"Dokter apa yang terjadi dengan dia?" Reyhan bertanya pada dokter usai memeriksa Kirana.
"Istri anda pingsan karena dia terkena anemia," jawab Dokter sambil menurunkan stetoskop dari telinga ke lehernya.
"Anemia, Dokter?" Reyhan menatap Kirana dengan wajah menyesal.
Dokter ikut menatap wajah pucat Kirana. Lalu mengangguk. "Iya."
Reyhan duduk di dekat Kirana, menatap wajah pucat istrinya dengan rasa bersalah karena telah memaksa Kirana untuk transfusi darah.
"Tuan saya permisi," pamit Dokter.
"Ya, terimakasih Dokter." Reyhan mengangguk pelan, mengizinkan dokter untuk keluar.
Setelah kepergian dokter, lelaki itu kembali menatap Kirana dalam waktu yang lama, rasa bersalah masih bergelayut di hatinya.
Reyhan melihat ada gerakan pelan di tangan Kirana, lalu wanita itu membuka mata. Kirana terkejut ditangannya ada selang infus yang sudah menancap, matanya segera menelisik setiap sudut ruangan untuk memastikan kalau dia tidak salah tebak.
Pandangan Kirana semakin jelas, Kirana sekarang tahu ada dimana dirinya saat ini. Setelah yakin sedang ada di rumah sakit, Kirana langsung bangun dari tidurnya dan berteriak histeris.
"Kenapa kamu bawa aku kesini Rey?!" Kirana menatap Reyhan dengan tajam. "Jawab!" Cecar Kirana dengan suaranya meninggi beberapa oktaf.
Reyhan masih diam, tak langsung menjawab, dia sadar penyebab Kirana seperti ini adalah dirinya.
Kirana makin tak terkendali, dia melepas jarum infus di pergelangan tangannya.
"Kirana! Berhenti!" Reyhan mencoba menahan tapi Kirana tak mau mendengarkan.
"Kamu masih sakit, kamu harus bertahan dalam beberapa hari lagi!" Reyhan meminta Kirana untuk tenang demi kebaikannya, tapi Kirana tak mendengarkan suaminya. Reyhan tau Kirana memang memiliki fobia dengan semua yang berhubungan dengan alat rumah sakit, termasuk jarum infus dan jarum suntik semenjak masih kecil.
Tubuh Kirana bukannya malah membaik, kini wajahnya semakin pucat dan lemas.
"Kirana, kamu jangan takut, aku akan menjagamu," bujuk Reyhan agar tenang.
"Rey please aku mau pulang saja, bawa aku pulang." Kirana merengek dengan wajah memelas, bulir keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya.
Reyhan konsultasi dengan dokter terlebih dahulu, setelah dokter memberi izin dengan banyak syarat, Kirana akhirnya dibawa pulang kembali oleh Reyhan.
Reyhan mendorong kursi roda yang diduduki Kirana sampai pada keberadaan mobil mereka. Perawat membantu saja.
Setelah Kirana duduk dengan benar, Reyhan membantu memasang sabuk pengaman untuk Kirana. Tanpa sadar jarak mereka saat ini sangat dekat, Kirana bisa merasakan hembusan nafas hangat Reyhan menerpa wajah ayunya.
Reyhan dan Kirana saling menatap lama, suasana sejenak menjadi canggung. Akan tetapi setelah mengingat perlakuan Reyhan beberapa hari ini Kirana segera memalingkan wajah, menatap pemandangan yang ada di luar kaca.
'Kenapa dia tiba-tiba berubah, apakah dia telah amnesia, bukankah dia selama ini sangat membenciku,' batin Kirana.
"Kirana, masalah sebesar ini kenapa kamu pendam sendiri, harusnya kamu cerita ke aku. Aku pasti akan membantu," kata Reyhan saat mobil mereka melaju pelan menyusuri jalanan beraspal.
Kirana sesaat merasakan ada gelenyar hangat merayap di hati, mendengar penuturan Lelaki yang kini duduk disebelahnya itu, terdengar begitu manis, akan tetapi Kirana kembali teringat sikap Reyhan beberapa hari lalu.
Tiba di rumah, Reyhan segera turun lebih dulu, membuka pintu untuk Kirana, dan membopongnya masuk.
Sampai di ruang tamu Kirana meminta turun. Tidak mungkin meminta Reyhan menggendongnya hingga lantai atas. "Turunkan aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri."
"Sudah diam saja, pegangan yang kuat," pinta Reyhan.
Kirana menurut, dia mempererat pelukannya di tengkuk Reyhan. Tubuh Kirana berayun pelan saat Reyhan menggendongnya.
Reyhan merebahkan tubuh Kirana diatas ranjang, membenarkan kakinya yang bergelantung dan menarik selimut hingga menutupi perutnya, wanita itu merasa tersanjung oleh perlakuan lelaki yang dicintai.
"Beristirahatlah," ujar Reyhan sebelum pergi
Reyhan beranjak pergi. Kirana ingin menahan langkah Reyhan yang kian jauh. Kirana mengurungkan niatnya. Mungkin Reyhan lelah dan ingin segera tidur.
Tak lama Reyhan kembali dengan secangkir teh hangat dan bubur. Lelaki itu meletakkan di atas nakas.
"Aku buatkan teh hangat, dan bubur, buruan dimakan selagi hangat. Setelah itu jangan lupa minum pil penambah darah yang diberikan dokter."
"Terimakasih, Rey."
Kirana langsung memakan bubur buatan Reyhan, rasanya asin dan tehnya hambar, meski tak sesuai harapan, Kirana berusaha memakan hingga habis karena lelaki itu menyuapinya. Dia tak mau mengecewakan hati Reyhan yang sudah susah payah membuat makanan untuknya.
Reyhan duduk sambil menatap Kirana, dia tidak mau kalau wanita itu sampai melewatkan minum obat.
Usai makan Kirana duduk di pinggir ranjang dengan kaki menggantung. Sedangkan Reyhan duduk di sebuah kursi tepat di depan Kirana.
"Terimakasih, Rey sudah merawat ku." Kirana menggenggam jemari Reyhan dan meletakkan diatas paha, Pandangan mereka kembali bertemu.
Reyhan tak menjawab, lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Reyhan membalas dengan menggenggam lebih erat lagi tangan Kirana.
"Aku sebenarnya sudah menjadwalkan operasi kecil untukmu, jangan lupa persiapkan diri untuk besok," kata Reyhan.
Kirana segera menarik tangannya dari genggaman Reyhan. Firasatnya mendadak jadi buruk. Kirana takut operasi yang akan dijalani ini berhubungan dengan janin yang ada di kandungannya.
"Aku tidak mau Rey, aku tidak ingin melakukan operasi apapun, batalkan rencana kamu itu." Kirana menggelengkan kepala. Dia tidak bersedia melakukan operasi.
"Kirana, operasi ini demi kesehatan dan kebaikanmu. Janin itu harus diangkat, karena dia tidak akan berkembang."
Jedar!!
Bagai tersambar petir di siang bolong, Kirana tak percaya kalau Reyhan benar-benar akan menghilangkan janin di rahimnya, tidakkah ada sayang dan belas kasih sama sekali sebagai calon seorang ayah, bagaimana dia bisa merencanakan semua ini untuk calon anak pertamanya.
"Aku tidak mau! Tidak mau!" Kirana menolak apapun resikonya akan ditanggung sendiri. Kirana menjauhi Reyhan dan menangis tersedu di sudut ranjang.
"Kirana, percayalah, ini demi kebaikanmu," bujuk Reyhan.
"Resikonya terlalu besar jika kamu keras kepala," imbuhnya lagi.
"Apapun alasannya aku tidak mau, aku tahu kamu merencanakan semua ini karena tidak ingin melihat bayi ini lahir ke dunia. Sejak awal kamu tidak menginginkan kehadiran dia, karena hanya perpisahan yang kamu inginkan," ujar Kirana dalam isak tangis. Berulang kali berusaha menyeka air mata menggunakan tangannya dengan kasar.
Reyhan mendekati Kirana, ingin menenangkan hatinya. Wanita itu beringsut menjauh. Reyhan tahu Kirana sangat terpukul dengan apa yang dialami saat ini
"Kamu salah paham kirana, ini semua demi kebaikanmu. mempertahankan dia terus ada di perutku resikonya terlalu besar. Jika kamu mau, kapanpun kamu masih bisa hamil lagi, asalkan penyakit yang ada di tubuhmu diobati terlebih dulu. Kamu harus sembuh." Reyhan berusaha meyakinkan Kirana dan berkata dengan lemah lembut. Dipegangnya pundak sang istri.
Kirana menatap Reyhan, sambil tersenyum sinis. "Apakah hubungan ini masih memiliki masa depan?" cibir wanita yang hatinya tengah terluka itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Nay
fobia rumah sakit tdi kok bisa tranfusi darah,,,agak gimana gitu ceritanya
2025-01-23
0
Mantuges Lily Wahyuni
ikut menangis membaca cerita ini
2023-09-11
1
Dodi Sartini
ada harapan cinta❤😘
2023-05-21
0