Tangan Tiarnan meremas pinggul Likta, keningnya bertumpu di dahi berponi tipis sang istri. Matanya hampir terpejam, napas berubah lebih cepat. Dia hanya diam, sampai benar-benar tenggelam dalam kenangan. Pertemuan pertama dengan Likta.
Pada saat itu, menurut Tiarnan terlalu lama bila menunggu sampai makam Tanya mengering untuk menemui Likta. Dia ingin menghancurkan orang yang telah memicu rasa putus asa adiknya, siapa pun orang itu haruslah berakhir di tangannya. Tidak peduli dia seorang wanita, dia akan membuat perhitungan dengannya.
Namun, Tiarnan harus memulai dari mana? Rumah wanita itu atau tempat dia bekerja? Ah, tidak penting asal dirinya bisa menemukan Likta, wanita yang Tanya sebutkan dengan huruf kapital tebal ketika mengirim pesan sebelum meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
“Dia ke Jakarta, menurut info sedang menemui kerabatnya, sudah berangkat sejak kemarin,” ucap seseorang melalui jaringan seluler.
“Aku tidak mau tau, temukan dia!” bentak Tiarnan. “Berapa pun biayanya aku bayar kontan!” Tanpa menunggu tanggapan, dia putus sambungan telepon.
Kelopak mata Tiarnan tertutup singkat, merasakan sesuatu yang besar dan berat menghimpit dada. Kehilangan seseorang terlalu sulit untuk dia terima, terutama orang paling muda di garis keluarganya. Tidak seharusnya Tanya memilih jalan hidup sesingkat ini.
Terdengar dering ponsel dan segera Tiarnan terima. “Sorry, Tiarnan, tantenya tidak mau memberitahu di mana persisnya. Tapi, kalau kamu mau atau mungkin bertemu dengan dia di sekitar sana, aku akan kirim fotonya.”
“Apa kamu bercanda? Aku membayarmu ingat? Kalau saja kamu bukan—ah, sudahlah, kirim foto wanita itu,” perintah Tiarnan. Dia menyandarkan punggung dan menutup mata lebih lama, air bening mengalir melalui kedua sudut indra penglihatan. Jemarinya menyeka air mata sebelum melewati pelipis.
Tiarnan pun membuka mata, membetulkan posisi duduknya sambil melihat keluar jendela mobil. Di kejauhan, tampak seorang wanita—berperawakan gadis remaja—sedang tertatih-tatih menarik kopernya. Lalu, duduk bersimpuh di pinggir trotoar.
Spontan jemari Tiarnan menepuk pundak supir pribadi Frits. “Pak berhenti, dan pulanglah dengan taksi.”
“Tapi—” Supirnya urung membantah ketika mendapat tatapan tajam dari Tiarnan. “Baik, jika terjadi sesuatu tolong hubungan saya.”
Setelah melakukan pengamatan, Tiarnan melangkah lebih dekat. “Permisi.” Lalu berjongkok di samping wanita yang sama persis dengan foto dari orang suruhannya. Kalau tidak salah, wanita ini adalah Likta. Kecuali, mitos adanya kembar tujuh di belahan dunia sudah bisa dibuktikan. Dia menggembungkan pipi sebelum bertanya, “Aku baru di kota ini, boleh tau ini daerah mana?” Tiarnan dapat melihat dengan jelas Likta mengernyit.
Tanpa menjawab Likta menunjuk papan penunjuk jalan. Berusaha menyembunyikan penampilan kacaunya, mata sembab dengan dengan luka lebam kekuningan. Dan, masih ada yang biru pada tulang pipi.
“Oh, oke, terima kasih.” Begitu mendapat jawaban Tiarnan beranjak, menjauh tiga langkah dari tempat Likta duduk bersila. Semua berjalan di luar konsep awal, yang mengganggu adalah—gimana bisa wanita itu bersikap takpeduli. Karena baru bertemu sekali ini, terasa beda bagi Tiarnan, tak ada seorang wanita pun yang bisa acuh tak acuh kepadanya meski baru sepintas lalu. Walau tanpa kata, biasanya sorot mata para wanita berkilau penuh damba.
Pemikiran macam apa ini? Tiarnan tidak dibenarkan merasakan emosi selain kemarahan. Dia berbalik badan dan pada saat itu Likta terlihat menyeret kopernya dengan susah payah.
Demi memuluskan rencananya, Tiarnan menghentikan Likta, menawari tumpangan hingga mengajaknya ngetrip bersama. Melihat keragu-raguan di wajah wanita itu, dia memutar otak, sehingga terbesit pemikiran untuk memberi jaminan KTP.
Kena, kamu, batin Tiarnan, dia tidak pernah berpikir akan semudah membalikkan telapak tangan ketika menawarkan jalan-jalan kepada, Likta. Ternyata benar, semua wanita cenderung memiliki kesamaan terkait hal yang satu ini.
Akhirnya, Likta mengikuti langkah Tiarnan menuju mobil. Keduanya menghabiskan seperempat perjalanan dalam diam, sampai melintas di tol Pejagan-Pemalang.
Karena rasa lelah menerjang, Tiarnan singgah sebentar di rest area yang terletak di KM 275.
“Eh, mau apa?” Likta menciptakan jarak lebih dari satu meter ketika Tiarnan hendak menempelkan sebotol air dingin ke pipi. Gerakan spontan itu mengandung semacam peringatan, jangan mendekat atau aku berteriak.
“Kompres luka lebam di wajahmu,” ucap Tiarnan.
“Air hangat, ini sudah terhitung dua hari.” Likta melihat salah satu tangan Tiarnan membawa mi yang sudah siap santap dalam kemasan berbahan kertas.
“Bukan ide yang bagus kalau pakai ini,” tutur Tiarnan, dia meletakkan air dan mi ke atas meja bundar. “Kamu makan dulu, biar aku cari air hangatnya.” Dua menit berikutnya, Tiarnan kembali dengan membawa sebotol air.
“Loh, kamu enggak beli makan?” tanya Likta.
“Uangku terbatas.”
Mendengar pengakuan Tiarnan, sesuap mi tertahan di depan bibir Likta sebentar. “Ya ampun, kenapa enggak bilang? Tunggu, biar aku beli yang baru buat kamu.”
“Aku belum lapar,” aku Tiarnan, tetapi penghuni tetap di dalam perutnya berkhianat, meraung begitu kerasa.
Bibir mungil nan seksi Likta tersungging cukup lebar, memperlihatkan sederetan gigi putih dan rapi. “Anggap aja biaya travelling.”
Oh, sial, kapan kebusukan Likta terlihat, batin Tiarnan. Di luar kemauan, justru tidak bosan-bosan mengamati setiap gerak-gerik Likta, gaya sederhana wanita itu menjeratnya tanpa sengaja. Atau ini hanya pemikiran naif dia saja, bahwa sesungguhnya Likta sedari awal berniat menjebaknya. Menabur benih-benih rasa cinta kasih yang bertujuan meraup keuntungan lebih banyak.
Selain membelikan Tiarnan mi, Likta juga membawa kopi. Sebab, pria itu tidak mau bertukar tempat, berkeras menyetir sampai ke tujuan.
Karena tidak mempunyai bahan obrolan Likta mudah tertidur, tetapi sebentar-sebentar bangun. Seperti memastikan sesuatu dalam dirinya tetap utuh tak tersentuh. “Sudah sampai mana?”
“Tinggal empat tol lagi,” terang Tiarnan. Saat ini dia sedang beristirahat di salah satu pom bensin. “Tidak keberatan, kan, kalau mandi di toilet umum?”
“Enggak masalah.” Tanpa terlihat risih, Likta membuka sabuk pengaman, kemudian mengambil baju ganti dan peralatan mandi.
Tiarnan menyugar rambut dengan jari, mengapa keteguhan jiwa kini mulai rapuh. “Wanita itu penipu!” Dia berusaha menyiram kebencian yang mulai layu. Mati-matian meyakinkan diri agar membenci, tetapi ...
Astaga, cantik sekali. Hati Tiarnan melanggar perintah, mengesampingkan tujuan awal menemui Likta.
“Loh, enggak mandi?” tanya Likta dari jendela penumpang yang terbuka. “Aku mau beli makanan, nanti kunci aja mobilnya semisal aku belum kembali.”
Likta langsung pergi setelah memasukkan kantong plastik berisi pakai kotor ke dalam koper. Kemudian, melenggang santai menuju pusat jajanan serba ada.
Benar saja, begitu kembali, Tiarnan belum datang. Likta berteduh di balik bayang-bayang mobil, melepas salah satu sepatu untuk alas duduk. Dia terlihat menimang-nimang dua bungkus nasi, mungkin akan makan sekembalinya Tiarnan.
Dari kejauhan, Tiarnan tidak pernah sedetikpun mengalihkan pandangan. “Cukup, ini sudah lewat setengah jam.” Dia pun berlari kecil.
“Lama sekali, kukira kamu pingsan karena kelelahan,” ujar Likta sambil menyerahkan sebungkus nasi. “Kita bisa gantian.”
“Itu penghinaan,” sahut Tiarnan, “Aku sanggup menyelesaikan pekerjaan sekecil ini.” Kini, dia duduk bersila tanpa alasan di samping Likta.
“Kenapa pria selalu bersikap merasa mampu melakukan segalanya, padahal belum tentu setangguh itu. Adakalanya pria butuh istirahat, membagi beban kepada orang lain. Atau kamu tipe pria yang—” Sikap Likta yang menggantung perkataan mengandung rasa sungkan.
“Lanjutkan,” pungkas Tiarnan.
“Yang—”
“Yang apa?” desak Tiarnan, mulai tidak sabar menunggu kelanjutan kata-kata Likta.
“Jangan berteriak, malu tuh dilihat orang,” bisik Likta sambil mengedikkan dagu ke arah yang dimaksudkan. “Kamu biasa memegang kendali, kan?”
“Memang ada pria yang tidak suka memegang kendali?” sahut Tiarnan asal sembari menyantap sesendok nasi.
Likta mengedikkan bahu tanpa memberi komentar. Lalu, mulai menekuni nasi bungkus itu hingga bersih tak bersisa. “Alhamdulillah.”
Keduanya pun meneruskan perjalanan, selang beberapa jam menembus kemacetan, akhirnya sampai juga di tempat wisata yang di tuju.
Likta terlihat mengusap bahu sendiri, tampak serius mengamati aktivitas para pengunjung yang bersiap menikmati keseruan olahraga ekstrim itu.
Tanpa berpamitan kepada Tiarnan, Likta menghampiri salah satu pemanduan yang ada di sana. “Mas, mau coba, dong.”
“Sebentar.” Serobot Tiarnan, dia menarik pergelangan tangan Likta. “Itu bahaya.”
“Dipandu masnya, kok,” ucap Likta. “Iya, kan, Mas?” serunya dan menoleh ke arah si pemandu.
Kemudian, Tiarnan melihat satu dua wanita mulai terbang dan nyaris tanpa jarak dengan pemandunya. Entah hal itu mengusik ketenangan hati, dia tidak bisa membiarkan orang lain menyentuh Likta. “Sinting!”
“Setelah coba paralayang, dijamin enggak bakal sinting,” timpal Likta tanpa tahu apa yang dipikirkan Tiarnan.
“Kamu coba paralayang sama aku atau tidak sama sekali!” tegas Tiarnan.
“Ngelawak, nih," kata Likta, lantas berlama-lama menatap Tiarnan. “Mas, gimana?” Berbalik menghadap mas pemandu.
“Terlalu beresiko, kita tidak bisa—”
“Sini, Mas.” Kini Tiarnan menggiring mas-mas tadi agak jauh dari Likta. Berbisik-bisik sambil mengangguk dan bersalaman mantap.
“Beres, yuk!”
Apa yang dialami keduanya hari itu sungguh diluar dugaan, menyenangkan, mendebarkan, mengasyikkan. Siapa sangka, Tiarnan yang memandu Likta saat menikmati keseruan melayang menggunakan parasut.
Karena lelah dan hari mulai petang mereka memutuskan menginap di sekitar lokasi, rumah minimalis yang bertengger kokoh di atas pohon.
Kaki Tiarnan seakan-akan berat untuk melangkah dan berpamitan. “Selamat malam.”
“Selamat malam, terima kasih,” ucap Likta tulus sebelum masuk ke rumah yang telah disewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
semaumu aja
diam2 bangga ye bang dasar
2024-02-28
2
Rizqi
terpesona 😅
2023-03-17
6
Rizqi
lanjut
2023-03-17
3