Terpaksa Bertahan Denganmu
Belia, 20 tahun. Terpaksa menerima perjodohan dengan seorang lelaki yang 7 tahun lebih tua darinya. Dia tidak tahu bahwa lelaki yang dijodohkannya menerima perjodohan karena patah hati. Sebagai pelarian atas kecewa karena ditinggal menikah oleh kekasihnya, Muntaz, 27 tahun, akhirnya menerima perjodohan yang dikehendaki orang tuanya.
Pertama kali melihat gadis yang dijodohkannya, tidak ada yang istimewa bagi Muntaz. Semua biasa, masih kalah dengan mantan kekasihnya Novi yang cantik, licin dan bahenol menurutnya. Namun sayang, Novi yang dia cintai pergi dan menikah dengan bos reparasi jok di kotanya. Novi memilih lelaki kaya yang turun naik mobil.
Hampir dua tahun lamanya dia merasakan sakit hati dan kecewa. Bahkan selama itu, Muntaz tidak pernah terlihat menggandeng seorang perempuan sebagai tambatan hatinya. Beruntung, Novi kekasih yang dia cinta tidak tinggal di kota yang sama, dia ikut bersama suaminya ke kota Plaju sana.
Lama kelamaan Muntaz bisa melupakan rasa sakit hati yang menderanya, sampai kedua orang tuanya berniat menjodohkannya, Muntaz tidak menolak.
Belia Fitri 20 tahun, gadis belia sesuai dengan namanya. Gadis yang berasal dari pulau Jawa, suku Sunda yang kebetulan orang tuanya merantau ke Pulau Sumatera, tepatnya Sumatera Selatan. Dia tumbuh sebagai gadis yang lugu, cantik, pendiam, dan rajin. Karena perangainya yang baik, banyak tetangga yang menyukainya. Terutama orang tua yang memiliki anak bujang, tertarik menginginkan Belia menjadi menantunya. Adalah Mak Susi, tetangga beberapa lorong dari rumah orang tua Belia, yang beruntung meminang Belia menjadi menantunya.
Mak Susi, sudah kenal dekat dengan orang tua Belia 10 tahun yang lalu, sejak orang tua Belia pindah dari kota Prabumulih ke kota pempek, Palembang. Dulu orang tua Belia, seorang yang sukses sebagai petani karet di Prabumulih. Setelah tanah garapannya habis kontrak dan diambil alih oleh pihak terkait, Bu Enok dan Pak Deden, orang tua Belia pindah sekeluarga ke kota Palembang dan membeli rumah di sebuah perumnas di kota Palembang.
"Amboiii, Bi Cik alangkah senangnyo kalau aku bermenantu anak Kau, sudahlah rajin, cantik pula," puji Mak Susi kepada Bu Enok yang dipanggilnya Bi Cik, karena menganggap Bu Enok lebih muda darinya.
"Saya senang saja Wak Cek, tapi semua tergantung anak-anak kita," balas Bu Enok suatu hari.
Tidak disangka, sejak obrolan itu berlalu satu tahun yang lalu, keinginan Mak Susi akhirnya terwujud setelah Belia menerima pinangan kedua orang tua Muntaz. Sebetulnya Belia saat itu ingin menolak, akan tetapi melihat kedekatan kedua orang tuanya dengan Mak Susi, akhirnya Belia menerima. Terlebih melihat Muntaz saat itu mengiyakan dan meminta Belia untuk menjadi kekasihnya.
"Maukah kamu, Dek, menjadi istri Abang?" Belia terkejut mendengar pernyataan Muntaz saat itu. Padahal dia dan Muntaz tidak pernah kenal dekat, justru saat bertemu saja hanya bertegur sapa biasa. Beda dengan hubungan kedua orangtuanya, mereka nampak kental, tidak jarang mereka saling tolong menolong.
"Belia, terima pinangan Abang," jawabnya saat itu. Gadis kuning langsat bermata indah itu tersenyum menunduk penuh rasa malu sesaat setelah dia menyetujui pinangan Muntaz.
"Alhamdulillah, akhirnya sah juga kedua anak-anak kita. Mereka sah menjadi suami istri." ujar Pak Deny suami Mak Susi, kala itu. Bu Enok dan Pak Deden tidak kalah bahagianya melihat anak dan anak dari sahabat baiknya bersanding di pelaminan. Setelah menikah, Muntaz dan Belia menempati rumah baru.
Setengah tahun berjalan, pernikahan yang sudah dijalani bukannya mudah bagi Belia. Muntaz, suaminya sejak awal tidak pernah memperlakukan Belia dengan baik, wataknya keras, dan sikapnya dingin, membuat Belia kadang ingin pergi jauh dari sisinya. Akan tetapi Belia tidak dibatasi dalam bergaul atau pergi keluar untuk bekerja. Mungkin karena tidak ada cinta dalam diri Muntaz, jadi Muntaz tidak peduli Belia mau kemanapun. Yang penting baginya, pagi sebelum berangkat bekerja, dia siap sarapan dan pulang kerja ada makanan yang sudah tersaji di meja makan. Muntaz rupanya penyuka makanan rumahan.
"Bang, Belia pergi dulu," pamit Belia pagi itu. Muntaz yang asik main HP tidak peduli dengan Belia. Merasa diabaikan, Belia pun pergi untuk bekerja. Tumben, Muntaz belum pergi bekerja hari ini, biasanya sebelum Belia pergi, Muntaz sudah pergi duluan.
Tempat bekerja Belia tidak jauh dari rumah. Jarak yang kurang lebih 500 meter bisa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Sepuluh menit, Belia sudah sampai di depan Toko Buku Buana. Lumayan berkeringat, sebab Belia tinggal di kota pempek yang cuacanya cukup panas. Dan pagi ini walau masih jam delapan kurang, keringat bercucuran di dahi Belia.
Pukul empat sore, Belia pulang dari toko. Seperti biasa dia pulang dari toko ke rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan saat itu dia berpapasan dengan Mery sahabatnya sekaligus Ayuk baginya, sebab Mery sangat baik dan sudah dianggapnya Kakak sendiri. Usianya juga lebih tua enam tahun dibanding dirinya.
"Bel, aku duluan ye, aku mau jemput anak lanang *balek* Karate," sapanya seraya berlalu karena tidak bisa membawa Belia sekalian ikut motornya.
"Tidak apa-apa, Yuk, duluanlah," ujar Belia melanjutkan perjalanannya yang beberapa menit lagi tiba di rumah.
Tiba di belokan, Belia tidak sadar ada motor di belakang yang hampir menyerempetnya, Belia menghindar dengan mementalkan diri ke sebelah kiri jalan dan Belia terjerembab.
"Bruggg, awwww!" pekiknya menahan sakit bersamaan dengan suara tubuh Belia yang jatuh. Motor yang hampir menyerempetnya, berhenti sejenak. Dia melihat Belia, Belia pikir akan turun dan mau menolong, akan tetapi sebelum tancap gas, pengemudi yang ditaksir seorang perempuan itu malah mengacungkan jari tengahnya dan berlalu. Seketika Belia beristighfar dan mengusap dada. "Astaghfirullah."
Motor matic Scoope warna merah metalik bernopol BG \*\* itu berlalu dengan cepat, namun Belia telah mengantongi nomernya. Belia perlahan berdiri memegangi pagar pembatas jalan, nasib baik got yang tertimpa tubuhnya tidak ambrol, jika ambrol alamat tubuh Belia terperosok ke dalam got yang lumayan dalam. Masih untung bagi Belia.
Luka di pelipis karena kejedot pagar pembatas, dan bared di betis, lutut, dan mata kakinya, menandakan bahwa hantaman tubuhnya ke trotoar itu begitu keras. Walaupun Belia menggunakan rok panjang dengan celana panjang sebagai rangkep di dalamnya, namun gesekan besi dan trotoar jalan, mampu menyisakan bekas luka bared yang mengeluarkan darah.
Belia meringis, dua orang Ibu-ibu dan seorang bapak paruh baya menolongnya dan membantunya berdiri.
"Mano rumah Kau, Dek?"
"Perum Bi Cek, lah dekat," jawab Belia dengan bahasa setempat.
"Kau biso jalan dewe?" tanya bapak paruh baya.
"Biso Mang Cek, sedikit lagi sampai," ujarnya meredam kekhawatiran ketiga orang paruh baya yang menolongnya.
Tidak berapa lama Belia sampai di rumah, walaupun dengan bersusah payah menahan rasa sakit di kaki dan pelipisnya.
Bersambung teman-teman.
Ada sedikit kosa-kata bahas Palembang yang akan saya terjemahkan, tapi sebelumnya saya mohon maaf, saya bukan asli orang Palembang, tapi saya pernah tinggal di sana dan. sedikit paham bahasanya. Jika saya salah mohon koreksinya, teman-teman. Atau kalian mau saran, boleh banget, misalkan Author tidak usah memasukkan bahasa Palembangnya. Jika ada yg kasih saran begitu maka saya akan ikuti.
Bi Cik\= panggilan tante atau orang yang lebih muda
balek \= balik, pulang
wak Cik \= panggilan orang yang lebih tua umurnya, panggilan pada kakak terkecil dari orang tua kita.
lah \= sudah
dewe \= sendiri
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
auliasiamatir
hadir mendukung belia, ..
2023-02-14
1
🌻Ruby Kejora
Aku sudah mampir ya kak😊
Udah q fav sekalian
2023-02-05
3
Rezqi Fatimah [🐧²⁴]
klo sedikit2 tak apa lah,,tp lebih baik pake bahasa indo z biar gak ribet🙏🙏,,sukses selalu ya buat Thor nya❤️
2023-02-02
3