2. Undangan Palsu

Restoran fast food di persimpangan tampak sibuk siang itu. Nyaris semua meja di lantai satu maupun dua terisi. Sedangkan di depan kasir berbaris belasan orang lain yang memesan. Maklum saja, ini adalah jam makan siang.

Di satu titik bangunan berlantai dua restoran itu, tampak wanita cantik berpenampilan rapi yang ikut berjibaku. Ia adalah pemilik restoran yang tak segan ikut membantu di dapur.

"Kak Eve, ada paket!" seru salah seorang waiter dengan apron hitam.

"Iya, sebentar." Eve mencuci tangan usai sebelumnya men-fillet dada ayam untuk dijadikan chicken katsu.

Wanita dengan setelan broken white itu tak menunggu lama untuk menyambar paket berukuran sedang. Ia melihat sekitar, memastikan jika mungkin kesibukan di tempat itu bisa ditinggalkan meski hanya sejenak.

Eve masuk ke ruangan khususnya. Bibirnya tersenyum usai membaca nama pengirim. Kiriman itu datang dari seorang kawan lama yang telah ia tunggu sejak dua minggu terakhir.

Paket itu berisi mug motif disertai inisial ES, sesuai nama panjang Eve.

"Cantik ...," komentar wanita dengan rambut kuncir kuda itu. Di bawahnya, Eve menemukan secarik kertas berisi ajakan untuk bertemu di suatu tempat.

"Restoran hotel X, pukul 20.00? Tapi kok gak ada nomor telepon?" Eve membolak-balikkan lembaran kecil dan juga memindah mug.

"Hm, Jenna masih suka bikin kejutan." Eve tertawa kecil. Sekilas, ia mengingat kebiasaan-kebiasaan konyol nan ajaib seorang Jenna, sahabatnya selain Sabrina yang sempat tidak ada kabar setelah memutuskan bekerja di luar pulau sejak tiga bulan lalu. Meski tak dipungkiri ia sedikit heran saat Jenna menghubunginya melalui alamat email yang berbeda dari biasanya.

Malamnya, Eve menyanggupi ajakan Jenna. Ia menggunakan dress simple berwarna mocca dan juga flat shoes. Dua puluh menit berada di dalam mobil, wanita cantik itu telah sampai di depan bangunan hotel yang dituju.

"Selesai jam berapa nanti?" tanya pria muda bernama Nando yang tak lain adalah tunangan Eve. Lesung pipi muncul saat senyumnya terbentuk.

"Kurang tahu, nanti aku telepon ya." Eve membalas senyum pria itu sebelum turun dari mobil merah mengkilap.

"Perlu kuantar ke dalam, Tuan Putri?" tawar Nando, kali ini diiringi kerlingan.

"Gak usah. Thank you udah diantar. Malam, Bunny?" Eve melambai ringan dan berlalu setelah mendapat balasan yang sama.

Ini bukan pertama kali bagi Eve memasuki hotel berbintang lima itu. Eve menuju lantai sembilan di mana restoran hotel berada. Langkah sedangnya memasuki lift, bersamaan dengan pria outfit serba hitam yang mengambil posisi di belakangnya.

Tanpa wanita itu sadari, si pria tengah memperhatikan postur dan gerak-geriknya dengan seksama. Begitu sampai di lantai tujuan, Eve segera keluar.

Si pria misterius mengikuti dari jarak aman. Diam-diam ia membuka percakapan dengan seseorang melalui airpods hitam di telinga kirinya.

"Target menuju titik eksekusi, Tuan."

Restoran Hotel X, pukul 20.10 WIB.

Arsen menyesap sedikit wine putih dari gelas bening. Netra tajam pria tampan itu menatap lurus pada wanita yang baru memasuki restoran.

'Cantik juga,' puji pria dengan setelan jas semi formal itu dalam hati.

Sementara sang wanita yang tidak

lain adalah Eve tak merasa curiga sedikitpun. Ia masih sempat membalas email dari seseorang sebelum akhirnya meletakkan ponsel tipis ke dalam clutch.

"Silahkan, Nona." Seorang waitress datang sembari meletakkan buku menu di atas alas meja berwarna putih.

"Saya akan memesan nanti, setelah teman saya datang," tolak Eve tak lupa dengan senyum ramah yang telah menjadi ciri khasnya.

Waitress berseragam putih hitam itu pun beringsut usai memberi anggukan sopan. Namun tak sampai sepuluh menit kemudian, ia kembali dengan nampan berisi secangkir minuman hangat.

Eve sudah hendak membuka mulut untuk bersuara tetapi si waitress berbicara terlebih dahulu guna menjelaskan.

"Hari ini adalah ulang tahun restoran yang ke sepuluh. Kami menyediakan teh lemon ini kepada semua pengunjung sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih," terang wanita dengan rambut rapi itu.

Pada akhirnya Eve mengangguk. Kebetulan teh lemon adalah favoritnya. Setelah punggung waitress tidak nampak, Eve menyesap sedikit minuman itu.

Terbentuk kerutan pada jarak di antara alis ketika menyadari rasa teh lemon agaknya berbeda dengan yang biasa ia minum. Ia juga merasa haus setelahnya. Hingga tak butuh waktu lama cangkir yang tampak mahal itu akhirnya kosong.

Bebeberapa meja di sekitar Eve, senyum Arsen terbit. Perlahan tapi pasti rencananya akan berjalan lancar malam ini. Dalam hati ia menghitung mundur dan benar saja tepat di hitungan terakhir, senyumnya melebar tatkala Eve telah tak sadarkan diri di kursinya.

**

Keesokan harinya Eve terbangun di ranjang asing. Netra cantik terbingkai bulu mata lentik mengawasi sekitar dengan bingung. Ia tak tahu bagaimana bisa berakhir di kamar mewah bernuansa putih tulang itu.

'Di mana ini? Apa yang terjadi semalam?"

Ketika ia berusaha duduk, kepalanya berdenyut. Bagian bawah tubuhnya juga terasa remuk. Untunglah, ketika diperiksa pakaiannya masih utuh. Belum sempat ia mengingat kejadian semalam, ponsel di dalam clutchnya berdering.

Tertatih Eve menghampiri clutch pemberian Nando yang tergeletak di karpet tak jauh dari ranjang. Terdapat total tiga puluh lima panggilan tak terjawab dari pria itu ditambah belasan pesan berisi ungkapan khawatirnya.

"Halo?" sapa Eve setelah ia menghubungi nomor tunangannya itu.

"Astaga, Eve! Aku menelepon sejak tadi malam. Kenapa tidak memberiku kabar sama sekali? Bukankah sudah kukatakan aku akan mengantarmu pulang?" omel Nando dari seberang.

"Maaf, aku ...." Di tengah risau bercampur kalut, hanya itu yang bisa Eve katakan.

"Sudahlah, Sayang. Siap-siap ya, satu jam lagi aku jemput. Kita harus fitting baju kedua," ujar Nando dengan nada ceria.

"I-iya. Aku tutup sekarang teleponnya," jawab Eve terbata.

Setelah memutus panggilan, Eve menghela napas kasar. Ia sadar betul harus sampai di rumah sebelum Nando datang menjemputnya.

Eve beranjak dari ranjang, tak lagi mempedulikan perasaan tidak nyaman pada tubuhnya. Dengan tergesa wanita itu menuju kamar mandi yang tersedia di dalam kamar lalu pergi tanpa menyadari noda darah yang tercetak di atas sprei.

Begitu keluar dari pintu, Eve baru mengerti jika ia masih berada di dalam bangunan hotel yang sama. Ingin rasanya bertanya tapi tidak ada satu orang pun petugas hotel di area tersebut. Tak ingin membuat masalah dengan Nando, ia pun memilih meninggalkan hotel dan pulang.

"Dari mana, Kak? Kenapa semalam gak pulang?" tanya Wina, anak dari orang tua angkatnya ketika Eve baru memasuki rumah berlantai dua melalui teras samping.

"Ehm, rumah teman," sahut Eve sekenanya.

"Oh." Wina menganggapi dengan acuh. Remaja sembilas tahun itu melanjutkan aktifitasnya mengutak-atik laptop sambil menikmati secangkir coklat panas.

Eve hanya menatapnya sekilas, sebelum beralih menuju lantai dua di mana letak kamarnya berada. Langkahnya melambat dan akhirnya berhenti saat menerima panggilan dari nomor tak dikenal.

"Halo?"

"Eveee!! Kenapa emailku gak dibalas? Nanti kita meet up, oke? Gak mau tau pokoknya kamu harus temenin aku jalan-jalan!" seru suara wanita di seberang.

"Ini siapa?" Eve hanya ingin meyakinkan meski rasanya suara dan gaya bicara wanita itu tidak asing.

"Aku Jenna. Astaga! Baru tiga bulan lost kontak, kamu udah lupa sama aku?"

Eve membeku di tempat. Ia merasa ada yang tidak beres di sini. Satu hal yang pasti, bukan Jenna yang mengundangnya semalam. Lalu siapa?

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!