5. Terusir

Eve turun dari mobil Sabrina lalu melangkah sendiri memasuki bangunan di mana unit apartemennya berada. Sabrina hendak ikut turun, tentu ia khawatir dengan wanita yang sudah seperti saudaranya itu.

"Aku lagi pengen sendiri, Bri. Thanks ya," tolak Eve beberapa detik lalu.

Tidak ada lagi air mata di wajah itu. Namun tatapan Eve tetaplah kosong. Eve lelah menangis, meski tak dipungkiri kini hidupnya telah hancur dengan sempurna.

Lift mengantar Eve naik ke lantai lima. Tangannya sudah merogoh clutch untuk mencari kunci pintu apartmen. Tak disangka seseorang telah menunggunya, remaja cantik dengan hoodie pink dan ponsel di tangan.

"Wina?" sapa Eve, belum menyadari jika pintu unitnya telah terbuka.

Tidak sempat Wina menjawab, Bu Ratih muncul dari dalam. Memberikan tatapan sinis yang sebenarnya telah sering Eve terima.

"Oh, sudah datang? Bagus."

"Ada apa ini, Bu?" Eve bertanya dengan raut tak mengerti. Jujur ia senang dua orang itu datang mengunjunginya tetapi tampaknya Bu Ratih datang bukan untuk hal baik.

"Jangan memanggilku ibu mulai sekarang. Kau itu anak tidak tahu diuntung. Apa kau tahu usaha suamiku semakin merosot dalam beberapa hari karena video mesum itu? Tak disangka kami membesarkan anak tidak punya malu!"

Eve menerima semua tuduhan menyakitkan itu tanpa menjawab. Karena ia sendiri tak tahu pasti apa yang terjadi, ditambah janin tidak berdosa yang kini tumbuh di perutnya.

"Bu, udah jangan marah-marah terus. Kasihan Kak Eve," cicit Wina sembari menarik lengan sang ibu.

"Diam kamu! Dia bukan kakak kandungmu, jadi tidak perlu membelanya!" Hardikan itu untuk Wina.

"Sebaiknya kita bicara di dalam. Ayo, Bu, Wina," ajak Eve. Ia masih memberikan senyum walau hatinya sakit tak terperi. Delapan belas tahun sejak ia tinggal bersama Pak Bagus dan Bu Ratih, ternyata wanita itu tak pernah menganggapnya sebagai anak.

"Siapa kau, berani-beraninya mengajak kami masuk. Kau tidak berhak atas apartemen ini," tegas Bu Ratih. Dan kali ini Eve tidak diam.

"Tapi Eve membeli apartemen ini dengan uang Eve sendiri. Ayah pun tahu."

"Kau membeli ini dari hasil restoran fast food, 'kan? Apa kau lupa kau meminjam uang suamiku sewaktu merintis usaha itu? Jadi baik restoran ataupun apartemen ini, kau tidak punya hak." Bu Ratih berkata dengan sikap angkuh. Dagunya terangkat disertai kilatan kejam pada kedua manik matanya.

"Eve sudah membayar hutang pada ayah beserta bunganya. Ibu tunggu sebentar, Eve akan menelepon ayah sekarang juga." Wanita muda itu mencari ponsel yang ternyata tertinggal di dalam kamarnya.

"Tidak perlu repot. Ini, aku telah mengemasi semua pakaianmu. Pergi dari hadapanku dan jangan pernah menampakkan wajah di hadapan kami lagi!" Bu Ratih menggeser koper pink dove berukuran sedang dengan kasar menggunakan kaki.

"Bu, Eve mau tinggal di mana setelah ini," ucap Eve memelas. Bukan untuk dirinya, melainkan calon bayinya.

"Bukan urusanku. Cepat pergi! Melihatmu membuatku jijik!" Tangan Bu Ratih langsung mendorong Eve yang hendak mendekat.

Tak menyangka akan mendapat serangan, Eve tak mampu menyeimbangkan langkah. Wanita dengan setelan abu tua itu pun jatuh terduduk. Setelahnya, Eve mengernyit karena merasakan sakit pada perutnya.

Bukannya merasa kasihan, Bu Ratih justru memberi senyum puas. Sebelum pergi, wanita lima puluh tahun itu sempat mengeluarkan ancaman.

"Ingat, jika kau masih memaksa tinggal di apartemen ini, aku akan melaporkanmu pada polisi dengan pasal memasuki properti orang lain tanpa ijin!"

**

Pagi yang sama di kantor pusat Malvis Group.

Sebuah langkah terayun usai memberi ketukan pada pintu ruangan direktur utama. Wanita yang merupakan sekretaris itu tak lupa memberikan senyum menggoda pada atasan.

"Pak, ini file untuk meeting pukul sembilan nanti," ujar Mawar, wanita dengan blouse ungu dan rok hitam saat menyerahkan map biru.

"Ya, letakkan saja di situ dan cepat kemari," respon Arsen yang langsung menghentikan aktifitasnya memeriksa laporan.

Tangan kekar pria itu merangkul pinggang ramping si sekretaris begitu jarak mereka cukup dekat. Memaksa Mawar untuk duduk di pangkuan. Mawar yang sejak awal menyukai putra pemilik perusahaan itu menurut saja.

"Pak, bagaimana jika ada yang melihat?" protes Mawar ketika tangan Arsen mulai bergerilya dengan aktif.

"Salahmu tidak mengunci pintu saat masuk." Arsen tidak peduli pada protes Mawar selanjutnya. Karena ia tahu wanita itu sesungguhnya juga menginginkan sentuhannya.

Namun siapa sangka jika beberapa detik kemudian, Tuan Thomas mendadak muncul di ruangan sang putra. Mawar seketika kelabakan, bangkit dan merapikan bawahan yang nyaris tersingkap.

"S-saya permisi, Pak," pamitnya undur diri dengan suara lirih dan gemetar.

Bagaimana dengan Arsen? Seperti biasa, ia akan tenang. Seakan yang ia lakukan adalah hal wajar. Bahkan pria itu menyapa sang ayah dengan senyum tersungging.

"Selamat pagi, Ayah. Tumben datang pagi-pagi sekali," ucapnya ringan. Tangannya kembali berkutat dengan tablet berukuran sepuluh inci.

"Kau tidak malu dengan tingkahmu sendiri? Kau kira ini club tempatmu bermain setiap malam?" Tuan Thomas geleng-geleng kepala, nyaris putus asa menghadapi putra pertama yang semakin liar.

"Ayah, berhenti mengomel. Lebih baik kita menikmati kopi. Aku tahu coffeshop terbaik di dekat sini, bagaimana?" tawar pria muda itu tanpa merasa berdosa.

Tuan Thomas mendengus lalu duduk di sofa berwarna abu tua. Arsen akhirnya mengalah, mengikuti kemauan sang ayah yang sepertinya ingin membahas sesuatu.

"Ada sesuatu yang terjadi?" Nada Arsen kini lebih serius.

"Ya. Perusahaan sedang dalam situasi genting dan kau pasti tahu apa penyebabnya." Tuan Thomas menyandarkan punggung, wajah dengan sedikit kerutan itu terlihat lelah.

"Kita bisa mencari donatur lain. Lagi pula, andai Ayah tahu jika pembatalan pernikahan itu adalah keinginan dari putri Tuan Wills sendiri," ungkap Arsen yang membuat sang ayah menoleh.

"Apa maksudmu?" Tuan Thomas menatap Arsen dengan lurus.

"Lain kali saja kita membahasnya, yang penting aku sudah memberi pelajaran pada orang yang bertanggungjawab atas itu semua. Oh ya, aku punya kabar bagus untuk Ayah," tambah Arsen. Sorot matanya melukiskan rasa senang.

"Katakan saja." Berbeda dengan Arsen, wajah Tuan Thomas tidak bersemangat.

"Tuan Tanaka menawarkan mega proyek senilai lima trilyun. Lihat, setidaknya aku masih bisa meng-handle pekerjaan." Arsen berujar penuh percaya diri. Tuan Thomas yang semula murung kini bisa tersenyum.

"Hm, kau memang cukup bisa diandalkan di kantor. Tapi jangan senang dulu," pungkas Tuan Thomas seraya beranjak. Pria paruh baya itu berjalan menuju jendela besar.

"Ayah mau bermain teka-teki lagi?" canda Arsen yang tak mendapat respon.

"Ayah tahu targetmu adalah kursi presdir. Tapi aku tak bisa memberikannya jika kau belum memenuhi semua syarat. Salah satunya adalah menikah."

Kini giliran Arsen yang kehilangan semangat. Lagi-lagi ayahnya membahas sesuatu yang ia hindari. Pernikahan.

"Ganti saja syarat itu. Ayah 'kan pemilik perusahaan setelah kakek meninggal. Apa susahnya?" Arsen berdiri di samping pria itu, menatap langit pagi yang cerah.

"Bukan aku yang berwenang membuat atau mengubah aturan keluarga ini. Peraturan tetaplah peraturan, Arsen. Suka tidak suka kau harus mengikutinya. Berikan keluarga ini pewaris, dan kau akan mendapatkan posisi tertinggi di perusahaan," terang Tuan Thomas.

Arsen mencebik begitu Tuan Thomas akhirnya menghilang dari pandangan. Ia kesal setengah mati tapi sadar betul jika kata-kata sang ayah tak bisa diganggu gugat.

'Haruskah aku meminta salah satu lacur itu berpura-pura menjadi calon istriku? Tidak, tidak, ayah tidak akan mengampuniku jika aku berulah lagi.' Arsen menggeleng kecil sambil bermonolog dalam hati.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!