Part 8

Loralei bangun paling awal. Dia masih membiasakan diri menerima kenyataan menjadi seorang istri. Tidur tidak sendiri lagi, ada yang menemani, hembusan napas hangat dan wangi dari pria itu juga menari-nari di sepanjang wajah. Semua terkesan dipaksakan.

Bagaimana bisa seorang bos besar begitu enteng menikahi bawahannya? Padahal jelas dari segi manapun kalah jauh status sosialnya. Loralei masih tidak habis pikir akan hal tersebut. Banyak wanita muda kaya raya yang sepadan di luar sana. Teman bisnis Agathias juga melimpah.

Namun, satu hal yang Loralei yakini bahwa bosnya tidak mungkin mencintainya. Agathias pasti memiliki niatan yang entah apa.

“Tentu saja, mana mungkin kalau memiliki perasaan tapi suka menindas seenak jidat. Pasti dia mengikatku hanya ingin membuatku semakin tertindas dimanapun keberadaannya.” Loralei berucap lirih setelah meyakini itu.

Dari sekian banyak alasan yang dipikirkan, itu yang paling masuk akal. “Buktinya, aku tidak ingin dipeluk atau memeluk pun semalaman dipaksa harus melakukan itu.” Loralei mencebikkan bibir. Berusaha pelan sekali berbicara agar tidak membuat Agathias terbangun. Gawat kalau ketahuan menggunjing pria itu, hidupnya pasti tak akan nyaman.

Loralei ingin turun dari ranjang, tapi dia harus menyingkirkan tangan bosnya yang semalaman penuh tidak terlepas darinya. Entah benar lelah atau hanya ingin membuatnya kesal dengan menindas menggunakan hal-hal yang tak diinginkan, ada diantara dua itu.

Tangan kekar yang bersemayam di pantatnya mulai disingkirkan perlahan. Betapa cabul pria itu, kondisi tidur saja sempat-sempatnya mencari lokasi yang empuk untuk digapai.

Napas lega Loralei mulai berhembus saat ia berhasil keluar dari jeratan Agathias. Dia segera menjauh sebelum gerakan tangan pria itu kembali ingin menggapainya.

Loralei berjinjit dan berlari menuju kamar mandi karena dia tak tahan sudah menahan buang air. Dan disaat itulah mata Agathias menatap punggung yang semakin menjauh, diiringi satu sudut bibir tertarik, entah apa artinya, yang pasti pria itu mendengar semua celotehan istrinya.

Agathias menanti Loralei keluar. Menyandarkan tubuh ke head board. Ketika mendengar ada suara pintu terbuka, ia langsung mengeluarkan sebuah perintah.

“Siapkan pakaian, aku mau mandi sekarang!” titah Agathias dengan suara menggelegar. “Ada di dalam tas itu!” tunjuknya kemudian.

Loralei sampai memegang dada karena terkejut. Ya seperti biasa, mana bisa manusia satu itu memerintah dengan halus. Mungkin pita suara akan rusak jika berubah lembut. Begitulah ejekan ia dalam hati.

“Kita sedang tidak di hutan, jangan teriak-teriak,” pinta Loralei sembari mengayunkan kaki untuk mencari barang bawaan bosnya.

Agathias turun dari ranjang, menampakkan sekujur tubuh yang kekar. Dia berjalan mendekati istrinya yang sedang mengangkat tasnya dan diletakkan ke atas meja.

“Oh, kita sedang berada di dalam kamar, berarti seharusnya yang dilakukan adalah ....” Agathias tiba-tiba memeluk Loralei dan kepala tepat berada di samping wajah wanita itu. “Aku tidak perlu melanjutkan yang dimaksud, kan? Kau pasti sudah tahu.” Ia menggingit kecil telinga istrinya semari tangan sudah menjalar hingga ke bagian tubuh atas.

Loralei lekas mengeluarkan pakaian dan menarik tangan suaminya. “Mandi, bukankah tadi mengatakan mau mandi?” Memaksa pria itu untuk memegang beberapa potong kain dengan merk yang mendunia.

Untuk keluar dari lingkar tangan kekar tersebut, Loralei sampai berjongkok dan menggeser kaki hingga ia berhasil menghindar. Sempat-sempatnya tersenyum mengejek ketika mendapatkan tatapan datar Agathias. “Sepertinya kita perlu membicarakan batasan penindasan. Ini apartemenku, seharusnya yang berkuasa di sini adalah aku.”