4. Hamil

Saat Eve terbangun, ia telah berada di rumah sakit. Ruangan serba putih, infus yang menancap pada salah satu pergelangan tangan dan dress indahnya telah berganti pakaian khas pasien. Walau kepalanya masih terasa berat, ia berusaha untuk duduk.

Cklek.

Pintu kamar terbuka, menampilkan Sabrina dan Jenna dengan raut penuh simpati. Semula Eve mengira yang terjadi adalah mimpi. Ya, andai saja seperti itu. Namun nyatanya acara di hotel megah bisa dikatakan telah kacau.

"Sabar ya, Eve," tutur Sabrina. Sedangkan Jenna duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut punggung sahabatnya tersebut.

"Apa yang kalian bicarakan? Di mana Nando? Ayo bantu aku, pasti Nando masih nunggu aku di kursi pelaminan, 'kan?" Eve berusaha tersenyum.

Sabrina dan Jenna tersenyum miris. Mereka paham betul jika Eve telah lama menginginkan pernikahan ini. Dan tidak ada yang mengira jika akan berakhir dengan cara paling buruk.

Dua wanita itu saling berkomunikasi melalui pandangan mata. Mereka tidak tega menceritakan apa yang terjadi setelah Eve kehilangan kesadaran beberapa jam lalu.

"Di mana Nando sekarang?" Suara Eve bergetar. Di titik ini, semua ingatan tentang rekaman video itu berputar jelas dalam otaknya.

"Nando ada kok, tapi dokter minta kamu untuk istirahat dulu." Sabrina mencoba menenangkan Eve yang tampak gelisah.

"Di mana dia? Aku harus ketemu Nando. Dia pasti udah salah paham. Lepasin, Bri, Jen, aku mau ketemu Nando ...." Air mata Eve luruh. Ia memaksa turun dari ranjang tak peduli pada kondisi tubuhnya yang masih ringkih.

Dua sahabatnya tetap menahan. Mereka tak ingin Eve bertemu Nando untuk sementara waktu. Namun tak disangka pria itu justru muncul. Lengkap dengan tatapan dingin yang tak pernah Eve lihat sebelumnya.

"N-nando," ucap Eve terbata di tengah isakan.

"Aku ingin bicara dengan Eve. Bisa tinggalkan kami berdua?" Kata-kata itu Nando tujukan pada Sabrina dan Jenna meski pandangannya tak lepas dari wajah pucat Eve.

Sabrina menepuk pundak Eve lalu beranjak keluar dari kamar inap tempat Eve dirawat disusul Jenna. Setelahnya, Nando menutup pintu. Seakan tak ingin ada orang lain yang mencuri dengar percakapan mereka.

"Nando, aku gak tahu siapa yang-"

"Hentikan, Eve," potong pria tampan dengan kemeja lipat siku berwarna navy itu. "Kali ini biarkan aku yang bicara lebih dulu."

Eve mengangguk dan diam-diam mengusap air mata yang enggan surut dari netra cantiknya. Selama beberapa detik Nando diam. Detik-detik yang terasa sangat menyiksa bagi keduanya.

"Eve, kamu tahu jika aku telah jatuh cinta sejak pertama kali kita bertemu?" tanya Nando yang lagi-lagi dijawab anggukan oleh Eve. Pria telah mengatakan hal yang sama lebih dari sepuluh kali sejak mereka dekat.

Angan Eve melayang pada pertemuan pertama mereka, tepatnya dua tahun lalu. Nando yang tergesa tak membawa uang cash saat akan membeli cake untuk ulang tahun ibunya. Eve yang menggantikan temannya sementara waktu mengelola toko tersebut mengijinkan Nando membayar nanti.

Satu jam kemudian Nando menepati janji untuk datang, membayar velvet cake dengan topping buah yang cantik. Dan esoknya mereka secara tak sengaja bertemu kembali ketika Eve memberi makan kucing liar di taman.

Hari itu mereka berkenalan, saling bertukar kontak, dan mengobrol. Takdir mereka seolah indah, tidak ada pertengkaran yang hebat selama mereka dekat hingga menuju pelaminan. Nando juga berhasil menjaga Eve. Skinship yang mereka lakukan sebatas menggenggam tangan dan mengusap pucuk kepala.

"Aku siap memberikan segalanya untukmu. Bahkan aku siap melawan mama asal pernikahan kita mendapat restu. Tapi sepertinya itu semua belum cukup." Tangan Nando terkepal. Netranya basah. Gelombang emosi dalam batin siap meledak dan ia mati-matian menahan.

Nando telah memastikan keaslian rekaman video itu pada salah satu rekan yang ahli di informatika. Rasanya sulit di percaya, Eve yang terlihat polos dan manis akan melakukan hal keji itu di belakangnya.

"Evening Shena."

Eve menatap Nando yang menyebut lengkap namanya. Menunggu kata-kata pria itu selanjutnya. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hatinya. Jika bisa ia ingin tenggelam sekarang.

"Detik ini, aku ceraikan kamu."

**

"Nando!"

Eve memanggil nama pria itu begitu terbangun dari mimpi. Mimpi buruk yang terus menghantui setiap malam meski pertemuan terakhir mereka di rumah sakit telah berlalu tujuh hari.

Keringat dingin membasahi kening. Eve menoleh pada jarum jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu akan menangis. Meratapi nasibnya yang begitu buruk.

Kini Eve tidak lagi tinggal di rumah orang tua angkatnya. Ia memilih tinggal di apartemen hasil kerja kerasnya sendiri. Sejak tragedi itu pula Eve tidak datang ke restoran fastfood. Rekaman memalukan itu telah ditonton semua tamu dan Eve tak ingin ada yang melihatnya. Entah sampai kapan.

Pagi menjelang tanpa bisa dicegah. Wanita dengan cardigan putih berdiri di depan pintu unit apartemen 515 dan menekan bel. Eve dengan malas berjalan menuju layar interkom demi mengetahui siapa yang datang mengunjunginya.

"Eve! Hai," sapa Sabrina seraya melambai. Wajah cerah yang sengaja di dekatkan pada interkom mau tak mau membuat Eve tersenyum.

"Buka dong, aku bawa sarapan kesukaan kamu nih," tambah wanita rambut panjang itu.

Bujukan Sabrina berhasil. Eve membuka pintu dan mengijinkannya masuk ke apartemen kelas menengah tersebut. Tanpa basa-basi, Sabrina langsung menuju dapur. Menyiapkan sendiri dua porsi bubur ayam dengan topping telur puyuh.

"Beli di tempat biasa?" tanya Eve sembari memperhatikan gerakan Sabrina. Meski terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tak asing dengan kegiatan dapur.

"Niatnya sih begitu. Tapi ternyata tutup, jadi aku bikin sendiri deh. First time sih, habiskan lho," seru Sabrina pura-pura galak yang justru membuat Eve tergelak.

Dua wanita itu sarapan bubur bersama, di balkon yang menghadap langsung pada pemandangan kota pagi hari. Tidak ada yang salah awalnya, tetapi baru tiga suap mendadak Eve meletakkan sendok dan berlari ke kamar mandi.

Perutnya bergejolak dan ini telah berlangsung sejak tiga hari lalu. Sabrina menatap mangkoknya, merasa aneh karena menurutnya rasa maupun tekstur bubur baik-baik saja.

"Eve? Are you okay?" Sabrina mengejar dan mendapati sahabatnya memuntahkan isi perut yang tidak seberapa.

"Maaf, Bri. Bubur buatanmu enak tapi mungkin asam lambungku lagi naik," ujar Eve yang nyaris lemas.

"Kita ke rumah sakit ya?" tawar Sabrina yang menyadari wajah Eve semakin pucat.

"Gak usah. Cuma perlu minum obat dan istirahat," tolak Eve. Namun ia menerima uluran tangan Sabrina yang ingin memapah keluar kamar mandi.

"Jangan mendiagnosis sendiri. Asam lambungmu udah lama gak kambuh," ucap Sabrina kekeh.

Pada akhirnya Eve menurut. Dalam beberapa menit mereka telah berada di dalam mobil putih Sabrina. Eve yang masih merasa mual hanya memandang panorama kota lewat kaca samping.

Dokter muda dengan kacamata memeriksa keadaan Eve dengan seksama. Sabrina dengan sabar menunggu bahkan ia juga yang bertanya pada si dokter.

"Teman saya sakit apa, Dok?"

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ini wajar terjadi di kehamilan trimester pertama."

Bumm!!

Jawaban dokter itu bak bom atom yang meledak tepat di atas kepala mereka. Eve tak bisa berkata-kata. Seharusnya ia protes, marah dan mengatakan si dokter asal bicara. Namun bibir Eve tertutup, semua yang hendak ia ungkapkan tercekat di tenggorokan.

"Maksud Dokter?" Sabrina yang juga sempat tertegun mengira ini hanya gurauan semata.

"Teman Anda hamil. Saya akan meresepkan vitamin dan obat untuk mengurangi mual."

Sabrina menoleh, mendapati satu bulir lolos dari netra Eve yang kini tertunduk.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!