"Gimana bagian pinggangnya? Terlalu sempit?" Tania, selaku desainer yang menggarap gaun pernikahan Eve bertanya pada wanita yang kini termenung.
Ditanya seperti itu, Eve tak bergeming. Nando yang duduk di sofa juga menatapnya heran. Sejak mereka sampai di butik itu beberapa saat lalu, Eve memang terlihat tak seperti biasanya. Lebih banyak melamun dan enggan diajak bicara.
"Eve?" Tania yang juga sepupu Nando menepuk bahu wanita itu perlahan.
"Hm? Kenapa?" jawab Eve sambil menoleh.
"Kamu sakit ya? Apa Nando bikin kamu stress?" Tania tertawa kecil lalu menjulurkan lidah pada Nando yang merespon dengan tatapan datar.
"Gak kok, aku cuma kecapekan aja. Gaunnya bagus, Tan. Aku suka bagian yang ini," ujar Eve mengalihkan. Tangannya menyentuh aksen berbentuk bunga daisy pada gaun putih panjang itu.
"Kalau ada yang bikin gak nyaman langsung bilang ya. Pernikahan kalian tiga minggu lagi, tapi justru aku yang gak sabar," timpal Tania yang membuat Eve tersenyum.
Setelah fitting baju, Nando mengajak Eve bersantai di cafe house bernuansa cozy. Eve masih tidak banyak bicara, hal itu membuat Nando menyentuh tangan si calon istri dan menanyakan apa yang terjadi.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
"Aku cuma sedikit gugup karena harinya semakin dekat," ucap Eve berbohong. Kenyataannya ia masih memikirkan kejadian semalam.
Tak lama kemudian, ponsel Nando berdering. Pria itu bangkit begitu mengetahui si penelepon adalah salah satu manager yang bekerja di kantornya.
"Sebentar, Sayang," ujar pria itu seraya mengusap lembut pucuk kepala Eve.
Lima menit berlalu, panggilan itu membuat Nando bergegas ke kantor. Eve tak keberatan berdiam sejenak di cafe meski Nando menawarkan untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.
'Apa jangan-jangan tadi malam Jenna sengaja usil?' tebak Eve dalam hati setelah Nando menghilang dari pandangan.
Tak ingin larut dalam pikirannya sendiri, Eve pun menghubungi nomor yang pagi tadi Jenna gunakan untuk menelepon. Dan tidak sampai empat puluh menit, wanita cantik dengan rambut sebahu telah berada di depan Eve. Tersenyum jahil khas Jenna.
"Pagi banget udah ngajak ketemu. Duh, segitunya kangen sama aku," goda Jenna pada raut serius milik Eve.
"Jen, jawab jujur. Tadi malam kamu yang minta aku datang ke hotel X, 'kan?" Tatapan Eve penuh selidik.
"Hotel X? Aku baru sampai tadi pagi subuh di rumah, Eve. Lagian ngapain aku ngajakin ketemu di hotel X. Lebih asyik jalan-jalan ke pantai atau ke mana gitu," jelas Jenna. Tangannya terangkat, memanggil waiter untuk memesan tropical juice kesukaannya.
Lagi, Eve terdiam. Dari sikap dan ekspresi Jenna, ia tahu temannya itu tidak berbohong. Tapi tetap saja puzzle di dalam kepala Eve belum menemui jawaban.
"Eve? Halo?" Jenna melambaikan tangan tepat di depan wajah Eve.
"Hm?" gumam Eve sebagai respon.
"Kamu keliatan banyak pikiran. Apa karena hari pernikahan tinggal tiga minggu lagi?" tebak Jenna.
Eve menggeleng. Tidak, ia tidak mengkhawatirkan apapun tentang pernikahannya dengan Nando. Ia mencintai pria itu dan juga sebaliknya. Meski ibu dari Nando tak begitu menyukai Eve, nyatanya Nando mampu mendapatkan restu.
"Terus kenapa? Udah, rileks aja. Nando laki-laki baik kok. Kalian serasi," ungkap Jenna berusaha menghibur Eve.
Eve hanya bisa tersenyum. Ingin rasanya ia menceritakan perihal semalam. Namun entah mengapa lidahnya kelu. Wanita itu menggeleng tanpa ketara, berharap pikirannya kembali jernih.
**
Tiga minggu kemudian.
Momen yang ditunggu akhirnya datang juga. Hari ini Eve dan Nando akan meresmikan hubungan mereka. Di sebuah ballroom hotel mewah, para tamu undangan yang terdiri dari orang-orang penting telah hadir. Maklum saja, orang tua Nando adalah pengusaha yang cukup sukses di bidang ekspor impor.
"Cie, yang udah jadi Nyonya Nando. Nikah sama laki-laki yang dicintai, terus honeymoon ke Santorini. Duh, kamu bikin iri, Eve," goda Sabrina yang saat ini menemani Eve di ruang ganti pengantin.
Eve tertawa kecil. Wanita itu menoleh pada Jenna yang berdiri dengan jarak tiga meter dari mereka, menerima panggilan dari seseorang sejak lima menit lalu.
Pagi tadi telah dilangsungkan akad, dan malam ini adalah acara resepsi. Di balik tawa kecil Eve, tersimpan gugup yang tak bisa dijelaskan. Ia memiliki firasat buruk untuk malam ini.
Pukul tujuh tepat, Jenna dan Sabrina yang bertugas sebagai bridesmaid mendampingi Eve berjalan menuju ballroom. Semua mata tertuju pada mempelai wanita yang malam itu menjelma bak bidadari terbalut dress putih yang menawan.
Nando tidak bisa berhenti tersenyum melihat betapa cantiknya Eve malam ini. Wanita yang telah membuatnya jatuh cinta itu telah menjadi istrinya. Namun ternyata tidak hanya Nando yang tersenyum. Pria lain yang masuk dengan cara menyusup, dengan garis bibir terangkat telah menyiapkan pertunjukan untuk malam ini.
"Selamat ya Jeng, akhirnya punya mantu. Dengar-dengar istri Nando punya usaha sendiri?" Salah seorang tamu menyalami Nyonya Arum, ibunda Nando.
"Iya, cuma restoran kecil. Tapi ya sudahlah, yang penting Nando senang," balas Nyonya Arum dengan senyum dipaksakan. Ia memandang kedua mempelai yang kini duduk bersanding. Saling berbisik, dan tertawa tanpa jarak.
Para tamu pun sibuk menikmati suguhan mewah, termasuk Jenna dan Sabrina yang duduk bersama seraya mengobrol. Tidak ada yang menyadari salah seorang pria yang hadir beringsut ke satu area sepi dan memanggil salah satu pelayan.
"Kau bisa membantuku?" Suara bariton itu berkata. Satu tangannya merogoh kantung dalam jas dan menunjukkan tak kurang dari belasan lembaran berwarna merah.
"Apa yang bisa saya lakukan, Tuan?Pelayan menelan ludah melihat lembaran uang-uang itu.
Si pria yang tak lain adalah Arsen membisikkan satu perintah. Pelayan mengangguk sambil menerima flashdisk hitam dan juga lima belas lembaran merah sebagai upah pekerjaannya.
"Ingat, jangan sampai ada yang tahu jika flashdisk itu dariku," ucap Arsen bernada ancaman.
"Tentu, Tuan. Saya mengerti."
Tak lama berselang, Arsen kembali ke meja yang cukup tersembunyi dari pandangan Eve maupun Sabrina. Ya, ia tak ingin kehadirannya diketahui dua wanita yang Arsen anggap telah membuat masalah dengannya.
Sementara itu pelayan dengan flashdisk di tangan, diam-diam mendekati area operator. Ketika yakin situasi aman, ia memasukkan flashdisk dan secara otomatis tayangan pada layar besar di dekat panggung mempelai berubah. Bukan lagi guliran foto-foto prewedding Eve dan Nando, melainkan sebuah video tak senonoh dengan Eve sebagai pemeran utama. Sedangkan wajah lawan mainnya tidak terlihat jelas.
Semua yang hadir di ballroom sontak terkejut, terkecuali Arsen. Pria itu menyeringai dengan netra menatap lurus pada Eve dan Nando. Ia yakin hanya butuh beberapa detik dan acara resepsi ini akan hancur berantakan.
"Eve, apa ini?!" Nando yang sempat terbelalak kini bangkit dan menatap nyalang pada wanita yang belum sehari sah menjadi pendamping hidupnya.
"A-aku gak tahu, Nando. Tolong percaya, aku tidak pernah melakukan hal gak pantas seperti itu ...." Wajah Eve memucat. Ia berusaha menyentuh tangan Nando tapi pria itu menepis kasar. Tatapan penuh cinta Nando telah berubah menjadi jijik.
Suasana pernikahan yang semula penuh haru dan bahagia berganti kasak-kusuk tak menyenangkan dari para tamu undangan. Jenna dan Sabrina saling pandang tak percaya.
"Gak, itu pasti bukan Eve. Dia gak mungkin lakuin itu. Pasti video itu editan," ujar Sabrina setengah berbisik pada Jenna.
"Setuju, kita udah bertahun-tahun kenal Eve. Dia dan Nando juga selama ini pacaran sehat, 'kan?" timpal Jenna dengan suara pelan juga.
Percakapan mereka terhenti tatkala melihat adegan di panggung mempelai di mana Nando telah turun dengan raut kecewa bercampur marah. Eve bergegas mengejar tetapi wanita paruh baya menarik kasar tangan Eve ke sudut lain.
"Tante, sakit," keluh Eve saat Nyonya Arum terus mencengkram kuat tangannya.
"Hati saya dan anak saya lebih sakit. Dari awal saya tahu kamu bukan wanita baik-baik. Lalu apa tujuanmu mendekati anak saya? Hah?!" Nyonya Arum berkata dengan nada tinggi.
"Tapi saya-"
Plakk! Ucapan Eve terpotong karena Nyonya Arum menamparnya tanpa ampun.
"Masih berani menjawab, ya! Dasar perempuan ******!" maki Nyonya Arum.
Orang tua angkat Eve ikut menghampiri. Namun bukanlah pembelaan Eve dapatkan. Ibu angkatnya berulang kali meminta maaf pada Nyonya Arum sedangkan sang ayah angkat mengatupkan bibir. Eve tahu betul jika ayah yang selama ini selalu menyayanginya juga tengah marah.
"Ayah, Ibu, Eve benar-benar tidak tahu tentang video itu," lirih Eve memelas.
"Cukup, Eve. Belum puas kamu merepotkan kami. Kini bahkan kamu juga membuat keluarga kita malu," cecar Bu Ratih.
Eve menunduk, menangis tanpa bersuara. Acara pernikahan impiannya hancur berantakan dalam sekejap mata. Sekarang ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di tengah kalut dan bingung, kepala Eve berdenyut. Pandangannya kabur dan tubuh ramping itu pun tumbang.
Brukk.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments