Part 7

Agathias baru kembali ke apartemen Loralei saat malam hari. Entah apa yang ia lakukan seharian ini sampai wajah tampak kusut. Namun, pakaian yang membalut tubuh telah ganti, tidak seperti saat pergi.

Pria itu bisa membuka pintu karena kemarin dia melihat saat Loralei memencet nomor pin. Jadi, tak apalah mengintip milik istri sendiri.

Suasana telah sepi, ternyata pukul dua belas malam saat melihat jam di layar ponsel. Agathias lekas masuk ke dalam kamar, memastikan istrinya ada di dalam atau tidak.

Ternyata Loralei sudah lelap di bawah selimut. Wanita itu bagaikan mendapatkan hari paling beruntung karena seharian penuh tidak mendapatkan teror telepon dari bosnya.

Agathias tidak mengganggu. Dia meletakkan tas ransel berisi beberapa pakaian untuk tidur malam ini dan ganti besok, tidak membawa banyak karena tak berencana tinggal di apartemen Loralei dalam kurun waktu lama.

Menyempatkan untuk mandi sebentar karena seharian ini beraktivitas di luar. Setelah berganti pakaian santai, Agathias menghampiri ranjang dan langsung masuk begitu saja ke bawah selimut yang sama dengan istri. Menempatkan diri tepat di balik punggung wanita itu, memeluk dengan jarak mereka yang tidak ada alias sangat mendempel.

Agathias hanya berniat ikut istirahat saja, tidak ada maksud untuk mengusik tidur Loralei. Namun, wanita itu jelas langsung mengerjapkan mata karena ia terbiasa siaga dua puluh empat jam. Jadi, jika merasakan ada pergerakan saat terlelap, pasti langsung bangun.

Loralei bisa merasakan ada tangan yang menyusup masuk ke balik kaosnya. “Tuan, bisa kondisikan tangan Anda? Tolong jangan pegang-pegang aset saya.” Dia menepuk sesuatu yang terasa kekar, hangat, dan gerakan jari sangat lembut.

“Memangnya kenapa? Aku ini suamimu.” Agathias tidak menghentikan aksi jemarinya. Lagi pula hanya mengusap saja sebagai penghantar tidur.

Loralei mencebikkan bibir. Lagi-lagi diingatkan tentang status. Ia menggerutu dalam hati. “Geli, biarkan saya tidur nyenyak untuk malam ini,” pintanya secara baik-baik.

Loralei adalah jenis wanita yang tidak bisa marah hingga otot-otot di leher timbul. Dia lebih baik mengalah dibandingkan adu emosi. Semua disebabkan karena jiwa penurut dan terlalu sering disuruh membuatnya menjadi pribadi seperti itu.

“Jika di luar kantor, aku suamimu, tidak perlu formal.” Agathias menghentikan pergerakan jemarinya. Akan tetapi, ia membalikkan tubuh Loralei hingga menghadap ke arahnya walau dua kelopak matanya sedang terpejam, namun bisa merasakan kalau kepala wanita itu tepat berada di leher hingga dadanya. “Aku tak berniat mengganggu, aku lelah ingin tidur.”

Loralei justru merasa aneh jika suaminya—ralat, bos galaknya tidak marah-marah. Seperti melihat sosok yang asing.

Wanita itu tak membalas pelukan, hanya Agathias yang mendekapnya, lebih tepatnya memaksa Loralei masuk ke dalam hangatnya tubuh pria itu. Posisi telinga yang amat dekat dengan jantung sampai bisa mendengarkan debaran yang berirama tidak sama dengannya.

“Kau baik-baik saja? Apakah baru pulang olahraga?” tanya Loralei. Oke, itu bukan perhatian seorang istri pada suaminya. Tapi, begitulah kebiasaannya ketika menjadi sekretaris juga dituntut untuk peduli terhadap bosnya yang galak. Jadi, sudah kebiasaan.

“Sudah, tidur saja, tidak perlu banyak bertanya jika kau tak mau berakhir telanjang.” Agathias menarik tangan istrinya supaya melingkar di tubuhnya juga.

Loralei merotasikan bola mata. Begitulah bosnya, pemaksa. Dia tidak berniat berpelukan, tapi berakhir seperti itu juga. Mau sampai kapan menjadi istrinya terus? Pertanyaan itu lewat dalam hati. Nampaknya memang perlu dipertanyakan terkait hal tersebut.