Raut elok Likta tampak bersinar diterpa matahari terbit, seulas senyum tersungging di bibirnya yang mungil dan seksi, sehingga Tiarnan merasakan sesuatu meleleh di dalam diri. Berpotensi merusak segala rencana yang telah terpikir sebelum bertemu wanita berparas menggemaskan itu.
Kekaguman terselip kala Tiarnan menatapnya, kebutuhan yang salah mencengkeram diri begitu kuat sampai seluruh tubuh terasa tegang. Namun, ingatan akan Tanya mengikuti, hingga sudut bibir melengkung sinis. “Siap untuk petualangan selanjutnya?”
“Ke mana lagi?” tanya Likta sambil menikmati secangkir susu hangat dan roti bakar cokelat.
Nada ceria yang terlontar dari bibir Likta, menyebukan dada Tiarnan. Bagaimana wanita itu tetap tenang di atas kepergian Tanya dan lebih buruk lagi di sini bersamanya. Seakan-akan tidak memiliki hubungan serius dengan seseorang atau tepatnya kekasih Tanya.
“Hello.” Likta melambai, isi gelas dan rotinya telah berpindah semua ke dalam perut, ada kerutan di kening tatkala mendapati Tiarnan melamun. “Ke mana?”
“Nanti juga tau.” Tiarnan ingin tahu sejauh mana Likta percaya kepadanya. Berhubung wanita itu terdiam lama, dia menaikan alis, seraya bertanya, “Jadi, gimana?”
“Boleh, masa cutiku masih dua hari.” Setelah menyetujui, Likta berdiri, membayar roti dan susu. “Dua roti bakar, susu, dan kopi, berapa?”
Tiarnan kembali dikejutkan oleh tindakan Likta, ini kali pertama dia ditraktir wanita. Dia hampir menyerah pada sisi terlemahnya, tetapi dengan segala upaya memperkeras diri supaya tidak goyah. Menghancurkan orang yang tega merenggut kebahagiaan adiknya, hingga tak sanggup meneruskan hidup.
“Kita harus pergi sekarang atau tunggu setengah—satu jam lagi?” Likta bertanya tanpa menoleh, dia terlihat asyik menikmati sekitar.
“Kamu bawa sepatu?”
“Kenapa?”
“Sandal kurang cocok untuk petualangan kita kali ini,” terang Tiarnan.
“Oh, gitu.” Bibir Likta semakin kecil saat mengerucut, serupa pita mungil berwarna merah jambu.
Rasa sesak di hati Tiarnan seketika menghilang. Apa yang telah wanita ini lakukan hingga membangkitkan naluri paling dasar seorang pria. Dia pun menggeleng, bergulat sengit dengan diri sendiri, bahwa yang kini dirasa salah. “Aku ada sepatu di mobil, entah ukurannya cocok atau tidak, sebab itu punya—” Maafkan Kakak, ya, karena meminjamkan milikmu kepada wanita yang juga merebut laki-laki brengsek itu darimu.
“Hai, dari tadi melamun terus, awas kesambet, loh,” seloroh Likta.
“Eh, iya, ayo kita lihat apa sepatu itu muat.”
Keduanya pun meninggalkan tempat wisata paralayang menuju parkir, Tiarnan mengeluarkan sepasang sepatu dari bagian belakang mobil dan Likta segera memakainya.
Dengan kecepatan rendah mobil Tiarnan menyusuri jalanan landai, agak santai karena tidak seperti kemarin yang lebih banyak tanjakan.
Setelah menempuh dua jam perjalanan, Tiarnan mengarahkan mobil ke jalan yang kanan-kirinya ditumbuhi banyak pohon pinus. Melintasi jalan berbatu, makin masuk ke tengah hutan dan tiba di dataran lapang berpavingsto.
“Heemmss, udaranya lebih segara di sini daripada di sana,” aku Likta begitu turun dari mobil. “Aduh—”
“Kenapa?” Khawatir dengan kondisi Likta lebih dari yang ingin Tiarnan akui. “Ini waktu yang tepat untuk membatalkan kalau kamu ragu.”
“Bukan gitu, aku perlu ke toilet,” ungkap Likta seraya mencari-cari di mana keberadaan fasilitas umum itu.
“Ada di sana, mau kutemani?”
“Oh, enggak usah.” Likta bergegas pergi tanpa menoleh lagi.
Kesempatan itu digunakan Tiarnan untuk menelepon seseorang, tak berselang lama pria berperawakan tinggi kurus datang, memberi beberapa perlengkapan guna memenuhi kebutuhan dalam perjalanan.
“Mas, apa enggak sebaiknya lewat jalur aman saja?” Orang itu mengingatkan.
“Seruan lewat hutan, sambil refreshing.” Tiarnan terus melihat ke arah Likta berada. “Sudah, buruan pergi, kalau memang perlu, aku telepon.”
“Hati-hati, ya, Mas.”
Seperginya orang itu Likta kembali, Tiarnan dapat melihat keterkejutan di wajah wanita itu.
“Yuk!” Tas berukuran besar bertengger di punggung Tiarnan, terdapat tenda gulung di bagian bawahnya. “Ayo!”
Setelah menepuh perjalanan kurang lebih 1,6 kilometer, Tiarnan menengok ke belakang, apakah Likta tertinggal. Dan, seketika langkahnya tersandung, nyaris tersungkur sebab wanita itu mengulas senyum. Seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja di belakangnya.
“Hati-hati,” ucap Likta kemudian.
“Ya.” Tiarnan berhenti, duduk sebentar sambil selonjoran. “Nih, minum dulu biar tidak dehidrasi.”
Rasa haus jelas menguasai Likta saat ini, dapat dilihat dari caranya minum, kepalanya mendongak hingga mengekspos leher seputih susu. Membuat Tiarnan susah menelan saliva yang bercokol di tenggorokan.
“Terima kasih, masih jauh ya?” tanya Likta usai meneguk air.
“Lumayan, kamu tunggu sini bentar,” perintah Tiarnan, bersiap pergi.
“Kamu mau ke mana?”
“Ambil air,” sahut Tiarnan sambil menggoyang botol.
“Yah, kenapa enggak bilang kalau itu harus cukup sampai tujuan.” Likta menunduk, sedih, bibirnya mengerucut lagi.
“Tolong—” Kondisikan bibirmu, sialan, itu menggangu sekali. Lanjut Tiarnan dalam hati diganti dengan kata, “Jangan ke mana-mana, jaga baik-baik tasnya.”
“Sip, please, jangan terlalu lama,” pinta Likta dengan kegugupan yang menyolok, dan tanpa sadar memancing kecemasan dalam diri Tiarnan.
Sebagai balasan, Tiarnan hanya mengangguk, lalu masuk lebih dalam ke semak belukar. Dia sengaja tak kembali lebih cepat. Maksud hati ingin menghukum Likta saat ini, syukur-syukur melihat wanita itu menjerit ketakutan.
Namun, Tiarnan tidak mendapatkan yang dimau, justru hati tercubit ketika melihat Likta melepas sepatunya. Dari jarak jauh pun, Tiarnan menyadari kernyit kesakitan di dahi wanita itu. Dan, tahu pasti bahwa ukuran kaki Tanya lebih kecil.
“Oh, Tanya, apa kamu tidak salah menduga? Dia wanita yang—apa kamu akan marah saat aku melepaskan dia tanpa hukuman?” monolog Tiarnan sembari menyadarkan punggung pada batang pohon pinus.
Pada saat bersama, kedua orang berbeda tempat itu mendongak, awan gelap berarak-arak tertipu angin. Menggumpal pekat dan siap meneteskan air.
“Hujan,” seru Tiarnan lantas keluar dari persembunyian.
Likta menoleh cepat, kelegaan tergambar jelas diraut wajahnya yang tampak lelah, tetapi segar dan menawan bagi Tiarnan.
“Akhirnya, lama sekali?” tanya Likta, sambil mengenakan sepatu. “Apa menurutmu kita bangun tenda di sini? Atau tetap melanjutkan perjalanan.”
“Sebaiknya lanjut setelah hujan reda.” Tiarnan bergegas melepas tenda dari pengaitnya, dalam hitungan menit sudah bisa dijadikan tempat berteduh dan tanpa rintik-rintik air langit mengguyur hutan belantara.
Tanpa sepatu Tiarnan dapat melihat luka di bagian belakang pergelangan kaki Likta. “Kamu tidak apa-apa?”
“He'eh.” Likta menjawab sembari mengulas senyum.
“Aku tadi jalan terlalu cepat, dan—”
“Omong apa, sih, udah enggak apa-apa, santai aja,” kata Likta penuh keyakinan.
Apa ini akting? Ada sejumlah kru salah satu stasiun televisi bersembunyi di balik semak-semak? Atau—Kepala Tiarnan berdenyut, jari jempol dan telunjuk memijit pangkal hidung ringan. Siapa sangka segala hal tentang Likta makin mengikatnya begitu kuat, mengikis asumsi buruk bagaimana Likta begitu tega merebut kekasih adiknya.
“Ada apa? Kepalamu pusing? Di dalam tas ada apa aja? Aku bawa obat, tapi kamu belum makan karbohidrat.” Suara Likta terdengar gelisah.
“Buka aja,” tutur Tiarnan lantas membaringkan tubuh.
Begitu mengantongi izin, Likta segera membukanya, ada kotak makan. Ekspresi di wajah sama persis ketika kembali dari toilet, terkejut. “Ada nasi sama rendang, kamu kapan menyiapkan ini semua?”
“Emm, itu—kamu juga harus makan, itu perut baru kemasukan susu sama roti.” Jelas terlihat Tiarnan sedang mengalihkan pembicaraan.
Keduanya menikmati makanan dalam kebisuan, suara hujan di luar tenda mulai reda. Tanpa mengobrol acara bersantap selesai lebih cepat.
“L—” Hampir. Nyaris saja bibir Tiarnan menyebut Likta, padahal sedari awal belum tau nama satu sama lain. “Lepas aja sepatu itu, kamu bisa pakai punyaku.”
“Terus kamu mau pakai apa?” tolak Likta halus.
“Gampang, aku ada sandal gunung di tas. Nih, bersihkan lukamu, takutnya infeksi.” Tiarnan menyodorkan kotak P3K.
Perdebatan kecil terjadi di antara keduanya mengenai alas kaki, Tiarnan berkeras agar Likta memakai sepatu, tetapi wanita itu tetap teguh dalam pendirian menggunakan sepatu adiknya.
“Jangan memaksakan diri,” tungkas Tiarnan. “Perjalanan kita—”
“Lumayan jauh, aku tau itu, makanya lebih aman pakai sepatu,” potong Likta tanpa menaikan nada bicara.
“Aku gendong apa pakai sepatu?”
“Wah, tambah ngaco. Oke aku pakai sepatumu, apa kamu senang?” Likta pun memakai sepatu Tiarnan tanpa melepas talinya karena longgar.
Seperti di dorong rasa simpati, Tiarnan berputar haluan dan menempuh jarak lebih dekat. Keduanya pun tiba di kawasan penduduk yang sering Tiarnan bantu, orang-orang di sana menyambut hangat.
“Mas—” seru pria yang tadi menemui Tiarnan tertahan di tenggorokan ketika jemari orang yang hendak disebut menempel pada bibir. “Cepat sekali sampainya, muter, ya?”
Lewat sudut mata, Tiarnan lagi-lagi memergoki Likta terkejut. Mungkin berpikir telah dikerjai. “Karena hujan, jadi—”
“Loh, kok, belum diminum tehnya?” Wanita paruh baya keluar sambil membawa gorengan. “Maaf, Emak adanya ini. Habis mau datang enggak bilang-bilang, Mas—Aduh, opo to bocah iki, sikile Mak e, kok, dipidek.”
Pria seumur Tiarnan itu menarik lengan ibunya hingga menghilang di balik tirai. Dua menit berikutnya kembali ke ruang tamu.
“Dok, bisa antar kita?” tanya Tiarnan kepada pria tadi.
“Loalah, kok buru-buru? Apa sebaiknya enggak nginep aja?” usul wanita paruh baya.
“Maunya gitu, tapi teman saya ini sudah habis masa libur,” tolak Tiarnan halus, sambil menjabat tangan kapalan wanita itu akibat kerja keras. “Kalau masih ada kesempatan kita pasti ke sini lagi.”
“Mari, Buk, Assalamu'alaikum.” Likta mencium tangan beraroma matahari wanita itu.
“Waalaikumsalam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
👑Ria_rr🍁
beh flashback-e bikin jiwa gemes ada rahasia apa di balik ini
2023-03-19
2
.
belajar lah positif thinking
jangan negatif Mulu donk
2023-02-13
1
Its ḿe Nä
Enaknya, bagi roti nya dong
2023-01-24
3