Sepertinya, Aku Jatuh Cinta

Sepertinya, Aku Jatuh Cinta

Ch. 1

"Fian. Alfian." Seorang wanita mengguncang-guncang tubuh anak kecil yang sedang tidur. "Fian. Ayo bangun."

Sedetik kemudian, bocah kecil itu menggeliat dan mulai mengerjapkan mata. Ia duduk dan menatap wanita di depannya dengan heran.

"Ibu, ada apa?" Tanyanya pada wanita yang ternyata adalah ibunya dengan suara serak.

"Ayo, ikut ibu ke rumah teman."

Setelah menjawab pertanyaan putranya, wanita tersebut segera menarik koper kecil milik bocah itu. Melihat ibunya akan keluar kamar, Alfian pun buru-buru bangkit dan mengikuti ibunya.

Sesampainya di pintu kamar, ia mengernyit melihat seorang pria sudah duduk dan memandang ibunya dengan aneh. Namun karena ekor matanya menangkap pergerakan Alfian, pria itu segera mengubah ekspresi wajahnya.

Ibunya berbalik dan menatap Alfian dengan datar, seperti biasa. Tanpa bicara ia lalu meraih tangan mungil Alfian dan menggandenganya keluar rumah diikuti oleh teman prianya. Alfian hanya diam dan menuruti apapun yang dilakukan Sang Ibu.

Ia duduk dengan tenang seperti yang diperintahkan. Namun saat Sang Ibu tidak segera duduk di sampingnya, ia segera berbalik dan melihat Ibu mengunci pintu rumah yang berukuran kecil itu. Umurnya baru enam tahun, namun ia sudah mengerti, saat ia melihat koper milik ibu dan miliknya di bagasi, artinya mereka akan pergi meninggalkan rumah itu.

Alfian tetap diam tak bersuara, ia menatap keluar jendela. Jalanan ramai lancar, menandakan hari belum jauh malam.

Akhirnya mobil tersebut memasuki sebuah perumahan mewah yang tidak pernah Alfian lihat sebelumnya. Mata Alfian terlihat berbinar, nampaknya ia mengagumi keindahan rumah-rumah yang mereka lalui. Bangunan berlantai dua bahkan tiga, serta pagar-pagar tinggi yang menjulang serta lampu-lampu yang menyoroti ornamen-ornamen luar ruangan membuat bangunan-bangunan itu terlihat bagai istana.

Mobil berhenti di sebuah rumah yang sedikit terpisah dari rumah lain. Pagar depan yang membatasi halaman dengan jalan saja panjangnya sekitar tiga kali lipat dengan pagar halaman-halaman yang mereka lewati pertama.

Hanya Ibu dan Alfian yang turun dari mobil, sedangkan pria yang menjadi supir mereka tetap menunggu di mobil.

Kedatangan mereka disambut sepasang suami istri yang usianya tidak berbeda jauh dengan Ibu Alfian serta mendiang Ayahnya. Mereka tersenyum ramah dan mempersilahkan Ibu dan Anak itu untuk masuk ke dalam rumah.

Alfian semakin terpukau saat melihat keadaan di dalam. Namun sebisa mungkin bocah kecil itu mengendalikan diri.

"Halo, Alfian kan." Sapa wanita pemilik rumah itu dengan senyum hangat.

Alfian tidak bersuara, ia hanya mengangguk beberapa kali.

"Ikut sama suster ya, main di sebelah sana. Semua mainan di ruangan itu, boleh kamu mainkan. Mau kan?" Wanita itu menunjuk seorang wanita lain berseragam serba merah muda yang berdiri tidak jauh di belakang Alfian.

Alfian menoleh sebentar, kemudian pandangannya kembali terarah pada Sang Ibu yang sama sekali tidak peduli. Sang Ibu duduk dengan santai menyesap minuman berwarna merah di sebuah gelas bertangkai yang bening.

Alfian akhirnya berbalik dan mendekati suster yang sudah menunggunya. Bocah kecil itu menyambut uluran tangan suster dan mengikuti masuk ke sebuah ruangan yang berisi banyak sekali mainan. Suster tersebut meninggalkan Alfian seorang diri agar bocah tersebut tidak merasa seperti diawasi.

Jiwa anak-anaknya terusik, ia melihat begitu banyak mainan yang selama ini hanya bisa ia saksikan di layar kaca milik tetangga. Ia mendekati beberapa permainan, namun yang masih berada di dalam plastik, tidak ia sentuh sama sekali. Alfian takut jika mainan tersebut hendak diberikan pada anak lain dan jadi rusak jika ia pegang.

Sedang asyik bermain, tiba-tiba ia mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Alfian segera meletakkan mainan yang ia pegang dan berlari menuju jendela terdekat. Begitu mencapai jendela, ia menatap nanar pada mobil yang tadi ia tumpangi.

Alfian sempat melihat Sang Ibu masuk ke dalam mobil, tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Kendaraan tersebut pun segera melaju meninggalkan Alfian.

Samar-sama Alfian mendengar suara seorang perempuan yang sedang menangis. Alfian berjalan pelan menuju pintu dan mengintip. Terlihat wanita yang tadi menyambutnya sedang menangis sesenggukan dalam pelukan suaminya.

"Kasihan Alfian. Hu…hu…hu…"

"Kendalikan dirimu sayang. Nanti Alfian mendengarmu menangis." Pria tersebut mengusap punggung istrinya. "Sekarang kamu yang jadi ibunya, jadi kamu bisa melimpahinya dengan kasih sayang."

"Hu..hu..hu…ak..aku tahu. Tapi tetap saja aku merasa sedih dan marah. Bagaimana bisa seorang ibu tega menjual anaknya sendiri demi hidup foya-foya."

"Aku tidak menyangka akan secepat ini, padahal suaminya baru saja meninggal satu minggu yang lalu." Imbuh wanita itu lagi suara tersendat.

Menjual? Aku dijual?

Dua pertanyaan itu terus berputar di kepala Alfian. Ia tahu ibunya tak pernah menyayanginya, dan Alfian pun membenci ibunya karena tindakan kasarnya pada Ayah dan kepadanya. Setiap hari, setiap saat jika ibu ada di rumah, ibu akan mengucapkan kata menyakitkan itu. Tapi ia tidak menyangka ibu akan tega menjualnya.

Tenggorokan Alfian terasa sakit, ia menahan tangis.

Tidak! Anak laki-laki tidak boleh menangis!

Ia mengulang ucapan yang sering ibunya katakan jika sedang memukulinya.

Tak lama kemudian, pasangan suami istri itu datang mendekati Alfian. Keduanya berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Alfian. Tampak mata Sang Wanita sembab.

"Alfian, kenalkan, nama Ibu, Rara. Kamu bisa memanggil Bunda Rara, dan ini suami Ibu. Kamu bisa panggil Ayah Sultan." Wanita tersebut memperkenalkan diri.

Alfian menatap kedua pasangan tersebut bergantian. Ia bisa merasakan kasih sayang dari keduanya. Mata mereka berdua memancarkan kehangatan, yang sama dengan yang Alfian lihat dari tatapan mendiang Ayahnya.

Ayah Sultan masih tetap diam, ia memegang pundak Alfian dan menepuk dengan lembut beberapa kali.

"Jagoan Ayah." Lirihnya lagi kemudian berdiri dan beranjak pergi.

Bunda Rara mengusap kepala Alfian. "Ayo, kita ke kamarmu. Sudah larut malam, kamu pasti lelah." Alfian tetap diam, ia menuruti kemana Rara membawanya.

Keduanya memasuki sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangannya tersebut didesain seperti arena balap mobil. Bahkan tempat tidurnya berbentuk mobil Ferrari berwarna merah.

Wajah Alfian berbinar, ia menyukai ruangan itu. Dan Rara pun lega melihat ekspresi kebahagiaan di wajah Alfian, meskipun samar.

Dengan lembut, Rara membaringkan Alfian dan menyelimuti bocah itu. Bahkan lamat-lamat terdengar senandung keluar dari mulut Rara.

Alfian yang memang sudah merasa lelah dan mengantuk segera tidur. Ia semakin nyaman tatkala tangan Rara melingkar di tubuh Alfian yang kurus. Kehangatan dan aroma lavender yang menguar dari tubuh Rara membuat Alfian semakin jatuh ke dalam alam bawah sadarnya. Alfian tersenyum, tidak pernah sekalipun Ibunya memperlakukan Alfian seperti ini.

🚗🚗🚗

Alfian menggeliat saat sinar matahari terasa mengganggu dan terdengar suara bisik-bisik. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat ia duduk dan kesadarannya telah pulih, ia terkejut beberapa wanita berseragam hitam putih berdiri berbaris tidak jauh dari tempat tidurnya.

"Selamat pagi Tuan Muda." Ucap mereka dengan kompak sambil membungkuk.

Alfian bingung, ia turun dari tempat tidur kemudian berdiri mematung. Dua orang pelayan segera mendekat dan merapikan tempat tidurnya.

"Selamat pagi."

Suara Rara yang lembut dan ceria membuat semua menoleh ke pintu.

Para pelayan segera menyingkir dan membentuk barisan baru di dekat dinding.

"Apakah tidurmu nyenyak sayang?" Rara berjongkok dan mengusap kepala Alfian dengan lembut.

Alfian hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Selamat pagi." Ucap Alfian lirih.

"Selamat pagi." Rara mengusap pipi Alfian dengan penuh kasih sayang.

"Selamat pagi." Sultan menyusul masuk.

Alfian mengerjap beberapa saat kemudian berjalan mendekati Sultan. Setelah sudah dekat bocah laki-laki itu berlutut.

"Alfian!" Rara memekik tak percaya. Dan dengan cepat ia memerintahkan para pelayan untuk meninggalkan mereka.

"Pak, kata Ayah kita harus bekerja supaya bisa mendapatkan uang. Jadi, aku akan kerja di rumah ini untuk bisa mengganti uang yang ibu ambil karena menjualku?"

Tangisan Rara pecah, ia jatuh terduduk memukuli dadanya. Rahang Sultan mengeras, matanya berkaca-kaca. Mereka tidak menyangka Alfian mendengar percakapan mereka tadi malam.

Perlahan pria itu berjongkok dan menatap Alfian. "Kamu tidak dijual, kami hanya memberi imbalan pada ibumu karena sudah menjagamu. Jadi, kamu tidak perlu bekerja. Kamu adalah jagoan Ayah, putra kebanggaan Ayah. Mulai sekarang namamu Alfian Adhyaksa, Putra dari Sultan Adhyaksa."

Rara mendekat dan segera menarik Alfian masuk ke dalam pelukannya. "Kamu adalah putra Bunda. Tidak akan ada yang bisa merubah itu."

Alfian menangis, air mata yang sudah ia tahan sejak semalam akhirnya tumpah. Namun tidak terdengar suara sama sekali dari mulutnya. Sultan segera memeluk kedua orang yang ia sayang dengan segenap hatinya.

Dalam hatinya Alfian berjanji, kedua orang tuanya saat ini adalah Sultan dan Rara. Baginya Sang Ibu telah tiada, menyusul Sang Ayah yang sangat menyayanginya.

...****************...

Terpopuler

Comments

♕FiiStory_

♕FiiStory_

eummm awal yang lumayan seru, tapi kalo boleh tau alfian itu umurnya berapa tahun?
jika dia masih kecil tapi pikiran dia lumayan dewasa juga ya

2023-02-03

2

Tatik R

Tatik R

absen dulu

2023-01-28

1

AdindaRa

AdindaRa

Awal ceritanya berhasil memporak-porandakan hati aku kak. 😭 Kereeeeen

2023-01-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!