Kaki Rania melangkah, mengikuti apa kata hatinya sekarang.
Bahkan bus itu telah melewati dirinya.
Kebetulan hujan turun dengan deras, Rania mengurungkan niat untuk meninggalkan halte yang mulai sepi.
"Aku harus ke mana?" lirihnya dalam hati.
Rania teringat amplop yang diberikan laki-laki tadi pagi.
Ada sih tabungan yang tersimpan di rekening pribadi, tapi melihat kondisi hujan deras sekarang tak mungkin Rania mengambil tunai dari anjungan tunai mandiri. Karena hanya tinggal beberapa lembar uang puluhan ribu di tas.
Meski menjadi istri dari Mahendra yang menjadi manager di sebuah pabrik elektronik, Rania masih bekerja di sebuah bank swasta yang lumayan besar. Sehingga penghasilannya selama ini bisa menutupi pendapatan Mahendra yang banyak dipergunakan untuk membiayai pengobatan ayahnya operasi jantung.
Rania selama ini hanya diam, meski haknya tak dipenuhi Mahendra secara penuh.
Bahkan dengan gajinya juga, Rania mengangsur pembelian rumah yang mereka tempati.
Rania menghela nafas panjang teringat pengusiran Mahendra tadi pagi. Bahkan dia diusir dari rumahnya sendiri.
Rania mulai membuka amplop dan terbelalak melihatnya. Uang ratusan ribu berbaris rapi dalam amplop itu dan juga sebuah cek.
"Apa ini maksudnya? Apa dia tak salah? Seratus juta?" gumam Rania bermonolog.
Buru-buru dia masukkan uang itu ke dalam tas nya. Deg-deg an pastinya.
Kebetulan sebuah taksi berhenti di depannya dan menurunkan seorang penumpang.
Rania naik dan menggantikan penumpang yang turun tadi.
"Tujuannya nyonya?" tanya sopir taksi tadi.
"Jalan dulu saja pak, nanti keberitahu setelah jalan" kata Rania karena belum kepikiran mau kemana.
Taksi menerjang hujan yang masih deras.
"Hotel A saja pak" kata Rania bilang ke mana tujuannya.
"Baik nyonya" tanpa banyak kata, sopir melajukan taksi ke arah tujuan yang diminta sang penumpang.
Hari masih menjelang sore saat Rania sampai di lobi hotel itu.
Tujuannya saat ini hanya ingin istirahat dan menghilangkan kepenatan karena masalah yang bertubi-tubi.
Rania teringat akan ponsel yang belum dibukanya sedari pagi.
Sebuah notif pesan masuk dari ibunya.
"Rania, pulanglah!. Ibu dan ayah sudah tahu semua. Tadi Mahendra sudah menelpon ayah kamu. Dan sekarang Ayah menunggumu pulang" tulis ibunya.
Air mata meleleh di pipi. Rania telah berdosa kepada kedua orang tua. Tentu mereka malu karena ulahku yang telah membuat aib keluarga. Pikir Rania.
Tanpa pikir panjang, Rania keluar kamar hotel dan memanggil taksi yang standby di depan hotel.
"Jalan Kenanga pak" pinta Rania.
"Baik nyonya" tukas sang sopir mengiyakan permintaan Rania.
Setelah membayar ongkos taksi sesuai yang tertera di argo Rania melangkah masuk halaman rumah.
Rania mengetuk pintu depan rumah masa kecilnya itu. Rumah yang penuh kenangan baginya.
Tak ada perubahan berarti dari tata letak. Ibunya sangat menjaga keasrian dan kebersihan rumah itu.
Apalagi sejak pensiun dari pekerjaan menjadi pegawai pemerintah, ayah Rania dengan telaten merawat kebun bunga yang menjadi hobi sang istri.
"Ibu, Ayah, Rania datang" Rania terus saja mengetuk pintu yang belum terbuka.
Pintu terbuka perlahan. Terlihat wajah ibu yang sembab seperti baru selesai menangis.
"Masuklah! Ayah kamu menunggu di dalam" suruh ibu lirih.
Dilihatnya muka ayah yang penuh rasa amarah. Rania mendekat hendak mencium tangan sang ayah, tapi sebuah tamp4ran keras mendarat indah di pipi Rania.
Belum hilang rasa perih di pipi akibat t4mparan Mahendra tadi pagi, kini mendapat tambahan dari sang ayah.
"Dasar anak tak tahu diri. Kau sudah membuat malu keluarga" umpat ayah dengan suara keras.
"Apakah ini balasan setelah kami mendidik kamu? Hah?" hardik ayah.
Rania terdiam tak berani menjawab.
"Apa kau puas?" lanjut ayah berikutnya.
"Maafkan aku ayah. Aku tak sengaja melakukannya. Bahkan aku tak tahu siapa laki-laki itu" Rania mencoba beralasan.
"Apa pantas seorang wanita bersuami dan punya anak kecil, pergi ke club malam dan mabuk-mabukan di sana?" lanjut ayah Handono masih penuh emosi.
Bagaimana ayah tahu. Pikir Rania.
"Mahendra sudah menceritakan semua. Dan siang tadi Mahendra mengembalikan kamu ke ayah" tandasnya.
"Ayah malu Rania"
"Aku dijebak ayah" bilang Rania membela diri.
"Jangan salahkan orang lain untuk menutupi kesalahan kamu"
"Dan perlu kau camkan, ayah sangat kecewa dengan kamu" ucapnya.
Rania berlari dan bersimpuh di kaki ayahnya, "Maafkan aku ayah. Maafkan aku" air mata Rania bahkan menetes di kaki sang ayah.
"Ibu, maafkan aku" Rania berlari dan bersimpuh di kaki ibunya. Nyonya Handono hanya bisa menangis.
"Lebih baik ayah kehilangan kamu Rania. Ayah terlalu malu akan perbuatan itu" kata ayah bagai petir menyambar di telinga Rania.
"Ayah...maafkan aku" kata Rania terdengar menyayat.
"Pergilah! Sebelum ayah bertindak kasar" kata ayah Handono.
"Ayah, Rania itu putri kita. Kenapa kau tega yah?" bela ibu.
"Biar dia belajar dewasa bu. Selama ini kita terlalu memanjakan dia, hingga dia jadi wanita yang tak tahu batas" ayah meninggalkan ruang tengah tanpa memperdulikan Rania yang masih bersimpuh.
Ibu dan Rania berpelukan, rasa sedih menghujam di relung hati masing-masing.
"Maafkan aku bu" kata Rania mulai bangkit dari duduknya.
Ibu masih saja menangis.
Pengusiran ayah kandungnya membuat Rania semakin kalut.
Bahkan ayahnya tak mau mendengarkan apa yang ingin dijelaskan olehnya. Seperti halnya Mahendra sang suami.
Rania kembali ke hotel tempat dia menginap. Rania pasrah atas apa yang terjadi.
Karena kelelahan Rania tertidur dengan televisi yang menyala.
Bahkan ponselnya terus berbunyi tanda notif pesan banyak yang masuk.
Rania terbangun saat jam menunjukkan jam sebelas malam, karena rasa lapar yang mendera.
Dia raih ponsel di atas nakas, inginnya memesan makanan online saja karena malas keluar kamar.
Setelah memesan menu yang diingininya, Rania beralih ke aplikasi pesan.
"Banyak sekali pesan yang masuk" gumamnya.
Dia klik aplikasi yang dominan warna hijau itu.
"Banyak sekali pesan di grub kantor?"
Rania buka. Alangkah kagetnya Rania saat semua temannya membicarakan dirinya yang digrebek sang suami karena menginap dengan laki lain.
"Bagaimana mereka semua tahu?" tanya Rania membatin.
Rania menscroll pesan satu demi satu. Ternyata awal berita itu berasal dari Riska sang sahabat. Riska yang juga menjadi teman sang suami.
Rania menggenggam erat tangannya. "Kau tega Riska".
Bahkan Rania juga membaca beberapa temannya menuntut dia dipecat karena dianggap mempermalukan kantor.
"Aku akan mengundurkan diri saja dan pergi jauh. Sudah tak ada yang mengharapkanku lagi di kota ini" ucap lirih Rania.
"Tapi bagaimana dengan Chiko?" rasa berat kembali mendera saat Rania teringat putra semata wayangnya.
"Apa dia bisa tidur lelap sekarang?" Chiko yang akan terlelap jika berada di pelukan mama nya.
"Semoga kau baik-baik saja Nak. Mama sangat menyayangimu" bisik hati Rania.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Mamah
Riska ada udang di balik bakwan
2025-04-11
1
Katherina Ajawaila
Pasti Riska ada apanya dgn mahendra. ngk mungkin aja. biasa nya teman nekat kalau ada maunya
2024-10-20
1
Amilia Indriyanti
betul.....
2024-01-26
1