Di saat Sabrina membuka mata, dia melihat seorang anak yang tidak dikenal sedang duduk menatapnya.
Sabrina mengerjapkan mata, dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi hingga dia terbaring di sana.
Rohit tersenyum, lalu diapun berkata, "Kakak pingsan di taman tadi malam, jadi aku meminta tolong warga untuk membawa Kakak ke sini."
"Kamu siapa?" tanya Sabrina.
"Namaku Rohit Kak. Aku si anak kolong yang tinggal di taman sana."
"Kamu tinggal di taman? Jadi bagaimana dengan orangtuamu?"
Rohit terdiam, dia sedih setiap kali ada orang yang menanyakan tentang keberadaan kedua orangtuanya.
"Kenapa kamu sedih Dek?"
"Aku tidak tahu siapa orangtuaku Kak. Aku dulu di asuh oleh Nek Sakinah, tapi beliau meninggal saat aku berusia 10 tahun."
"Setelah itu, aku tidak memiliki siapapun lagi. Jadi aku tinggal di mana saja, asal tidak kepanasan dan tidak kehujanan. Memang sih aku lebih sering bermalam di taman, tempat Kakak tergeletak pingsan tadi malam."
Sabrina menatap Rohit, ternyata anak sekecil itu bisa tegar menghadapi kepahitan hidup.
Kepahitan yang belum pantas dirasakan untuk anak seumuran Rohit yang masih membutuhkan kasih sayang orangtua dan juga kenyamanan rumah sebagai tempat berlindung.
Sabrina makin penasaran ingin mengetahui sisi kehidupan anak malang tersebut.
"Jadi, siapa yang memberimu makanan serta kebutuhan hidup lainnya Dek?"
"Aku bekerja Kak. Kadang mulung, ngamen, dan sesekali diberi uang serta makanan oleh orang baik yang datang ke taman."
"Terkadang ada pedagang asongan yang sedang sakit, nah...aku menggantikan mereka berjualan di lampu merah. Yang terpenting halal dan tidak mencuri Kak," jawab Rohit.
Hati Sabrina makin terenyuh saat mendengar kisah hidup Rohit. Sesusah dan sesedih dirinya dulu saat sang Ayah meninggal, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan perjalanan hidup Rohit.
Sabrina masih lebih beruntung, memiliki seorang ibu yang kuat, melindungi serta berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara Rohit yang sekecil itu, harus berjuang sendiri menantang kerasnya kehidupan.
Melihat Sabrina menitikkan air mata, Rohit pun merasa khawatir, "Kakak kenapa menangis? Apa ada yang sakit Kak, biar Rohit panggilkan dokter."
"Hah...Nggak apa-apa Dek, Kakak hanya teringat masa lalu," jawab Sabrina sembari mendesah dan menghapus air bening yang sempat menetes di pipinya.
Kemudian Sabrina memegang dan menepuk punggung tangan Rohit sambil berkata, "Aku salut denganmu Dek! Terimakasih ya, sudah menolongku," ucap Sabrina.
Rohit hanya mengangguk sembari tersenyum. Wajahnya yang polos dan mungil membuat Sabrina semakin iba.
Bila teringat masalahnya, Sabrina merasa tidak ingin hidup, dia kecewa dan jijik terhadap dirinya sendiri.
Tapi, ketika dia memandang Rohit, Sabrina merasa malu. Malu, karena kalah tegar dari seorang anak kecil yang tanpa orangtua, berani menantang kejamnya kehidupan.
Sabrina bangkit dan duduk, lalu dia berkata, "Sekali lagi, terimakasih Dek. Aku akan pulang setelah dokter datang. Tapi aku janji, suatu hari nanti aku akan mencari mu dan membawamu pergi. Kita akan tinggal dan hidup di tempat yang lebih layak," janji Sabrina.
Kemudian Sabrina berkata lagi, "Ini kartu nama ku, jika kamu membutuhkan bantuan, jangan segan telepon aku ya!"
"Apakah kamu bisa baca tulis?" tanya Sabrina sambil mengulurkan kartu namanya.
"Bisa Kak, karena dulu aku pernah sekolah dasar meski tidak tamat. Terimakasih ya Kak. Eh, ternyata Kak Sabrina manajer hotel?"
Sabrina pun mengangguk, lalu dia mengambil uang dari dalam tas dan memberikannya kepada Rohit.
"Ambil Dek, untuk beli makanan."
"Ngga Kak! Aku masih punya uang kok. Semoga masalah Kakak cepat selesai ya. Kakak harus tetap semangat, jangan seperti tadi malam."
Sabrina pun mengangguk, lalu berkata lagi, "Ambillah! Inshaallah aku akan semangat sepertimu," ucap Sabrina sambil tersenyum.
Akhirnya karena paksaan dari Sabrina, Rohit pun mengambil uang tersebut dan menjunjungnya serta mengucapkan terimakasih.
Saat mereka asyik mengobrol, suster pun datang.
"Selamat pagi Mbak, Bagaimana keadaannya?"
"Alhamdulillah Sus, sudah enakan. Oh ya Sus, bisa minta tolong belikan saya pakaian?"
"Boleh Mbak. Kebetulan tidak jauh dari sini ada toko pakaian wanita," ucap Suster.
Sabrina pun memberikan sejumlah uang dan suster segera bergegas membelikan apa yang Sabrina butuhkan.
Sekitar jam 9 pagi, dokter pun datang, memeriksa kondisi Sabrina dan beliau mengizinkan Sabrina untuk pulang.
Sabrina membereskan administrasi, lalu diapun pamit dan pergi mengantar Rohit terlebih dahulu ke taman, dimana dirinya jatuh pingsan.
Rohit melambaikan tangan saat Sabrina bergegas meninggalkan taman.
Sabrina harus segera pulang sebelum sang ibu khawatir karena dirinya belum juga pulang, sejak semalam.
Dengan mengendarai taksi Sabrina pulang ke rumah. Tapi sebelumnya dia menelepon kantor dan mengatakan kepada asistennya bahwa hari ini dirinya tidak masuk kerja.
Saat tiba di rumah, Sabrina pun mengucap basmallah, dia masuk ke paviliun rumah Rey, dimana dirinya dan ibu tinggal.
Sabrina berharap tidak akan bertemu siapapun saat ini, terutama Rey. Karena Sabrina belum sanggup untuk berbohong bahwa dirinya sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Melihat kondisi rumah induk sepi, Sabrina pun bersyukur, berarti semua penghuni masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Sabrina pun masuk ke dalam dan dia tidak menemukan sang ibu ada di sana.
Dengan perasaan lega, Sabrina buru-buru masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan hati.
Meski sulit melupakan apa yang telah Rey lakukan, tapi Sabria harus bisa menutup rapat serta bersikap seperti tidak pernah terjadi apapun.
Selesai menyimpan bukti rekaman di tempat yang aman, Sabrina pun merebahkan dirinya untuk mengurangi rasa penat serta perasaan sedihnya.
Sejenak Sabrina tertidur, tapi mimpi buruk telah membuatnya tersentak dan akhirnya terbangun.
Peluh membasahi kening Sabrina dan kenangan buruk itupun kembali melintas menghantui dirinya.
Sabrina bangkit, membuka jendela dan memandang jauh ke depan.
Dia merasa ragu, apakah dirinya masih bisa menggapai bahagia kehidupan berumah tangga kelak atau harus memilih tetap hidup sendiri dan menyimpan rapat rahasia sampai kematiannya tiba.
Saat ini yang bisa Sabrina lakukan hanya berharap, peristiwa malam itu tidak akan berdampak buruk yaitu membuatnya hamil.
Dan Sabrina harus bersiap sejak dini, mencari alasan untuk pergi dari rumah. Karena dia tidak akan sanggup melihat kemesraan Rey serta Alira yang nantinya akan tinggal di sana setelah keduanya menikah.
Sabrina pun menghubungi temannya agar mencarikan pekerjaan serta rumah kontrakan di luar kota.
Sebisa mungkin dia harus pergi secepatnya untuk menghindar, sampai dirinya mendapatkan kehidupan yang mapan.
Jika saat itu tiba, barulah Sabrina akan kembali untuk menjemput ibu serta membawa serta Rohit.
Tekad Sabrina sudah bulat, maksimal 3 bulan kedepan dirinya sudah harus mendapatkan pekerjaan baru, hingga secepatnya dia bisa mengajukan resain dari tempatnya sekarang bekerja.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Nanda Wahyuni
semangat buat sabrina
2023-05-10
0