Part 6

Annora berhenti bicara saat melihat ada hal aneh dari tubuh kembarannya. Mata sampai membulat dan berpindah duduk menjadi lebih dekat dengan Agathias. Ia mendekatkan kepala, mengamati dan menyentuh leher pria itu.

“What the hell! Kau meniduri sekretarismu juga?” tanya Annora. Wajahnya sampai seperti seseorang yang lelah melihat kelakuan saudaranya. “Gila! Benar-benar tidak waras.” Ia menghela napas merasa kasian pada Loralei yang menjadi korban Agathias.

“Biasa saja, lagi pula dia istriku, wajar kalau aku melakukan hal itu dengannya.” Agathias tetap menunjukkan kesan santai. Menarik segelas minuman dingin milik Annora dan menyeruput tanpa perizinan.

Annoa menarik telinga kembarannya sampai mengaduh. “Seharusnya kau tidak terpancing omongan wanita itu, keputusanmu terlalu impulsif!” Pertemuan kali ini hanya berisi omelannya. Sebab, tidak terima dengan jalan yang dipilih oleh Agathias setelah beberapa hari lalu ada sebuah kejadian yang sepertinya sampai menyinggung pria itu.

Pria itu berusaha melepaskan diri. Agathias berpindah duduk supaya tidak berada di samping Annora, bisa lepas telinganya kalau dijewer terus. “Kenapa kau yang pusing? Loralei saja tidak protes ku jadikan istri.”

What? Tidak protes? Tentu saja karena perintah Agathias adalah harus dipenuhi. Juga Loralei yang memiliki kebiasaan menurut, jadilah tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan penolakan.

“Dia takut denganmu, kau suka seenak jidat jika memberikan perintah. Bagaimana mau protes jika kau saja tidak pernah memberi kesempatan.”

“Kau itu saudaraku, bukannya berpihak padaku, justru memikirkan hidup orang lain.” Agathias mengambil sumpit dan menarik sebuah sushi pesanan Annora.

Membuat wanita itu kesal karena Agathias santai sekali. Ia menarik piring yang hidangannya tengah dinikmati sang kembaran. “Tentu saja aku yang tak terima. Loralei seorang wanita, bagaimana kalau dia tahu alasanmu menikahinya? Hancur pasti, bagai dijadikan permainan saja.”

“Ya jangan sampai dia tahu.” Agathias duduk dengan kedua tangan terlipat di dada. Pembawaannya yang tenang sementara wanita di hadapannya terus emosi, membuat suasana justru bagaikan air dan api yang tengah dipersatukan.

“Hih ...!” Annora mengepalkan, rasanya ingin sekali menonjok wajah tampan tersebut.

“Kenapa kau sangat emosi?”

“Kau menyebalkan!” Annora cemberut, dia selalu menjadi saudara yang paling kesal jika kembarannya berbuat tak baik. Tapi dengan cara mengomel seperti sekarang. Walau pada akhirnya tetap saja tak akan ada yang berubah dari Agathias karena tak mempan mau dinasehati bagaimanapun caranya. “Sekali saja jangan membuatku marah, bisa tidak? Diskusi dahulu, kau punya keluarga.”

“Aku itu sudah besar, tahu yang akan ku jalani sendiri,” sanggah Agathias.

“Mommy dan Daddy pasti juga kesal kalau tahu kenapa kau menikahi Loralei.”

“Kau memberi tahu mereka?”

“Tidaklah, gila ... mereka cukup senang saat hari pernikahanmu, lalu ku hancurkan dengan mengungkapkan kebenaran di balik itu?” Annora bergeleng, meski kesal tapi tidak sebodoh itu juga.

“Bagus, cukup diam, tutup mulutmu, dan pasti tidak akan ada yang tersakiti.” Dirasa obrolan dengan kembarannya akan berputar pada hal yang sama terus, Agathias pun berdiri. “Kau sudah bayar tagihan makanmu?”

“Belum.”

“Kalau begitu, aku yang bayar.” Agathias siap untuk pergi meninggalkan Annora.

Sepasang mata dengan bulu lentik tersebut menatap punggung pria yang terus bergerak mendekati pintu. “Jangan mempermainkan Loralei, Ga. Kasian bebannya sudah berat, tidak perlu ditambah dengan masalahmu.”