Rania berjalan di koridor rumah sakit sedikit terburu.
"Rania, pelan aja. Ingat kamu saat ini sedang hamil. Perhatikan juga kedua calon putramu yang ada di perut" Bu Marmi mengingatkan.
"Iya juga sich. Bagaimana aku bisa lupa kalau aku hamil" Rania memelankan jalannya.
"Jangan panik" bu Marmi mengingatkan.
Rania menanyakan bagian informasi, di mana ruangan anak berada.
"Ayo bu, lorong kiri lurus kemudian belok kanan" ucap Rania menirukan petunjuk petugas informasi.
Bu Marmi mengikuti langkah Rania yang masih saja lebih cepat dari biasanya.
"Kak, kamar atas nama anak Chiko di mana ya?" tanya Rania ke seorang perawat muda setelah sampai di ruangan yang dimaksud.
Rania tiba di kamar Chiko, di mana yang dia lihat pertama kali adalah anaknya yang tertancap jarum infus dan berbagai selang lain menempel juga di badan Chiko.
"Anakku sayang" tangisnya pecah memeluk tubuh sang putra.
"Bunda...bunda..." panggil Chiko lirih dengan muka terpejam.
"Mas, badannya panas sekali" kata Rania yang memegang Chiko. Rania cek mulai dahi sampai pergelangan kaki.
"Sudah tahu panas, makanya kita bawa ke rumah sakit. Anak kamu itu merepotkan sekali" sela Riska sewot.
Rania menatap tajam ke arah Riska.
"Oooowwww, kamu hamil juga? Itu hasil dengan selingkuhanmu yang mana?" Riska terus saja mengolok Rania yang baru datang.
Sebuah tamparan mendarat di muka Riska.
"Rania, apa yang kau lakukan?" bentak Mahendra.
"Kamu sendiri laki macam apa tak bisa jaga mulut istri kamu???" tukas Rania mulai meledak.
Bu Marmi terdiam, tak bisa mencampuri urusan mantan keluarga itu. Hanya putra Rania yang menjadi pengikat di antara ketiga orang itu.
"Hussst Riska diamlah! Chiko butuh istirahat" kata Mahendra menenangkan Riska yang malah semakin sewot mendengar ucapannya.
"Kau bela saja mantan istri kamu tuh. Bahkan dia sudah menamparku lho mas" Riska masih saja belum terima.
"Chiko sakit apa?" sela Rania di antara perdebatan suami istri itu.
Riska yang mulai pamer kemesraan di depan Rania, "Tanya aja ke dokter yang merawatnya" sela Riska masih saja dengan kata-kata memprovokasi.
Rania meninggalkan ruangan Chiko hendak menemui dokter.
"Maaf nyonya, dokternya baru bisa visite satu jam lagi. Anda bisa menunggunya" kata perawat jaga itu dengan sopan.
Rania duduk di samping tempat tidur Chiko, dan menggenggam tangan mungil yang sekarang nampak lebih kurusan itu.
"Maafin bunda Chiko" tangisnya pun mulai luruh kembali. Tak tega dengan Chiko. Dia ciumi tangan anaknya, meluapkan rasa kangen yang selama ini tertahan.
Mahendra dan Riska diam tak menanggapi apa-apa kali ini.
Tak sengaja dilihatnya luka lebam di pergelangan Chiko sebelah dalam.
Rania memandang Mahendra dan Riska meminta penjelasan.
"Biasa saja, anak kecil kan bisa saja terjatuh waktu main" jelas Mahendra. Nampak jelas raut muka Riska yang berbeda dari sebelumnya.
Tak ada balasan kata dari mulut Rania.
"Sayang, kita cari makan dulu. Mumpung anak kamu ada yang nungguin tuh" ucap Riska. Rania yang mendengar rasanya ingin sekali menyumpal mulut Riska dengan tisu toilet.
Sepeninggal mereka berdua, bu Marmi menghampiri Rania dengan membawa sebungkus makanan.
"Makanlah nak, kamu juga butuh energi" sodor Bu Marmi dengan makanan yang sudah dibuka untuk dimakan Rania.
"Makasih ya buk" tanggap Rania.
Di tengah makan Rania, dokter datang untuk melakukan kunjungan rutin ke setiap pasiennya. Tak terkecuali Chiko.
Setelah pemeriksaan selesai, "Dokter, putra saya sakit apa ya?" tanya Rania tanpa basa basi.
"Loh, anda apanya pasien. Kemarin juga ada yang mengaku mama nya" timpal sang dokter.
"Saya bunda kandungnya dokter" kata Rania lirih.
"Ooooooo..." dokter tampan nan sabar itu pun paham akan situasi wanita hamil di depannya.
"Silahkan tunggu di ruang perawat, nanti akan saya jelaskan di sana. Saya selesaikan dulu visite" beritahunya.
Rania mengangguk.
"Selesaikan dulu makannya!" suruh bu Marmi.
"He...he...iya bu" balas Rania dengan senyum membalas ucapan bu Marmi.
Rania kini telah berada di ruang perawat seperti yang diberitahu dokter tadi.
"Silahkan duduk nyonya" kata dokter itu sembari cuci tangan, karena telah menyelesaikan visite.
"Anak Chiko, umur lima tahun setengah. Datang ke IGD kemarin dengan keluhan panas tinggi selama empat hari. Sudah diupayakan dengan berobat ke bidan dekat rumah, tapi tak kunjung turun panasnya" kata awal sang dokter.
"Boleh tahu, putra saya sakit apa dok?" telisik Rania.
"Sabar nyonya" sela sang dokter.
"Apa selama ini putra anda tinggal dengan anda?" dokter itu malah balik nanya.
"Dia tinggal dengan papa dan mama sambungnya" jelas Rania.
"Ooooo...maaf nyonya. Bukannya ingin ikut campur dengan masalah keluarga anda. Tapi menurut analisa saya, putra anda punya beban psikologis yang sangat berat" kata sang dokter perlahan.
"Nyonya, kalau bisa bicarakanlah baik-baik dengan papa nya Chiko masalah ini" saran sang dokter.
"Oh ya, mengenai sakit yang sedang diderita putra anda. Saya rasa Chiko kena demam berdarah, melihat hasil pemeriksaan laborat waktu masuk rawat inap kemarin. Semoga saja tidak terjadi penurunan lagi trombosit darahnya" jelas dokter itu dengan sangat sabar.
Perawat menghampiri dengan tergopoh dengan membawa selembar kertas.
"Maaf dokter, hasil laborat serial anak Chiko barusan diantar. Ini hasilnya" kata perawat itu menyerahkan lembaran kertas yang dibawanya.
Dokter itu membelalakkan mata, seakan tak percaya dengan bacaan laborat yang dipegang.
"Mba Rani, pindahkan saja ke ICU. Saat ini Chiko butuh perawatan intensif" perintah dokter ke perawat barusan.
"Apa yang terjadi dengan putra saya dokter?" sela Rania ingin tahu.
"Kadar trombosit darah putra anda di level yang rendah sekali nyonya. Itu tandanya sudah ada perdarahan di bawah kulit" jelas sang dokter.
Pikiran Rania mulai kalut, kuatir dengan keadaan Chiko.
"Apa yang harus kulakukan dokter?" tanya Rania.
"Berdoa nyonya, akan kuusahakan yang terbaik. Semoga putra anda bisa segera melewati masa kritisnya. Maaf, saya permisi dulu" kata dokter kemudian beringsut menjauh dan kembali ke ruangan Chiko putra Rania.
Rania pun berjalan kembali ke ruangan, di mana sekarang terjadi kegaduhan antara dokter dan perawat yang nampak sedang menangani Chiko.
Mahendra dan Riska yang barusan kembali, "Apa yang terjadi Rania? Kenapa Chiko?" tangan Mahendra mencengkeram erat bahu Rania.
Rasa sakit akibat tangan Mahendra sudah tak Rania pedulikan.
Tangis Rania sudah menganak sungai melihat sang dokter yang memberikan bantuan hidup dasar pada Chiko.
Para perawat mendorong tempat tidur Chiko untuk segera dipindah ke ruang ICU, sementara dokter tetap melakukan tindakan yang tadi.
"Rania, apa yang terjadi? Tadi waktu aku tinggal Chiko baik-baik saja. Apa yang kau lakukan?" tatap tajam dari Mahendra menghunus ke arah Rania.
Tamparan keras mendarat di pipi Mahendra. Rania sudah tak sabar lagi menghadapi ulah kedua orang itu.
Mahendra semakin dibuat marah oleh Rania. Bukannya melerai, malah Riska ikut memprovokasi.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Sri Astuti
mau nyalahkan Rania itu Mahendra
2023-08-29
1
paty
rania ambil chiko seperti riska ibu tiri yg jahat
2023-03-17
2
Indri Yani
keren ceritany...lanjut Thor
2023-01-16
2