: Ironi Pernikahan Tanpa Cinta
9
Bab 009: Sama Datarnya
10
Bab 010: Cukup
11
Bab 011: Menderita
12
Bab 012: Dipuja-puja
13
Bab 013: Istri Mas Tiarnan
14
Bab 014: Afair
15
Bab 015: Waaow
16
Bab 016: Rivalnya
17
Bab 017: Sudah Puas?
18
Bab 018: Tidak Boleh Dibiarkan
19
Bab 019: Sejak Kapan?
20
Bab 020: Bersikaplah Dewasa
21
Bab 021: Menunggu
22
Bab 022: Dia, kan, istrimu
23
Bab 023: Stres Memicu Kram Perut
24
Bab 024: Dama benar
25
Bab 025: Ibu Pengganti
26
Bab 026: Di antara Tanya, Arfid, dan Likta
27
Bab 027: Ingin Memercayaimu
28
Bab 028: Emosi Menurun
29
Bab 029: Segera Diresmikan
30
Bab 030: Penaklukan Hati Sang Pertapa
31
Bab 031: Loh, Kok, Marah?
32
Bab 032: Kecewa Berat
33
Bab 033: Ada Apa Ini?
34
Bab 034: Sampai Ajal Nanti
35
Bab 035: Perasaan Lega
36
Bab 036: Sudah Tidak Sayang 'kah, Mama Arima?
37
Bab 037: Mama Mengkhianatimu Kita
38
Bab 038: Ikhlas
39
Bab 039: Jumlah Segitu Dapat Dari Mana?
40
Bab 040: Aku Udah Kenyang, deh, Bri
41
Bab 041: Kehilangan Dirimu Terlalu Cepat
42
Bab 042: Sentimental Sekali
43
Bab 043: Membingungkan
44
Bab 044: Sekeping Hati Tidak Berarti
45
Bab 045: Hidangan Penutup
46
Bab 046: Kecemburuan
47
Bab 047: Ini Tidak gratis
48
Bab 048: Munafik!
49
Bab 049: No Debat!
50
Bab 50: Belajar dari Pengalaman
51
Bab 51: Berantakan
52
Bab 52: Berdampak Besar
53
Bab 53: Bukankah Cinta Memang Gila?
54
Bab 54: Dia Telah Mengambil Alih Dirimu
55
Bab 55: Menjagamu Kebahagiaan Terbesar
56
Bab 56: Aku Harus Kembali ke Indonesia
57
Bab 57: Zein dan Seysan
58
Bab 58: Menyusul Tiarnan ke Swedia
59
Bab 59: Menguntungkan Baginya
60
Bab 60: Pernikahan Ganda
61
Bab 61: Berita Buruk!
62
Bab 62: Terancam Dipecat
63
Bab 63: Versi Lebih Muda
64
Bab 64: Sepercik Sesal
65
Bab 65: Orang yang Salah
66
Bab 66: Menyenangkan
67
Bab 67: Ini Beresiko Likta!
68
Bab 68: Mana Buktinya?
69
Bab 69: Bagian Tersulit
70
Bab 70: Penderitaan
71
Bab 71: Menempati Posisi Likta
72
Bab 72: Seandainya Lebih Kuat
73
Bab 73: Belum Siap Melihat Dunia
74
Bab 74: Aroma Manis Likta
75
Bab 75: Semua Telah Berakhir
76
Bab 76: Ceraikan Aku!
77
Bab 77: Berkalang Dosa
78
Bab 78: Sudah Final
79
Bab 79: Pribadi Lebih Lurus
80
Bab 80: Siapa dan Ke mana kira-kira Tiarnan?
81
Bab 81: Sisi Lain
82
Bab 82: Memandang Sebelah Mata
83
Bab 83: Kemenangan Tiarnan
84
Bab 84: Memakanmu
85
Bab 85: Obsesimu
86
Bab 86

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!