Part 10

Jika umur pernikahan baru dua hari saja sudah membuat Loralei perlu melakukan perluasan sabar, lantas bagaimana jika itu terjadi bertahun-tahun? Sepertinya dia perlu mendapatkan reward manusia paling sabar di seluruh dunia.

“Boleh ku tanya sesuatu?” Loralei perlu mempertegas lamanya hubungan mereka. Jadi, dia harus mempersiapkan diri terbebas dari pernikahan tanpa cinta.

“Tidak.” Agathias berangsur menuju sofa, duduk di sana dan langsung menghidupkan televisi untuk menonton berita. Sudah seperti rumah sendiri saja.

“Ini penting, menyangkut kita berdua.” Loralei berjalan menghampiri dan duduk di samping bos galaknya. “Sebelum aku kelupaan.”

“Hm, katakan.” Agathias menjawab tanpa menatap, fokus pada layar berukuran lima puluh inch.

“Pernikahan kita akan berakhir sampai kapan? Pasti tidak mungkin selamanya, bukan? Secara aku juga ingin menjalin hubungan bersama pria yang ku cintai, dan pasti bukan kau.” Loralei menanti jawaban dari Agathias yang terkesan acuh dan tidak memperdulikan ocehannya. Atau bahkan tak mendengar apa yang ia katakan? Sebab, tak ada respon dari pria itu.

“Agathias?” Loralei mengoyangkan lengan bosnya supaya menatap ke arahnya.

“Hm?” Gumaman lagi yang dikeluarkan.

Menyebalkan sekali. “Kau mendengar pertanyaanku?”

“Iya.”

Benar-benar dilatih untuk mengusap dada terus kalau menghadapi bosnya yang satu itu. Sulit ditebak responnya, kadang marah, cuek, mengesalkan, dan lembut adalah sesuatu yang jarang diperlihatkan. “Lalu, kenapa tidak dijawab? Aku sudah menanti sejak tadi.”

“Jawaban apa yang kau inginkan?” Agathias justru membalikkan pertanyaan pada istrinya. Menengok sebentar dengan alis terangkat sebelah, lalu kembali ke layar ketika mendapati tatapan Loralei nampak lucu ketika kesal.

Loralei merebut remot, mematikan televisi begitu saja. Oke, dia harus berani karena ini di dalam apartemennya dan daerah kekuasaannya. “Jangan dibalas dengan bertanya, aku tahu kalau pada akhirnya argumenku tidak berguna.”

Agathias merubah posisi menjadi miring ke arah Loralei, menaikkan tangan kanan ke atas sandaran sofa. Keduanya terlibat saling tatap. “Oke. Jadi, pria mana yang kau cintai?”

“Kenapa jadi bertanya itu?”

“Katanya ingin menjalin hubungan bersama pria yang kau cintai. Lantas, ku tanya balik, siapa orangnya?” Agathias terus menatap Loralei, meski wanita itu telah memutus pandangan sejak mendengar pertanyaannya.

“Em ....” Loralei merotasikan mata sembari berpikir, mencari nama siapa yang akan ia berikan. Sepertinya memang kesalahan besar membawa pria sebagai alasan. Kenyataannya, dia tidak memiliki siapapun yang menempati hati.

“Kenapa lama sekali menjawab? Tidak ada pria yang kau cintai, kan?” Agathias mencengkeram pipi istrinya, tidak keras sehingga tak mungkin memberikan efek sakit. Dia menyunggingkan senyum mengejek.

“A—da.” Loralei masih menjawab walau dengan sedikit ragu.

“Siapa?” Agathias memaksa wanita itu untuk menatapnya saat berbicara.

“Ya pokoknya ada, siapa pun itu bukan urusanmu.” Loralei tidak mungkin menyeret deretan nama teman di kantor atau sekolahnya, dia tidak tahu segila apa bos yang telah menjelma menjadi suaminya itu.

Agathias menganggukkan kepala. Anggaplah dia percaya walau sebetulnya sama sekali tidak. “Baguslah, kenalkan padaku pria itu. Aku ingin tahu seberapa buruk seleramu sampai memiliki suami seperti aku pun tidak bisa bersyukur.” Dia mengusap bibir istrinya dengan menyeringai.

Loralei mengepalkan tangan. Dia sadar yang dihadapi adalah seorang bos. Pasti pandai menjawab dan membalikkan keadaan.

“Besok, suruh pria yang kau cintai itu datang menemuiku di kantor.” Agathias mengecup bibir Loralei yang masih mematung dengan tatapan kosong, dia lalu berdiri meninggalkan wanita itu yang pasti sekarang akan kebingungan.