Bab 004: Sinting!

Tangan Tiarnan meremas pinggul Likta, keningnya bertumpu di dahi berponi tipis sang istri. Matanya hampir terpejam, napas berubah lebih cepat. Dia hanya diam, sampai benar-benar tenggelam dalam kenangan. Pertemuan pertama dengan Likta.

Pada saat itu, menurut Tiarnan terlalu lama bila menunggu sampai makam Tanya mengering untuk menemui Likta. Dia ingin menghancurkan orang yang telah memicu rasa putus asa adiknya, siapa pun orang itu haruslah berakhir di tangannya. Tidak peduli dia seorang wanita, dia akan membuat perhitungan dengannya.

Namun, Tiarnan harus memulai dari mana? Rumah wanita itu atau tempat dia bekerja? Ah, tidak penting asal dirinya bisa menemukan Likta, wanita yang Tanya sebutkan dengan huruf kapital tebal ketika mengirim pesan sebelum meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

“Dia ke Jakarta, menurut info sedang menemui kerabatnya, sudah berangkat sejak kemarin,” ucap seseorang melalui jaringan seluler.

“Aku tidak mau tau, temukan dia!” bentak Tiarnan. “Berapa pun biayanya aku bayar kontan!” Tanpa menunggu tanggapan, dia putus sambungan telepon.

Kelopak mata Tiarnan tertutup singkat, merasakan sesuatu yang besar dan berat menghimpit dada. Kehilangan seseorang terlalu sulit untuk dia terima, terutama orang paling muda di garis keluarganya. Tidak seharusnya Tanya memilih jalan hidup sesingkat ini.

Terdengar dering ponsel dan segera Tiarnan terima. “Sorry, Tiarnan, tantenya tidak mau memberitahu di mana persisnya. Tapi, kalau kamu mau atau mungkin bertemu dengan dia di sekitar sana, aku akan kirim fotonya.”

“Apa kamu bercanda? Aku membayarmu ingat? Kalau saja kamu bukan—ah, sudahlah, kirim foto wanita itu,” perintah Tiarnan. Dia menyandarkan punggung dan menutup mata lebih lama, air bening mengalir melalui kedua sudut indra penglihatan. Jemarinya menyeka air mata sebelum melewati pelipis.

Tiarnan pun membuka mata, membetulkan posisi duduknya sambil melihat keluar jendela mobil. Di kejauhan, tampak seorang wanita—berperawakan gadis remaja—sedang tertatih-tatih menarik kopernya. Lalu, duduk bersimpuh di pinggir trotoar.

Spontan jemari Tiarnan menepuk pundak supir pribadi Frits. “Pak berhenti, dan pulanglah dengan taksi.”

“Tapi—” Supirnya urung membantah ketika mendapat tatapan tajam dari Tiarnan. “Baik, jika terjadi sesuatu tolong hubungan saya.”

Setelah melakukan pengamatan, Tiarnan melangkah lebih dekat. “Permisi.” Lalu berjongkok di samping wanita yang sama persis dengan foto dari orang suruhannya. Kalau tidak salah, wanita ini adalah Likta. Kecuali, mitos adanya kembar tujuh di belahan dunia sudah bisa dibuktikan. Dia menggembungkan pipi sebelum bertanya, “Aku baru di kota ini, boleh tau ini daerah mana?” Tiarnan dapat melihat dengan jelas Likta mengernyit.

Tanpa menjawab Likta menunjuk papan penunjuk jalan. Berusaha menyembunyikan penampilan kacaunya, mata sembab dengan dengan luka lebam kekuningan. Dan, masih ada yang biru pada tulang pipi.

“Oh, oke, terima kasih.” Begitu mendapat jawaban Tiarnan beranjak, menjauh tiga langkah dari tempat Likta duduk bersila. Semua berjalan di luar konsep awal, yang mengganggu adalah—gimana bisa wanita itu bersikap takpeduli. Karena baru bertemu sekali ini, terasa beda bagi Tiarnan, tak ada seorang wanita pun yang bisa acuh tak acuh kepadanya meski baru sepintas lalu. Walau tanpa kata, biasanya sorot mata para wanita berkilau penuh damba.

Pemikiran macam apa ini? Tiarnan tidak dibenarkan merasakan emosi selain kemarahan. Dia berbalik badan dan pada saat itu Likta terlihat menyeret kopernya dengan susah payah.

Demi memuluskan rencananya, Tiarnan menghentikan Likta, menawari tumpangan hingga mengajaknya ngetrip bersama. Melihat keragu-raguan di wajah wanita itu, dia memutar otak, sehingga terbesit pemikiran untuk memberi jaminan KTP.

Kena, kamu, batin Tiarnan, dia tidak pernah berpikir akan semudah membalikkan telapak tangan ketika menawarkan jalan-jalan kepada, Likta. Ternyata benar, semua wanita cenderung memiliki kesamaan terkait hal yang satu ini.

Akhirnya, Likta mengikuti langkah Tiarnan menuju mobil. Keduanya menghabiskan seperempat perjalanan dalam diam, sampai melintas di tol Pejagan-Pemalang.

Karena rasa lelah menerjang, Tiarnan singgah sebentar di rest area yang terletak di KM 275.

“Eh, mau apa?” Likta menciptakan jarak lebih dari satu meter ketika Tiarnan hendak menempelkan sebotol air dingin ke pipi. Gerakan spontan itu mengandung semacam peringatan, jangan mendekat atau aku berteriak.

“Kompres luka lebam di wajahmu,” ucap Tiarnan.

“Air hangat, ini sudah terhitung dua hari.” Likta melihat salah satu tangan Tiarnan membawa mi yang sudah siap santap dalam kemasan berbahan kertas.

“Bukan ide yang bagus kalau pakai ini,” tutur Tiarnan, dia meletakkan air dan mi ke atas meja bundar. “Kamu makan dulu, biar aku cari air hangatnya.” Dua menit berikutnya, Tiarnan kembali dengan membawa sebotol air.

“Loh, kamu enggak beli makan?” tanya Likta.

“Uangku terbatas.”

Mendengar pengakuan Tiarnan, sesuap mi tertahan di depan bibir Likta sebentar. “Ya ampun, kenapa enggak bilang? Tunggu, biar aku beli yang baru buat kamu.”

“Aku belum lapar,” aku Tiarnan, tetapi penghuni tetap di dalam perutnya berkhianat, meraung begitu kerasa.

Bibir mungil nan seksi Likta tersungging cukup lebar, memperlihatkan sederetan gigi putih dan rapi. “Anggap aja biaya travelling.”

Oh, sial, kapan kebusukan Likta terlihat, batin Tiarnan. Di luar kemauan, justru tidak bosan-bosan mengamati setiap gerak-gerik Likta, gaya sederhana wanita itu menjeratnya tanpa sengaja. Atau ini hanya pemikiran naif dia saja, bahwa sesungguhnya Likta sedari awal berniat menjebaknya. Menabur benih-benih rasa cinta kasih yang bertujuan meraup keuntungan lebih banyak.

Selain membelikan Tiarnan mi, Likta juga membawa kopi. Sebab, pria itu tidak mau bertukar tempat, berkeras menyetir sampai ke tujuan.

Karena tidak mempunyai bahan obrolan Likta mudah tertidur, tetapi sebentar-sebentar bangun. Seperti memastikan sesuatu dalam dirinya tetap utuh tak tersentuh. “Sudah sampai mana?”

“Tinggal empat tol lagi,” terang Tiarnan. Saat ini dia sedang beristirahat di salah satu pom bensin. “Tidak keberatan, kan, kalau mandi di toilet umum?”

“Enggak masalah.” Tanpa terlihat risih, Likta membuka sabuk pengaman, kemudian mengambil baju ganti dan peralatan mandi.

Tiarnan menyugar rambut dengan jari, mengapa keteguhan jiwa kini mulai rapuh. “Wanita itu penipu!” Dia berusaha menyiram kebencian yang mulai layu. Mati-matian meyakinkan diri agar membenci, tetapi ...

Astaga, cantik sekali. Hati Tiarnan melanggar perintah, mengesampingkan tujuan awal menemui Likta.

“Loh, enggak mandi?” tanya Likta dari jendela penumpang yang terbuka. “Aku mau beli makanan, nanti kunci aja mobilnya semisal aku belum kembali.”

Likta langsung pergi setelah memasukkan kantong plastik berisi pakai kotor ke dalam koper. Kemudian, melenggang santai menuju pusat jajanan serba ada.

Benar saja, begitu kembali, Tiarnan belum datang. Likta berteduh di balik bayang-bayang mobil, melepas salah satu sepatu untuk alas duduk. Dia terlihat menimang-nimang dua bungkus nasi, mungkin akan makan sekembalinya Tiarnan.

Dari kejauhan, Tiarnan tidak pernah sedetikpun mengalihkan pandangan. “Cukup, ini sudah lewat setengah jam.” Dia pun berlari kecil.

“Lama sekali, kukira kamu pingsan karena kelelahan,” ujar Likta sambil menyerahkan sebungkus nasi. “Kita bisa gantian.”

“Itu penghinaan,” sahut Tiarnan, “Aku sanggup menyelesaikan pekerjaan sekecil ini.” Kini, dia duduk bersila tanpa alasan di samping Likta.

“Kenapa pria selalu bersikap merasa mampu melakukan segalanya, padahal belum tentu setangguh itu. Adakalanya pria butuh istirahat, membagi beban kepada orang lain. Atau kamu tipe pria yang—” Sikap Likta yang menggantung perkataan mengandung rasa sungkan.

“Lanjutkan,” pungkas Tiarnan.

“Yang—”

“Yang apa?” desak Tiarnan, mulai tidak sabar menunggu kelanjutan kata-kata Likta.

“Jangan berteriak, malu tuh dilihat orang,” bisik Likta sambil mengedikkan dagu ke arah yang dimaksudkan. “Kamu biasa memegang kendali, kan?”

“Memang ada pria yang tidak suka memegang kendali?” sahut Tiarnan asal sembari menyantap sesendok nasi.

Likta mengedikkan bahu tanpa memberi komentar. Lalu, mulai menekuni nasi bungkus itu hingga bersih tak bersisa. “Alhamdulillah.”

Keduanya pun meneruskan perjalanan, selang beberapa jam menembus kemacetan, akhirnya sampai juga di tempat wisata yang di tuju.

Likta terlihat mengusap bahu sendiri, tampak serius mengamati aktivitas para pengunjung yang bersiap menikmati keseruan olahraga ekstrim itu.

Tanpa berpamitan kepada Tiarnan, Likta menghampiri salah satu pemanduan yang ada di sana. “Mas, mau coba, dong.”

“Sebentar.” Serobot Tiarnan, dia menarik pergelangan tangan Likta. “Itu bahaya.”

“Dipandu masnya, kok,” ucap Likta. “Iya, kan, Mas?” serunya dan menoleh ke arah si pemandu.

Kemudian, Tiarnan melihat satu dua wanita mulai terbang dan nyaris tanpa jarak dengan pemandunya. Entah hal itu mengusik ketenangan hati, dia tidak bisa membiarkan orang lain menyentuh Likta. “Sinting!”

“Setelah coba paralayang, dijamin enggak bakal sinting,” timpal Likta tanpa tahu apa yang dipikirkan Tiarnan.

“Kamu coba paralayang sama aku atau tidak sama sekali!” tegas Tiarnan.

“Ngelawak, nih," kata Likta, lantas berlama-lama menatap Tiarnan. “Mas, gimana?” Berbalik menghadap mas pemandu.

“Terlalu beresiko, kita tidak bisa—”

“Sini, Mas.” Kini Tiarnan menggiring mas-mas tadi agak jauh dari Likta. Berbisik-bisik sambil mengangguk dan bersalaman mantap.

“Beres, yuk!”

Apa yang dialami keduanya hari itu sungguh diluar dugaan, menyenangkan, mendebarkan, mengasyikkan. Siapa sangka, Tiarnan yang memandu Likta saat menikmati keseruan melayang menggunakan parasut.

Karena lelah dan hari mulai petang mereka memutuskan menginap di sekitar lokasi, rumah minimalis yang bertengger kokoh di atas pohon.

Kaki Tiarnan seakan-akan berat untuk melangkah dan berpamitan. “Selamat malam.”

“Selamat malam, terima kasih,” ucap Likta tulus sebelum masuk ke rumah yang telah disewa.

Terpopuler

Comments

semaumu aja

semaumu aja

diam2 bangga ye bang dasar

2024-02-28

2

Rizqi

Rizqi

terpesona 😅

2023-03-17

6

Rizqi

Rizqi

lanjut

2023-03-17

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 001: Menemukan Ayah si Jabang Bayi
2 Bab 002: Ini Bukan Sinetron atau Kisah Novel
3 Bab 003: Nyaris Saja Luluh Lantak
4 Bab 004: Sinting!
5 Bab 005: Hampir
6 Bab 006: Ssttt
7 Bab 007: Kamu Percaya Sihir?
8 Bab 008: Ironi Pernikahan Tanpa Cinta
9 Bab 009: Sama Datarnya
10 Bab 010: Cukup
11 Bab 011: Menderita
12 Bab 012: Dipuja-puja
13 Bab 013: Istri Mas Tiarnan
14 Bab 014: Afair
15 Bab 015: Waaow
16 Bab 016: Rivalnya
17 Bab 017: Sudah Puas?
18 Bab 018: Tidak Boleh Dibiarkan
19 Bab 019: Sejak Kapan?
20 Bab 020: Bersikaplah Dewasa
21 Bab 021: Menunggu
22 Bab 022: Dia, kan, istrimu
23 Bab 023: Stres Memicu Kram Perut
24 Bab 024: Dama benar
25 Bab 025: Ibu Pengganti
26 Bab 026: Di antara Tanya, Arfid, dan Likta
27 Bab 027: Ingin Memercayaimu
28 Bab 028: Emosi Menurun
29 Bab 029: Segera Diresmikan
30 Bab 030: Penaklukan Hati Sang Pertapa
31 Bab 031: Loh, Kok, Marah?
32 Bab 032: Kecewa Berat
33 Bab 033: Ada Apa Ini?
34 Bab 034: Sampai Ajal Nanti
35 Bab 035: Perasaan Lega
36 Bab 036: Sudah Tidak Sayang 'kah, Mama Arima?
37 Bab 037: Mama Mengkhianatimu Kita
38 Bab 038: Ikhlas
39 Bab 039: Jumlah Segitu Dapat Dari Mana?
40 Bab 040: Aku Udah Kenyang, deh, Bri
41 Bab 041: Kehilangan Dirimu Terlalu Cepat
42 Bab 042: Sentimental Sekali
43 Bab 043: Membingungkan
44 Bab 044: Sekeping Hati Tidak Berarti
45 Bab 045: Hidangan Penutup
46 Bab 046: Kecemburuan
47 Bab 047: Ini Tidak gratis
48 Bab 048: Munafik!
49 Bab 049: No Debat!
50 Bab 50: Belajar dari Pengalaman
51 Bab 51: Berantakan
52 Bab 52: Berdampak Besar
53 Bab 53: Bukankah Cinta Memang Gila?
54 Bab 54: Dia Telah Mengambil Alih Dirimu
55 Bab 55: Menjagamu Kebahagiaan Terbesar
56 Bab 56: Aku Harus Kembali ke Indonesia
57 Bab 57: Zein dan Seysan
58 Bab 58: Menyusul Tiarnan ke Swedia
59 Bab 59: Menguntungkan Baginya
60 Bab 60: Pernikahan Ganda
61 Bab 61: Berita Buruk!
62 Bab 62: Terancam Dipecat
63 Bab 63: Versi Lebih Muda
64 Bab 64: Sepercik Sesal
65 Bab 65: Orang yang Salah
66 Bab 66: Menyenangkan
67 Bab 67: Ini Beresiko Likta!
68 Bab 68: Mana Buktinya?
69 Bab 69: Bagian Tersulit
70 Bab 70: Penderitaan
71 Bab 71: Menempati Posisi Likta
72 Bab 72: Seandainya Lebih Kuat
73 Bab 73: Belum Siap Melihat Dunia
74 Bab 74: Aroma Manis Likta
75 Bab 75: Semua Telah Berakhir
76 Bab 76: Ceraikan Aku!
77 Bab 77: Berkalang Dosa
78 Bab 78: Sudah Final
79 Bab 79: Pribadi Lebih Lurus
80 Bab 80: Siapa dan Ke mana kira-kira Tiarnan?
81 Bab 81: Sisi Lain
82 Bab 82: Memandang Sebelah Mata
83 Bab 83: Kemenangan Tiarnan
84 Bab 84: Memakanmu
85 Bab 85: Obsesimu
86 Bab 86
87 Bab 87: Tidak Tahan Melihat Likta
88 Bab 88: Semangat Juang
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Bab 001: Menemukan Ayah si Jabang Bayi
2
Bab 002: Ini Bukan Sinetron atau Kisah Novel
3
Bab 003: Nyaris Saja Luluh Lantak
4
Bab 004: Sinting!
5
Bab 005: Hampir
6
Bab 006: Ssttt
7
Bab 007: Kamu Percaya Sihir?
8
Bab 008: Ironi Pernikahan Tanpa Cinta
9
Bab 009: Sama Datarnya
10
Bab 010: Cukup
11
Bab 011: Menderita
12
Bab 012: Dipuja-puja
13
Bab 013: Istri Mas Tiarnan
14
Bab 014: Afair
15
Bab 015: Waaow
16
Bab 016: Rivalnya
17
Bab 017: Sudah Puas?
18
Bab 018: Tidak Boleh Dibiarkan
19
Bab 019: Sejak Kapan?
20
Bab 020: Bersikaplah Dewasa
21
Bab 021: Menunggu
22
Bab 022: Dia, kan, istrimu
23
Bab 023: Stres Memicu Kram Perut
24
Bab 024: Dama benar
25
Bab 025: Ibu Pengganti
26
Bab 026: Di antara Tanya, Arfid, dan Likta
27
Bab 027: Ingin Memercayaimu
28
Bab 028: Emosi Menurun
29
Bab 029: Segera Diresmikan
30
Bab 030: Penaklukan Hati Sang Pertapa
31
Bab 031: Loh, Kok, Marah?
32
Bab 032: Kecewa Berat
33
Bab 033: Ada Apa Ini?
34
Bab 034: Sampai Ajal Nanti
35
Bab 035: Perasaan Lega
36
Bab 036: Sudah Tidak Sayang 'kah, Mama Arima?
37
Bab 037: Mama Mengkhianatimu Kita
38
Bab 038: Ikhlas
39
Bab 039: Jumlah Segitu Dapat Dari Mana?
40
Bab 040: Aku Udah Kenyang, deh, Bri
41
Bab 041: Kehilangan Dirimu Terlalu Cepat
42
Bab 042: Sentimental Sekali
43
Bab 043: Membingungkan
44
Bab 044: Sekeping Hati Tidak Berarti
45
Bab 045: Hidangan Penutup
46
Bab 046: Kecemburuan
47
Bab 047: Ini Tidak gratis
48
Bab 048: Munafik!
49
Bab 049: No Debat!
50
Bab 50: Belajar dari Pengalaman
51
Bab 51: Berantakan
52
Bab 52: Berdampak Besar
53
Bab 53: Bukankah Cinta Memang Gila?
54
Bab 54: Dia Telah Mengambil Alih Dirimu
55
Bab 55: Menjagamu Kebahagiaan Terbesar
56
Bab 56: Aku Harus Kembali ke Indonesia
57
Bab 57: Zein dan Seysan
58
Bab 58: Menyusul Tiarnan ke Swedia
59
Bab 59: Menguntungkan Baginya
60
Bab 60: Pernikahan Ganda
61
Bab 61: Berita Buruk!
62
Bab 62: Terancam Dipecat
63
Bab 63: Versi Lebih Muda
64
Bab 64: Sepercik Sesal
65
Bab 65: Orang yang Salah
66
Bab 66: Menyenangkan
67
Bab 67: Ini Beresiko Likta!
68
Bab 68: Mana Buktinya?
69
Bab 69: Bagian Tersulit
70
Bab 70: Penderitaan
71
Bab 71: Menempati Posisi Likta
72
Bab 72: Seandainya Lebih Kuat
73
Bab 73: Belum Siap Melihat Dunia
74
Bab 74: Aroma Manis Likta
75
Bab 75: Semua Telah Berakhir
76
Bab 76: Ceraikan Aku!
77
Bab 77: Berkalang Dosa
78
Bab 78: Sudah Final
79
Bab 79: Pribadi Lebih Lurus
80
Bab 80: Siapa dan Ke mana kira-kira Tiarnan?
81
Bab 81: Sisi Lain
82
Bab 82: Memandang Sebelah Mata
83
Bab 83: Kemenangan Tiarnan
84
Bab 84: Memakanmu
85
Bab 85: Obsesimu
86
Bab 86
87
Bab 87: Tidak Tahan Melihat Likta
88
Bab 88: Semangat Juang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!