Tiga hari lalu, Tiarnan meninggalkan Likta sendiri di bungalo mewah yang terletak tidak jauh dari pantai Senggigi. Satu-dua pelayan datang silih berganti menyiapkan segala keperluan. Makanan yang disajikan saat sarapan, makan siang, dan malam selalu berubah-ubah. Semua terasa begitu lezat dan nikmati. Bukan hanya urusan perut yang diperhatikan, Tiarnan secara khusus mendatangkan beberapa potong baju hasil rancangan desainer ternama.
“Gimana?”
“Apanya?” Likta balik tanya.
“Baca, kamu coret apa-apa yang menurutmu salah.” Tiarnan meletakkan map kertas berwarna biru dan terlihat begitu tebal, membungkus berlembar-lembar kertas bertuliskan sederet perjanjian yang diketik dengan sangat hati-hati.
“Mau ke mana?” tanya Likta begitu menyadari Tiarnan berbalik badan.
“Mandi, mau ikut?” Tiarnan melihat pipi Likta merona setelah mendengar pertanyaan jailnya. Dan, seketika itu jantungnya memompa lebih cepat. Cairan yang mengalir di pembuluh darah berdesir panas, tetapi dia meyakinkan diri bahwa ini disebabkan oleh kebencian, bukan kebutuhan biologis yang ingin tersalurkan. “Aku tidak suka membuang-buang waktu, jadi buat keputusan selagi aku menyegarkan diri.”
Tanpa berkata-kata, Likta mengambil map di meja dan Tiarnan pergi ke kamar mandi. Begitu pria itu pergi, dia menyandarkan punggung. Menghirup oksigen banyak-banyak untuk melembapkan paru-paru. Tawaran Tiarnan barusan membuatnya sesak, hampir saja dirinya meminta napas buatan.
Isi surat perjanjian itu tidak ada yang salah, semua menguntungkan bagi Likta. Namun, ada dua poin yang melukai harga dirinya. Dia berkedip cepat dua kali sambil menatap langit-langit ruang tamu. Mengingat apa yang terjadi, jelas dia sudah tidak berharga lagi. Mengotori diri dengan noda yang takmungkin bisa hilang meski menggunakan kekuatan seribu tangan.
“Sudah?”
Map di pangkuan Likta terjatuh, kenapa akhir-akhir ini dia mudah sekali terkejut. Padahal suara Tiarnan tidak keras, cenderung dalam dan lembut. “Kamu keterlaluan.”
Mendengar ucapan Likta, tangan Tiarnan yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk terdiam. “Maksudnya?”
“Test DNA, kamu masih mengira aku menipu!" ujar Likta, sebelum ditanggapi dia mengimbuhkan, “Kalaupun terbukti bayi ini bukan anakmu, aku mau aja cerai, tapi enggak dengan uangmu. Aku sanggup membesarkan anak ini dengan jeri payahku sendiri.”
“Bagus kalau kamu sadar,” sahut Tiarnan ketus. “Ayo, kita harus ke Jakarta sekarang, aku sudah mempersiapkan semua.”
“Aku harus siap-siap.”
“Tinggal aja, nanti orangku yang urus.” Tiarnan bersedekap, mengamati penampilan Likta. Wanita itu memakai celana jeans yang dipadukan dengan kaus ukuran jumbo yang merosot di salah satu bahu, sehingga memperlihatkan kulit pucatnya. Rambutnya di gelung longgar, dia terlihat seperti gadis belia yang belum siap memiliki bayi. “Bukannya aku udah kirim beberapa baju, kenapa tidak dipakai?”
“Terlalu mahal.”
“Aku mau kamu pakai salah satunya sekarang.” Karena malas berdebat, Tiarnan bergegas pergi.
Sepuluh menit berikutnya, Likta keluar dari kamar, tampak manis dan anggun dengan gaun terusan yang bagian roknya tumpang tindih di depan, hampir menyerupai bunga tulip terbalik. Rambutnya masih sama, beberapa helai membingkai wajah bulatnya.
“Hello, aku sudah siap.” Telapak tangan Likta melambai karena Tiarnan terlihat bengong.
“Oke, yuk!” Tiarnan memimpin langkah menuju halaman belakang bungalo.
Kini giliran Likta yang menganga, kelopak matanya tidak berkedip selama beberapa detik. Tidak heran orang-orang memberi julukan Tiarnan—bocah miliuner—ini buktinya, pesawat jet yang bisa mengangkut sebanyak-banyaknya sembilan belas orang, tidak termasuk awak pesawat digunakan sebagai akomodasi perjalanan. Saking takjubnya, dia tidak menyadari pria itu menaiki tangga, sehingga tertinggal agak jauh.
“Ayo!”
Setelah masuk ke badan pesawat, Likta mengira panjang kabinnya mencapai kurang lebih sekitar 14,63 meter, sangat luas dan lega. Dia pun duduk di salah satu kursi.
Jarak tempuh dari Bali ke Jakarta tidak membutuhkan waktu lama, bahkan Likta belum sempat menyelonjorkan kaki. Setibanya di lokasi, Tiarnan menuntun langkahnya menuju mobil.
Kendaraan bermotor roda empat itu membawa keduanya ke kantor urusan agama dan catatan sipil, melaksanakan sekaligus mencatatkan pernikahan supaya sah secara hukum dan agama.
Meski sah menjadi suami-istri, hubungan keduanya tidak kunjung membaik, bahkan hampir seminggu ini Tiarnan mengabaikan Likta. Membiarkan wanita itu seorang diri di apartemen yang mewah dan sunyi. Memang ada asisten rumah tangga, tetapi selalu pulang pada sore hari.
“Aku kesepian, Bri, memang, sih, serba kecukupan. Tapi, aku udah kayak wanita simpanan tau enggak?” gerutu Likta sambil menikmati salat buah. Telepon genggamnya menggunakan mode pengeras suara. “Dia super suuuibuk banget,” katanya dipanjang-panjangkan.
“Itu salahmu sendiri, siapa suruh melewati batas,” balas Brielle. “Kamu kesambet setan apa, sih, waktu ngelakuin hal itu?”
“Sudah kubilang, semua terjadi gitu aja,” ucap Likta lemah, yang dia tahu saat itu hanya kecocokan satu sama lain. Ibarat kupu-kupu jantan dan betina, takut keburu mati kalau tidak segera bercinta.
Ketika kesunyian melanda Brielle bersuara. “Eh, Likta, kamu masih di sana, kan?”
“Iya, masih, Bri. Oiya, Tante sama Om ku nyariin, gak. Kemarin izin cuma dua-tiga hari, kan?” Meskipun tidak yakin bakal kembali lagi ke rumah sang tante Likta bertanya. Sedikit pun, dia tidak pernah membayangkan pulang dalam kondisi hamil, terlebih tanpa suami. Ini aib keluarga, bencana baginya.
“Iya, Tante Farida tanya pas ketemu di pasar.” Ada kesenjangan waktu selama sepuluh detik. “Likta?”
“He'eh.”
“Saranku, kamu jangan terlalu mikir terlalu dalam. Nikmati apa yang ada, jangan ada apanya,” ucap Brielle sambil menyanyikan kalimat kedua dengan suara fals maksimal.
“Cerdas!” pungkas seseorang yang amat Likta rindukan kehadirannya, Tiarnan tampak menakjubkan bersandar di kosen.
“Likta, eh, Likta!” Suara Brielle masih terdengar, menarik kesadaran yang nyaris terbang.
“Ya, Bri. Udah dulu, ya, nanti aku telepon lagi. Daah.” Sesudah memutus panggilan, Likta menurunkan kedua kaki yang bersila di atas sofa. Dia berdeham dua kali guna menetralkan keterkejutan dan kepanikan, bertanya-tanya sudah berapa lama Tiarnan berdiri di sana. Menguping pembicaraannya dengan Brielle.
“Papa mau ketemu sama kamu,” kata Tiarnan, datar. “Paparazi berhasil mendapatkan foto kita saat keluar dari catatan sipil.”
Likta terduduk lemas, gimana kalau om-tantenya sampai tahu, walaupun saat itu memakai masker cepat atau lambat akan terbongkar juga. Bisa jadi sudah diberitahu sang ayah. “Papamu pasti marah.”
“Aku sudah menjelaskan semuanya, Papa bisa mengerti, beliau menginginkan penerus keluarga. Sekarang bersiap-siaplah.” Tiarnan menaikan sebelah alisnya, Likta tak kunjung beranjak dari duduknya. “Tunggu apalagi?”
“Iya, iya.”
Likta yang biasa tampil apa adanya tidak membutuhkan waktu lama untuk berdandan. Dan, anehnya semua tampak sempurna di mata Tiarnan.
“Mau ngapain lagi?” tanya Tiarnan, geram.
“Maskerku ketinggalan.”
“Biarin!”
“Kalau ada paparazi?” Rupanya Likta mewarisi sikap keras kepala Ayon, ayahnya.
Karena kesal Tiarnan menarik istrinya lebih dekat, satu tangan berada di pinggul Likta. Tubuhnya saling bertumbuk, dia merasakan daya tarik yang sukar dihindari, perlahan menunduk dan ... nyaris saja luluh lantak di dalam kelembutan bibir Likta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
semaumu aja
ini pd ngapain sih dua kupu2kebelet kawin
2024-02-27
2
it's me oca -off
na tu kan bucin
2023-02-13
3
it's me oca -off
likta mau madriii ya
2023-02-13
1