Keesokan harinya, seperti kata Raka kemarin. Hari ini ia akan mengantar Bianca ke kampus, sekalian ia berangkat ke kantor.
Bianca awalnya menolak, tapi karena paksaan dengan dalih perintah suami akhirnya Bianca mau diantar oleh Raka.
Selama perjalanan Bianca sibuk dengan ponselnya, dan Raka sesekali menoleh ke arah sang istri, sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.
"Sayang, di garasi kan ada mobil. Kamu nggak mau bawa mobil sendiri ke kampus, daripada naik taksi online kan lama nunggunya." Ucap Raka mengusulkan.
Bianca menoleh, ia menatap wajah Raka sebentar lalu kembali mengetik sesuatu di ponsel pintarnya itu.
"Aku nggak bisa bawa mobil." Balas Bianca tanpa menatap Raka.
Raka terkekeh. "Saya juga nggak bisa bawa mobil, lagian ngapain bawa-bawa mobil." Ujar Raka bergurau.
Bianca menoleh sinis, ia mengangkat sudut bibirnya setelah mendengar ocehan Raka barusan.
"Candaan orang tua." Cibir Bianca.
Raka tertawa, ia tetap menatap lurus dan tidak menatap Bianca yang ia yakini saat ini tengah menatap horor kepadanya.
"Lho, ucapan saya ada yang salah? Mobil itu kan di setir, bukan kamu bawa-bawa." Timpal Raka dengan santai.
Bianca menghela nafas. "Terserah kamu deh, Mas. Aku males ladenin candaan bapak-bapak." Celetuk Bianca.
Raka memberanikan diri untuk memegang tangan Bianca yang menganggur, namun seperti biasa gadis itu akan menolaknya.
"Saya lama-lama bingung, tangan saya ini panas atau terlalu lembut ya? Makanya kamu selalu nolak saya pegang?" tanya Raka.
Bianca menyipitkan matanya, ia terdengar mendengus di akhiri dengan decakan kesal dari bibirnya.
"Lembut? Heh, tangan kamu itu lebih kasar dari batu. Tahu nggak?" tanya Bianca meledek sinis.
Pas sekali lampu merah sehingga Raka bisa menghentikan mobilnya.
Raka menoleh. "Benarkah, coba rasakan usapan tangan saya." Raka lalu mengusap wajah Bianca dengan kedua tangannya.
Bianca terdiam, ia menelan gumpalan salivanya dengan sedikit sulit. Jantungnya berdetak tidak karuan, yang menandakan bahwa ia gugup.
"Rasakan tangan saya, apa sekasar batu?" tanya Raka dengan pandangan yang menatap dalam mata istrinya.
Bianca makin gugup, ia semakin tidak bisa mengendalikan detak jantungnya saat melihat tatapan tajam dari mata Raka yang mempesona.
"M-mas, lampunya." Ucap Bianca menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang sudah hijau.
Raka tersenyum, ia lalu melajukan mobilnya kembali menuju kampus Bianca. Raka menahan tawa saat sadar bagaimana Bianca sedang mengusap-usap dadanya.
Sementara Bianca, ia berharap agar segera sampai di kampus karena ia tidak bisa berlama-lama dekat dengan pria dewasa yang menyebalkan ini.
Akhirnya setelah puluhan menit dilalui, Raka dan Bianca pun sampai di kampus. Bianca hendak langsung keluar, tapi Raka mencegahnya.
"Eh, cium tangan dulu biar pintar. Istri wajib cium tangan suaminya sebelum memulai sesuatu," kata Raka.
Bianca mendengus, ia mencium punggung tangan Raka dengan cepat lalu langsung keluar sebelum Raka kembali berucap.
"Sayang!!" Raka membuka kaca mobilnya dan memanggil Bianca sehingga menghentikan langkah gadis itu.
"Hati-hati ya." Ucap Raka lagi seraya mengedipkan sebelah matanya.
Bianca melotot, ia hendak mendekat guna memarahi laki-laki itu, namun Raka sudah melajukan mobilnya duluan.
"Nasib banget punya suami bapak-bapak, ngeselin." Ketus Bianca seraya berjalan masuk ke dalam kampusnya.
"Aca!!" Bianca menoleh saat mendengar suara teriakan seorang gadis yang sangat ia kenali.
"Kenapa lo lari-lari?" tanya Bianca mengerutkan keningnya.
"Ngejar lo, tadi gue ngeliat lo dianterin suami lo kan?" tanya Intan menggoda.
"Hmm." Jawab Bianca berdehem singkat.
"Gimana, enak kan nikah? Gimana rasanya uh ah?" tanya Intan penasaran.
Bianca memukul lengan bahu Intan, ia melotot kesal mendengar ucapan sahabatnya barusan.
"Mulut lo, jangan nanya aneh-aneh deh. Kalo penasaran, mending nikah." Bukannya menjawab, Bianca malah berucap sewot.
Intan tertawa, ia bahkan sampai memukul-mukul bahu sahabatnya karena terlalu lucu mendengar ucapan Bianca.
Bianca mendengus, ia mendorong tubuh sahabatnya pelan agar sedikit menjauh darinya. Saat Bianca ingin marah, ia tidak sengaja berpapasan dengan seseorang yang masih ada di hatinya.
"Aca." Sapa pria itu yang tidak lain adalah Reza.
Bianca menatap Reza dengan mata berkaca-kaca, biasanya Bianca akan berhamburan ke pelukan mantan kekasihnya itu, tapi sekarang tidak bisa.
"Hai, Za." Balas Bianca balik menyapa.
"Gimana kabar kamu, Ca? Kamu bahagia kan? tanya Reza.
Kepala Bianca mengangguk, ia sebisa mungkin memasang senyuman meski matanya berkaca-kaca.
"Aku baik, Za. Aku juga bahagia, dan kamu juga harus bahagia." Jawab Bianca.
Bianca pun menarik tangan Intan untuk pergi, kepala gadis itu tertunduk guna menyembunyikan air matanya yang mulai jatuh membasahi pipinya.
Intan tahu jika sahabatnya itu menangis, sebab selama ini dirinya lah yang menjadi saksi bagaimana manisnya hubungan antara Bianca dan Reza.
Intan juga mengetahui rencana mereka yang ingin menikah, namun semua terhalang oleh restu dan takdir.
Kini Bianca sudah menikah, urusan bahagia atau tidak, Intan tidak mau mencari tahu selama sahabatnya belum cerita.
"Tan, gue ke toilet dulu. Titip tas gue ya, nanti gue nyusul." Tutur Bianca seraya memberikan tas dan ponselnya kepada Intan.
Intan mengangguk. "Jangan lama-lama ya, Ca. Gue tunggu di kelas," balas Intan lalu melenggang pergi.
Bianca pun masuk ke dalam toilet, ia memilih bilik paling pojok untuk mengeluarkan rasa sedih nya saat ini.
Sakit sekali melihat Reza yang biasanya ia sapa dengan sebutan dan panggilan sayang, kini telah berubah. Reza adalah Reza, bukan kekasihnya lagi.
"Hiks … kenapa, kenapa Tuhan harus mengubah rencana yang aku buat. Hiks … aku sangat mencintainya, tapi kenapa bukan dia yang menjadi pasanganku, Tuhan." Ucap Bianca lirih.
Bianca menangis tergugu, ia tahu bahwa Reza juga pasti merasakan hal yang sama dengannya, namun sebisa mungkin pria itu menutupinya dengan senyuman.
"Maafin aku, Za. Aku juga nggak mau semua ini, tapi aku juga nggak sanggup untuk menolaknya." Ucap Bianca semakin lirih, nafasnya terdengar sesak karena tangisnya.
"Aku berdoa untuk kamu, Za. Semoga kamu bahagia selalu, lupakan bahwa kamu pernah memiliki kekasih tidak berdaya sepertiku." Tambah Bianca pelan.
Bianca pun mengeluarkan semua rasa sesak di dadanya, dan saat dirasa cukup, barulah Bianca keluar. Bianca mencuci mukanya sedikit, lalu mengeringkan nya dengan tisu.
"Tenanglah, Bia." Gumam Bianca seraya mengatur nafasnya.
Bianca pun keluar setelah merasa lebih baik, ia lalu masuk ke dalam kelasnya yang beruntung dosennya belum datang.
Bianca duduk di sebelah Intan yang menatapnya khawatir.
"Ca, you okay?" tanya Intan.
Kepala Bianca mengangguk. "Gue nggak apa-apa." Jawab Bianca.
Bianca akan mencoba untuk melupakan Reza, namun bukan berarti ia akan menerima Raka ataupun Kiano.
Setiap kali Bianca memikirkan Reza, rasa kesal dan marahnya bertambah terhadap Raka. Bianca menarik kesimpulan bahwa Raka adalah pelaku yang telah merenggut semua kebahagiaan dalam hubungan asmaranya dengan Reza.
MAAF YA NGGAK UP DARI KEMARIN 😌
Bersambung..........................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Ini lah alasan yg selalu di pake oleh pasangan PERJODOHAN,Di mana2 novel yg ku baca,Kata PASRAH dan TERPAKSA tapi tanpa perjuangan menurut ku itu B*l**i*,Saat di belai dan cium udah langsung meleleh aja,Mana yg katanya TERPAKSA..
2024-08-19
0
Ira Wati Ira
crita nya sic bianca hampir mirip di kehidupan ku...kita hanya berencana tapi takdir yg menentukan...sabar ya aca....💪
2023-10-18
0
Qaisaa Nazarudin
Untung cewek ya,punya kekasih di paksa nikah,bisanya cuman nangis,,Beda dgn cowok di jodohin saat punya kekasih,cowok nya pasti akan tetap meneruskan hubungan dgn pacarnya,malah fak segan2 juga tidur dgn pacarnya.,dan menyakiti istrinya dan bermesraan depan istrinya..
2023-06-18
1