Entah kenapa sejak bertemu dengan pasangan tadi, rasa pusing, lemas ataupun mual muntahnya seakan sirna begitu saja.
Tekadnya untuk memperjuangkan hak asuh Chiko muncul begitu saja. Rasanya tak rela saja jika putra semata wayangnya diasuh oleh ibu sambung seperti Riska.
"Rania semenjak tadi kuamatin seperti ada yang kau pikirkan?" tanya bu Marmi.
"He...he...enggak kok bu" balas Rania.
"Pak, belok aja warung nasi padang depan itu ya" pinta Rania dijawab anggukan sang sopir.
"Tiba-tiba saja ingin makan paru dengan sambal ijonya bu" imbuh Rania sembari tertawa kecil karena ditatap oleh bu Marmi.
"Sudah nggak mual lagi?" seloroh bu Marmi menimpali.
"Enggak" jawab Rania.
"Bentar ya bu" pamit Rania.
"Iya, hati-hati lah" tukas bu Marmi.
Entah kebetulan atau faktor kesengajaan author, hingga Rania dipertemukan kembali dengan pasangan tak tau malu tadi.
"Hei Rania" sapa Riska terlebih dahulu saat Rania masuk. Rania hanya menatap dan tak menjawab.
Emosi yang mulai stabil kembali ingin meledak rasanya.
Enggak, aku harus bisa bermain cantik kali ini. Cukup sekali saja mereka mengerjai hidupku. Janji Rania dalam hati.
Dan cukup sekali kau menyisihkanku Mahendra, aku harus bisa membalasmu. Tangan Rania mengepal erat.
Kata-kata Riska yang tadi didengarnya saat di klinik masih terngiang di telinga Rania.
"Bu tolong bungkusin dua ya. Satu lauk paru satu lagi rendang" pesan Rania ke sang penjual.
"Baik kak. Silahkan duduk dulu" balasnya ramah.
Rania duduk tepat di samping Mahendra dan berhadapan dengan Riska. Nampak aura yang langsung berubah dari wajah Riska.
"Apa kabar kalian?" sapa Rania seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.
Rania yang rapuh tak terlihat sekalipun di mata Mahendra sekarang ini.
"Kabar kamu sendiri bagaimana?" tanya balik Mahendra. Bagaimanapun wanita di sampingnya ini pernah mengisi hari-harinya.
"Seperti yang kau lihat, aku lebih baik sekarang" ucap Rania.
"Lebih baik apanya? Wajah kamu aja lusuh begitu" sindir Riska yang memang saat ini penampilannya lebih wah daripada Rania.
Riska yang masih bekerja di tempat kerja Rania sebelumnya, tentunya ada tuntutan penampilan untuk selalu rapi.
Apa yang dikatakan Riska benar adanya, tentang penampilan Rania sekarang.
"He...he...benar sih. Aku memang lusuh. Tapi hatiku sekarang rasanya plong bebas dari kalian" tukas Rania malah terkekeh.
"Betewe, selamat atas kehamilan kamu Riska. Sudah tiga jalan empat bulan ya? Sukses dech buat kalian karena berhasil menikungku" ucap Rania sembari berdiri meninggalkan meja dan mengambil pesanan yang telah sampai meja kasir.
Mahendra dan Riska sama-sama tertegun. Dari mana Rania tahu akan kehamilanku. Batin Riska.
Sementara di pikiran Mahendra, apa Rania sudah tau kalau aku selingkuh dengan Riska sebelum kejadian itu.
"Jangan-jangan bukan anak kamu tuh yang ada di perutnya" bisik Rania ke Mahendra dengan tatapan mengarah ke Riska.
Riska segera berdiri dan hendak mengejar Rania yang berlalu pergi.
"Kamu yang selingkuh, malah kita yang dituduh" Riska coba menghalangi jalan Rania.
"Siapa yang menuduh? Kamu sendiri kan yang menginginkan sisa aku?" tukas Rania penuh sindiran.
"Ambil saja. Toh sudah aku ikhlasin buat kamu" Rania tetap melangkah meninggalkan Riska.
Rania kembali ke taksi yang menunggunya.
"Lama amat Rania?" tanya bu Marmi.
"Di dalam lumayan antri bu" terang Rania tanpa mengatakan apa yang terjadi.
.
Mempertimbangkan akan kehamilannya, Rania tak melanjutkan berburu pekerjaan.
Dengan berbekal sisa uang tabungan yang dia sisihkan saat masih bekerja dan juga uang pemberian laki-laki di malam naas itu. Rania membuka sebuah toko kelontong di pinggir jalan raya.
"Semoga saja usahaku ini berkah dan lancar" doa Rania dalam gumamannya.
Tekadnya untuk meminta kembali hak asuh Chiko sementara masih dia tunda dulu karena jika menuntut balik pasti akan banyak butuh biaya tentunya. Pikir Rania.
Rania menyewa sebuah ruko yang letaknya tak jauh dari kontrakan.
Dibantu bu Marmi Rania mulai mengisi dagangannya.
Mulai kecil-kecilan, sekarang toko kelontongnya sudah lengkap isinya. Segala macam kebutuhan sehari-hari tersedia di tokonya.
Tak terasa kehamilannya sudah menginjak tujuh bulan.
Pagi itu Rania sengaja menutup toko, karena sudah buat janji temu untuk periksa kehamilan dengan dokter Maya seperti biasa.
"Ibu, ayo berangkat" ajak Rania.
"Bentar, aku kunci dulu pintunya" tukas Bu Marmi yang memang sedang mengunci pintu toko.
Kehamilannya sekarang malah dirasakan tak banyak keluhan.
Saat di bed pemeriksaan, "Gimana nyonya? Ada keluhan nggak?" tanya ramah dokter Maya seperti biasa.
"Nggak sih dok, cuman gerak keduanya semakin aktif saja" ucap Rania.
"Oke, akan kulanjutin yacchhhh"
"Alhamdulillah sehat semua. Jenis kelaminnya disebutin nggak nih?" goda dokter Maya.
"Nggak papa dech dokter" balas Rania sambil menatap bu Marmi.
"Laki-laki semua" jelas dokter Maya.
"Alhamdulillah" tukas Rania dan Bu Marmi bersamaan.
Dokter Maya menyerahkan selembar kertas resep.
"Ini buat vitaminnya ya. Kembali kontrol sebulan lagi. Atau silahkan datang jika ada keluhan" saran dokter Maya mengakhiri sesi pertemuan kali ini.
"Makasih dokter" balas Rania dan beranjak dari duduk.
Saat sedang duduk mengantri obat, ponsel Rania berdering.
"Mahendra????" gumamnya. Nomor ponsel Mahendra memang tak pernah Rania block meski hubungan keduanya tak berjalan baik.
Rania malah melamun, tak kunjung menerima panggilan.
Rania teringat beberapa kali ingin menemui Chiko.
Rania pun hanya bisa menatap Chiko dari kejauhan saat sang putra ada di sekolah.
Bukan tak mau menghampiri, tapi Rania selalu kalah cepat dengan Mahendra dan Riska yang selalu mendatangi sang anak terlebih dahulu.
Rania tak mau berdebat dengan keduanya, apalagi dilihat oleh Chiko.
Rania ingin Chiko tetap menghargai sang papa, meski kadang rasa kangen membuncah di dada.
Antara diangkat dan tidak. Rania ragu melakukannya.
Panggilan terhenti karena Rania terlalu lama mengangkatnya.
Sebuah notif pesan masuk, dari Mahendra.
"Angkatlah. Ada hal urgen yang ingin kusampaikan" ketiknya.
Ponsel Rania kembali berdering, dari Mahendra.
"Halo" kata Rania singkat untuk menyapa.
"Chiko sakit dan sekarang rawat di rumah sakit 'A' Datanglah, karena Chiko terus memanggil nama kamu" jelas Mahendra dengan memohon pada Rania.
"Iya, aku akan datang" Rania langsung menyetujui tanpa pikir panjang.
Rania menghampiri bu Marmi yang sedang mengantri obat untuk Rania.
"Bu, seumpama nanti pulang sendiri nggak apa-apa ya?" tanya Rania.
"Emang kamu mau ke mana Nak?" tukas bu Marmi.
"Mahendra barusan mengabari kalau Chiko sakit bu. Dan sekarang sedang rawat di rumah sakit" beritahu Rania.
"Ibu akan menemani kamu, obatnya tinggal sebentar lagi. Tunggulah!" ucap bu Marmi karena mengkhawatirkan Rania.
Bisa saja di rumah sakit, banyak keluarga mantan suami Rania berkumpul.
Apalagi Rania sedang hamil saat ini.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Sri Astuti
mungkin ini cara buat Chiko bs ikut Rania
2023-08-29
1
Erik Ganteng
hehenya itulho, ,
2023-02-11
1
Tania
sabar itu subur, kata nya sih...he...he...
2023-01-15
2