Di tempat lain.
Zara saat ini tengah diceramahi kedua orang tuanya. Masalah yang dihadapinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Chandra, yaitu paksaan pernikahan.
"Please, Bun. Aku belum siap," rengeknya memelas.
"Apanya yang belum siap?" Suara sang ayah menginterupsi. "Zara, dengarkan ucapan Ayah! Kamu itu anak gadis kami satu-satunya. Kami tidak mau terjadi sesuatu sama kamu, Nak. Tolong mengertilah perasaan kami," ujar sang ayah menekankan.
"Iya, sayang. Para pemuda itu hanya ingin mempermainkan kamu saja. Mereka ingin memanfaatkan keluguan kamu, sayang. Jadi tolong, turuti permintaan Ayah sama Bunda!" timpal sang ibu.
Zara mendengus kesal. "Itu bukan permintaan, Bunda. Itu namanya paksaan,"
Kedua orang tuanya menghela napas panjang, lalu kembali berkata. "Baiklah! Anggap itu sebuah paksaan untuk kamu menikah agar kami segera menimang cucu," pungkas keduanya membuat Zara membelalakkan mata.
"Apa? Cucu? Astaga, Ayah, Bunda!!" erang Zara frustasi. "Usiaku masih dua puluh tiga tahun dan kalian sudah menginginkan cucu. Aku masih terlalu muda untuk melahirkan, dan lagi aku ingin bebas mengejar karier dulu. Tolong mengertilah!" rengeknya memohon.
Kedua orang tuanya serempak menggelengkan kepala. "Tidak ... Tidak ... Tidak! Pokoknya kamu harus segera menikah sebelum terjadi sesuatu. Bila perlu, Ayah akan menjodohkan kamu dengan putra teman Ayah." putusnya kemudian.
Zara membrengut kesal sebab cara membujuknya tidak berhasil. Ia pun melangkahkan kaki ke kamar dengan lesu. "Terserah!" cicitnya pasrah.
Orang tuanya terus memanggil namun gadis itu tidak menghiraukan. "Zara ... Zara! Haish, gadis nakal itu!"
Zara menutup pintu kamar rapat-rapat, kemudian menghempaskan tubuh ke ranjang empuk miliknya. Wajahnya tenggelam di bantal dengan tangan dan kaki yang di hentakan. "Ih, kesel ... kesel ... kesel. Kenapa Ayah dan Bunda nggak mau ngerti sih,"
Wanita itu beranjak duduk untuk memikirkan jalan keluar dari masalah ini. Tangannya yang lihai segera membuka gadget untuk mencari aplikasi pemesanan tiket pesawat. Setelah ketemu, ia pun mengklik pemesanan tiket ke luar negri.
Zara berniat kabur agar terhindar dari paksaan kedua orang tuanya yang berniat menjodohkan dirinya jika tidak mau segera menikah.
Setelah menyelesaikan semuanya, bibirnya melengkungkan senyuman indah. Ia membayangkan saat-saat dirinya berada di luar negri sampai ayah dan ibunya lupa perihal perjodohan itu.
"Lama-lama juga bakal lupa. Aah, kamu pintar sekali Zara!" desisnya memuji diri sendiri.
Tubuhnya kembali direbahkan di kasur empuk dengan wajah berbinar karena berhasil menyelesaikan masalah yang menimpanya. Senyumnya tidak pernah luntur walaupun netra hazel itu menutup rapat.
•
Menjelang pagi, kedua orang tua Chandra maupun Zara dikejutkan dengan hilangnya putra-putri mereka.
Hanya sepucuk surat yang ditinggalkan mereka untuk orang tua masing-masing.
"Maafkan aku karena tidak bisa memenuhi permintaan kalian, Mam, Pap! Aku hanya ingin kalian mempercayakan semua ini kepadaku. Restui aku untuk menentukan jalan hidupku sendiri,"
Surat dari Chandra dibaca oleh sang adik di hadapan kedua orang tuanya yang termenung menatap foto berbingkai di kamar pria tersebut.
"Kurang ajar! Dasar anak pembangkang," Andra menggebrak meja dengan keras. Amarahnya meledak bagaikan bom yang baru saja dilemparkan.
Sandra berusaha menenangkan suaminya. "Sabar, Pap. Kita berikan dia waktu sebentar saja untuk memikirkan hal ini. Mama yakin dia akan segera pulang. Iya 'kan, Ken!"
Kendra mengangguk. "Benar kata Mama, Pap. Kita berikan sedikit waktu buat Kakak memikirkannya. Kalo dia nggak kembali dalam waktu setahun, baru Papa bertindak." tutur si bungsu.
"Setahun? Hah, seminggu pun Papa bakal nyari dia. Chandra harus mengikuti semua yang kita hendaki. Bisa-bisanya anak itu kabur begitu saja,"
Istri dan putra bungsunya hanya diam tanpa berkata apapun lagi sebab mereka tahu bagaimana tempramen Andra.
Di tempat lain pun sama. Kedua orang tua Zara tengah membaca surat yang ditinggalkan putri semata wayang mereka itu.
"Maafkan aku, Ayah, Bunda! Aku harus mengambil keputusan ini sebab kalian tidak memberiku pilihan. Aku akan kembali setelah mendapatkan calon pendamping yang sesuai dengan kriteria Ayah dan Bunda. Sampai jumpa lima tahun lagi. Jaga diri kalian! Aku sayang kalian,"
Surat tersebut dibaca Zeni lirih dengan mata berkaca-kaca.
"Dia kabur dari rumah? Hah, bisa-bisanya anak itu memikirkan cara ini," desis Zery sembari menggelengkan kepala.
"Lalu, kita harus apa, Yah? Dia hanya seorang gadis kecil. Bagaimana bisa dia hidup di luar sana seorang diri?" Zeni terlihat khawatir akan keadaan putrinya. "Kita terlalu memaksanya," sesalnya kemudian.
Zery pun menenangkan sang istri dengan mengusap bahunya lembut. "Tenangkan dirimu, Bun. Zara kita pasti baik-baik aja. Ayah yakin dia bakal kembali setelah uangnya habis,"
Keduanya pun saling mengangguk lalu berpelukan sebagai bentuk saling menenangkan dan menguatkan. "Semoga saja tidak terjadi sesuatu kepada Zara," batin keduanya.
•
•
Chandra memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Dirinya sangat kebingungan menghadapi situasi seperti ini.
"Bagaimana Tuan? Apa Anda akan menemui Nona Angelina dulu?" tanya Juna sedikit berbisik seraya melirik pintu kamar mandi.
Chandra membuka mata lalu melirik ke arah pintu kamar mandi yang perlahan terbuka menampakan Zara yang baru saja keluar dari sana.
"Ya, aku akan menemuinya kapan-kapan. Tapi sebelumnya, ada hal penting yang harus ku urus. Sekarang aku harus ke kantor dulu untuk membereskan pekerjaan," sahutnya sembari beranjak dari sofa. "Kamu istirahat saja di rumah. Aku akan pergi sebentar," ucapnya kepada Zara.
Zara mengangguk kecil sambil menjawab, "Iya,"
Chandra dan Juna segera pergi meninggalkan Zara seorang diri yang termenung menatap kepergiannya dengan tatapan datar seolah tak peduli.
Terdengar hembusan napas lega dari mulut Zara seiring gerakan mengelus dada. Mungkin dirinya masih canggung jika terus berhadapan dengan Chandra, apalagi tinggal dalam satu ruangan.
"Huh, untung mereka pergi," batinnya girang.
Selepas kepergian Chandra dan Juna ke kantor, Zara memilih bersantai menikmati waktu istirahat sebelum dirinya disibukan pekerjaan nanti.
Pekerjaan Zara pastinya menumpuk saat ini, sebab sudah lebih dari seminggu ia tinggalkan.
Gara-gara nikah dadakan bersama Chandra, Zara harus meninggalkan pekerjaan yang sedang digarapnya. Model pakaian edisi khusus yang dipesan oleh salah satu pelanggannya harus tertunda lantaran pernikahannya.
"Haish, pola-pola ini harus selesai dalam waktu dua hari sebelum mereka kembali menghubungiku!"
Tangan Zara bergerak di atas kertas tebal, mencoret dan mengukur sesuai perhitungan tepat. Matanya harus jeli memperhatikan setiap pola yang sudah dihitungnya lebih dulu.
"Ah, akhirnya kelar juga." desisnya lirih.
Setelah seharian di kamar, ia pun sangat bosan. Mungkin dengan berkeliling bisa mengembalikan mood sekaligus menghapal letak seluruh ruangan yang ada di rumah besar ini, pikirnya.
Langkah kakinya terhenti ketika melewati dapur. Di sana para pelayan sedang bergosip membicarakan dirinya yang bisa berakhir di tempat tuannya ini.
"Beruntungnya Nona Zara bisa menikah dengan Tuan ya," cetus salah satu pelayan yang bernama Mirna.
"Cih. Aku tak percaya jika mereka saling mencintai. Mungkin saja pernikahan mereka palsu," timpal Sri.
"Hush. Jangan ngomong sembarangan! Kalau ada cicak putih yang mendengar, habislah kamu!" ujar Leni.
Sri kembali berucap. "Apa selama ini kalian melihat kalau Tuan berhubungan dengan seorang wanita?" semua orang menggeleng atas pertanyaan Sri. "Nah, itu maksudku. Mungkin saja demi memenuhi keinginan Nyonya besar, Tuan Muda terpaksa mencari wanita yang mau dibayar untuk menjadi istrinya." tutur Sri kemudian.
Semua orang terdiam memikirkan perkataan Sri barusan sebelum berkomentar lagi. "Kita 'kan tidak tahu jika Tuan memiliki kekasih di luar sana! Memangnya Tuan mesti laporan kepada kita kalau sudah memiliki kekasih?"
"Sudah ... sudah, jangan bergosip terus! Biarkan urusan Tuan menjadi urusannya. Kita sebagai pelayan bertugas melayani majikan kita, baik itu Tuan maupun Nona. Kalian mengerti?!" pungkas Mbok Sumi, kepala pelayan rumah ini.
Mereka pun terdiam dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang mengangguk, ada juga yang berdecih sebal serta merutuki Zara.
Ah, luar biasa pokoknya para pelayan itu.
Zara sengaja berdehem sebelum masuk ke dapur agar mereka tersadar jika dirinya datang. "Hai, apa aku mengganggu pekerjaan kalian?" tanya Zara pura-pura santai.
Para pelayan gelagapan seperti maling yang ketahuan. Mereka saling pandang_takut jika pembicaraan tadi didengar oleh Zara. Tapi, Zara menangkap gelagat mereka yang terlihat ketakutan.
Dengan berpura-pura tak tahu, Zara bisa menilai sifat-sifat mereka dari sikap yang ditunjukan. "Aku bosan di kamar terus," keluhnya dengan meyakinkan, membuat para pelayan tak curiga dan mengira jika Zara benar-benar baru saja turun.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
keren 😍
2023-02-08
0
TK
ikut event wanita kuat bertransmigrasi kayak Yoona
2023-01-18
1
Be___Mei
Jan sampe aku juga kebawa curiga nih ye 🤭
2023-01-14
0