Bertahan Sakit Berpisah Sulit
Dengan perasaan kacau Likta pulang, dia meminta cuti beberapa hari dari tempat kerjanya. Tubuhnya begitu lelah, siklus haid yang tak normal membuat Likta tenang. Namun, ditampar keras oleh kenyataan ketika dokter mengatakan bahwa kehamilannya sudah terhitung dua belas minggu.
Likta terduduk lemas sepulang dari klinik, ke mana dia akan bersembunyi kalau sudah begini. Menemukan ayah si jabang bayi, jelas tidak mungkin. Bahkan dia tidak mengenal pria itu sama sekali, tetapi entah bagaimana seperti ada daya tarik tersendiri ketika pertama kali melihatnya. Dan, melewati tiga hari bersama, masa ter ... tidak tepat rasanya menyebut terindah karena semua datang begitu tiba-tiba dan mengejutkan.
Kilas balik malam menggelora itu berputar di kepala, setiap inti sel tubuh Likta berdenyut gelisah. Seakan-akan panasnya pergulatan canggung itu masih tertinggal. Dia tercenung membayangkan ditinggal begitu saja keesokan harinya, kalau dipikir-pikir memang suatu kebodohan. Tanpa tahu nama, dirinya rela memberikan sesuatu yang paling berharga.
Rasa kecewa terhadap diri sendiri menggelayuti hati, Likta jelas tidak mengharap menjalani masa kehamilan tanpa suami. Sedari awal, dia memang tak beniat menuntut apa pun kepada pria itu, tetapi bayi yang berada di dalam kandungan berhak tahu siapa ayahnya.
Sudah tiga hari ini Likta datang ke tempat-tempat yang mungkin didatangi pria itu, tetapi hasilnya nihil bahkan petugas hotel tidak mau memberi data apa pun mengenai reservasi malam itu.
“Ta, kok, nyantai? Enggak kerja?” tanya Farida, adik dari almarhumah ibu Likta. Dia meletakkan seteko besar es teh lengkap dengan sepiring pisang rebus.
Farida menghempaskan tubuh di sebelah Likta, meraih remot lantas mencari acara gosip di televisi. Berita terbaru mengenai artis-artis papan atas mulai bergulir, mulai dari kasus KDRT sampai kabar membahagiakan datang dari model yang sedang naik daun—Violacea.
“Capek, Te.” Likta menjawab sambil menuang es teh, dia jarang sekali minum-minuman dingin, tetapi ini rasanya lain. Ada semacam keinginan yang susah ditolak.
“Wah, jangan-jangan hamil, nih," gumam Farida.
Mendengar penuturan sang tante, sontak Likta menyemburkan es teh dari mulut hingga terbatuk-batuk.
“Pelan-pelan minumnya,” kata Farida tanpa menoleh. “Kalau bukan ada apa-apa, jarang sekali ada artis memutuskan menikah di saat karir lagi meroket.” Lanjut mengomentari acara yang ditonton.
Likta hendak pergi sebelum terhenti melihat calon suami Violacea, dia pun kembali duduk. Matanya menatap lekat-lekat wajah menawan pria bernama Tiarnan. Sang pembicaraan mengatakan bahwa keduanya akan melangsungkan pertunangan terlebih dahulu di Bali.
“Pantes buru-buru, calonnya ganteng gitu, dan tau enggak Likta, Tiarnan itu masuk dalam sepuluh orang terkaya se-Asia. Selama ini jarang tampil di TV, maklum tinggalnya di luar negeri. Eh, tau-tau kepincut artis dalam negeri. Cocok ya mereka?” cerocos Farida tanpa koma, sedangkan dada sang keponakan berdetak kian cepat, sesak tiada terkira. “Eh, Ta, diajak omong juga, malah diam aja.”
“Hah?”
“Lah, enggak nyambung, makanya sesekali nonton berita biar gak kuper,” ujar Farida selagi tangan menyambar pisang rebus.
Likta tidak mengacuhkan perkataan Farida, berjalan linglung menuju ke kamar. Merebahkan tubuh di atas kasur dengan posisi kaki menggantung. Sekarang apa? Bagaimana bisa? Sekuper itukah dia, sampai tidak mengenali orang yang tidur dengannya? Segala pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran.
Seberkas cahaya melintas, jemari Likta merasakan sentuhan lembut sedingin es. Samar-samar terdengar bisikan di telinga. “Papa harus tau.”
Likta terlonjak dari tidurnya, dia sedang bermimpi, apa itu tadi suara hatinya? Mungkin Ayon—ayahnya—punya solusi untuk masalah ini. Ah, tetapi mustahil, hubungannya dengan sang ayah jauh dari kata baik. Yang ada nanti memiliki julukan baru, selain anak pembawa sial bertambah wanita murahan.
“Brielle, dia mungkin bisa bantu.” Tanpa mengulur waktu, Likta bergegas keluar dari kamar. “Te, aku mau ke rumah Brielle dulu,” pamitnya.
“Ya, pas pulang jangan tangan kosong.”
“He'eh.”
Jarak dari rumah Farida ke rumah Brielle hanya membutuhkan waktu lima menit. Likta mematikan mesin tepat di pelataran rumah, lalu melepas helm dan mengarahkan kaki ke depan pintu.
“Bri, buka pintunya, aku di luar ... oke.”
Selang semenit pintu kayu itu terbuka. “Tumben absen?”
“Aku—nanti kuceritain.” Likta menyerobot wanita bertubuh lebih besar darinya itu. Di dalam, dia menceritakan semuanya dan membuat Brielle kena serang jantung dadakan.
“Gila! Tau enggak itu salah? Fatal! Ada dua solusi, gugurkan atau temui bapak anak itu.” Brielle mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Mana bisa gugurin, dia enggak salah dan gimana caraku nemuin bapaknya,” ucap Likta lemah.
“Ya, masa mau hamil tanpa suami? Berangkat, aku yang bayarin tiketnya. Gak peduli itu orang bakal percaya atau enggak urusan belakang.”
Setelah keputusan dibuat, Brielle mengantarkan Likta ke bandara keesokan harinya. Namun, sayang tidak bisa menemani sang sahabat.
Berbekal informasi dari media sosial Likta menuju ke tempat digelarnya pesta pertunangan Violacea dan Tiarnan.
Karena tidak bisa masuk tanpa undangan Likta menyelinap lewat pintu darurat, dia berjalan tenang di antara beberapa petugas hotel dan para penanggungjawab acara.
Sampai ketika tiba di tempat yang lebih sepi, Likta melihat punggung lebar seseorang yang sedang duduk sendirian. Percikan rasa rindu menguatkan dugaan Likta bahwa pria itu adalah ayah dari anaknya.
Orang itu berdiri, berbalik badan hendak pergi hingga diam terpaku di tempat. Terkejut akan kehadiran Likta, wanita yang ingin dia lupakan untuk selamanya. “Sadar, Tiarnan, ini ilusi!” ucapnya kepada diri sendiri.
Sisi lain dari dalam diri Tiarnan bergetar hebat sampai teringat malam pertama bertemu dengan Likta yang tampak begitu rapuh.
Waktu di mobil malam itu, sebuah pesan masuk melalui ponsel Tiarnan, tidak ada tulisan, hanya gambar seorang wanita—mungkin gadis—sesuatu menyentak bagian terdalam Tiarnan. Seperti hidup, Likta tersenyum tulus di sana, binar ceria terpancar jelas di matanya. Bagaimana bisa, orang berparas selembut ini sanggup mencuri sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Dengan penuh keyakinan, Tiarnan memerintahkan supir menuju tempat tinggal Likta. Seolah-olah takdir mengaminkan, wanita itu terlihat berjalan sambil membawa koper tidak terlalu besar. Seperti saat ini, sekarang dan persis di depan matanya. Hanya saja kali ini berbeda, Likta tidak mengusap pipi dengan ujung telapak tangan. Luka lebam tidak menodai wajah eloknya.
Tiarnan begitu terganggu oleh air mata Likta saat itu, akan pergi ke mana pada larut malam? Menemui para lelaki hidung belang atau pria yang dia dapatkan dari merebut milik orang? Melihat itu, berbagai pertanyaan berputar-putar di dalam benak Tiarnan.
Lebih dari lima menit Tiarnan menunggu dan mulai tidak sabar. Kala itu, dia berjalan cepat menuju ke arah Likta. Dan, seekor kucing melintas lebih dulu di depan wanita itu. Suara Likta mengalun lembut, merayu makhluk berbulu itu supaya tidak takut. Anehnya, seperti memiliki bakat khusus keduanya seolah-olah bercengkerama. Begitu penuh perhatian Likta merawat kucing itu, setelah puas dimanjakan si kucing mendengkur nikmat dalam buaian jari-jemari lentik Likta.
“Bisa bicara sebentar?” Likta membuyarkan lamunan Tiarnan.
“Kamu siapa?” ucap Tiarnan, keinginan hati tetap tinggal lebih mendominasi daripada nada bicaranya yang kasar. Dia kembali mendudukkan diri, kendati pikiran terus memprovokasi untuk pergi.
“Maksudmu? Kamu belum terlalu tua untuk melupakan semua kedekatan kita, sampai malam canggung itu terjadi! Aku hamil.”
“Pembohongan.” Tiarnan menolak pengakuan Likta.
“Aku punya bukti,” ucap Likta mantap, lalu mengambil amplop putih dari dalam tas jinjing. Dia lempar benda itu di atas pangkuan Tiarnan.
“Siapa yang tau kamu tidur dengan laki-laki lain setelah aku.” Tiarnan merasakan kegetiran ketika kalimat terkutuk itu keluar dari bibir. Dia membuka amplop pemberian Likta dengan tangan gemetar. “Lagipula kita sepakat tidak menganggap serius hubungan sepintas lalu.”
“Memang, sebelum ada bayi di dalam perutku, dan kupikir kamu harus tau. Yah, tapi kalau kamu enggak mau mengakui aku bisa merawatnya sendiri dan jangan coba-coba mengambilnya suatu saat nanti dariku.”
Kelopak mata Tiarnan melebar, lalu memasukkan kembali hasil pemeriksaan kehamilan Likta ke dalam amplop.
Dan, dua reporter keluar dari persembunyian. “Apa benar wanita ini hamil anak Anda?”
Tiarnan bersicepat meraih Likta ke dalam pelukan, melindungi wanita itu agar wajahnya tidak muncul di koran mau pun jejaring sosial.
“Bagaimana dengan pertunangan Anda?”
“Batal, tidak ada pertunangan!” jawab Tiarnan cepat, sambil menghindar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
范妮·廉姆
mau dong likta
2024-02-29
2
Maya●●●
mampir kak. udah aku tmbhkan ke fav ya. jangan lupa mmpir balik😊
2023-09-01
1
@Risa Virgo Always Beautiful
Likta kamu pasti syok karena hamil
2023-03-16
2