Malam ini Diksi tak bisa tidur dengan nyaman, otaknya terus berfikir tentang perdebatan dengan ayahnya saat di ruang makan.
"Aku benci ayah !", katanya yang tengah duduk di pinggir ranjang sembari melihat foto mendiang ibunya dengan tatapan rindu yang mendalam.
"Kenapa Bu, kanapa kau yang pergi?", Diksi yang terus tenggelam dalam kesedihannya sambil sesekali meneteskan air mata.
Sudah lama sejak ia memutuskan untuk tidak lagi menangisi kepergian sang ibu. Namun malam ini begitu berat baginya untuk menahannya lebih lama.
"Aku tau aku suda begitu jauh dari kata baik", Diksi yang terus meneteskan air mata dan sadar dengan apa yang sebenarnya sudah salah dalam hidupnya.
Masa lalu yang mengubahnya menjadi serigala yang dingin. Diksi yang kini mulai bersikap masa bodoh dengan sekelilingnya karena terlalu memendam rasa benci kepada apapun yang terjadi dalam hidupnya.
"Kenapa Dunia tak memihak padaku, kenapa takdir ku begitu buruk Tuhan?", katanya lagi terus berteriak di dalam kamar sembari menatap foto mendiang ibunya yang masih ia pegang dan memukul tepian tempat tidur tempatnya bersandar untuk melampiaskan kekesalannya.
Saat ingatan itu kembali dia selalu merasa ketakutan dan terus menyalahkan diri sendiri akan kepergian ibunya.
"Harusnya aku tak meminta ibu udah melahirkan seorang adik untukku" katanya lagi mengingat hal yang selalu membuatnya tercekik rasa bersalah yang teramat besar.
Penyesalan demi penyesalan terus saja membuatnya tak pernah merasakan tidur dengan nyaman setelah kematian ibunya.
Hari demi hari ia lalui tanpa semangat dan tujuan untuk terus bertahan.
Misinya hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Adik tiri yang selalu mendapatkan kasih sayang penuh membuatnya semakin terbakar api yang membakar di dalam tubuhnya.
"Dasar wanita perebut..", kata Diksi sembari mengingat hari di mana ayahnya menikah dengan ibu tirinya.
"Dia sangat suka mencampuri urusanku!", katanya lagi mengoceh sendiri di dalam kamarnya.
"lihat saja tak akan ku biarkan sedikitpun harta ibuku jatuh di tanganmu, dasar nenek sihir", kata Diksi yang kemudian menatap foto ibunya yang kemudian ia taruh kembali di meja dekat ranjangnya.
"andai saja dirimu tak pergi secepat itu Bu"
"meski sudah lama berlalu, aku masih merasa bahwa dirimu masih di sini dan selalu bersamaku",
Diksi yang terus berbicara sendiri dan menatap langit-langit di setiap sudut ruangan di kamarnya.
Matanya mulai berkaca-kaca ketika mengingat secercah ingatannya tentang bagaimana cara ibunya mengakhiri hidup.
Diksi yang masih larut dalam kesedihannya mengambil foto ibunya lagi yang baru saja ia taruh, dengan bingkai kayu yang memiliki ukiran model lama namun bernilai jutaan. Diksi khusus memesan untuk mendiang ibunya.
Diksi yang mulai lelah kemudian membaringkan badannya dan merasakan remuk di sekujur tubuhnya meski ia sudah berendam dengan air hangat sebelumnya.
sesekali air matanya jatuh lagi dan lagi sampai akhirnya ia terlelap dengan matanya yang terus berair.
***
"Kemari anakku", kata seseorang dengan gaun pink yang sudah pasti Diksi mengenalnya dengan jelas.
"Ibu!", kata Diksi yang kemudian mendekat.
Namun semakin Diksi mendekat bayangan ibunya terus menjauh dari jangkauan matanya.
Diksi yang terus berlari sembari memanggil ibunya tanpa lelah.
"Bu ku mohon jangan tinggalkan aku!", teriak diksi meminta ibunya untuk tak meninggalkan ya sendiri.
sampai ia merasakan lelah karena terus berlari mengejar sang ibu, Diksi sesekali berhenti dari pelariannya namun bayangan ibunya tetap diam dan tak bergerak.
"Bu ku mohon jangan lari lagi", kata Diksi memohon pada ibunya untuk tetap diam di tempat.
"KAU PANTAS MENDAPATKANNYA...HAHAHAHAHA KAU PANTAS", bayangan ibu yang tiba-tiba berteriak pada Diksi dan membuatnya ketakutan.
Dan secara mendadak sebuah tali melilit leher ibunya dan menariknya ke atas hingga suara parau nya yang terdengar sangat menyeramkan.
"IBU.....!" teriak Diksi yang kemudian terbangun dari tidurnya.
"mimpi apa itu?", Diksi yang masih bertanya-tanya tentang mimpinya dan bangun dalam keadaan tubuh yang basah kuyup akibat keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
Layaknya berlari mengelilingi lapangan nafas Diksi mulai tersengal-sengal dalam sadarnya.
Untuk pertama kalinya Diksi memimpikan ibunya, dan mimpi yang datang membuat diksi begitu ketakutan.
Dilihatnya jam di meja kecil dekat ranjang yang menunjukan pukul 1 dini hari. Hujan turun dengan lebat malam itu, dengan diiringi suara gemuruh petir yang menambah suasana mencekam dan hawa dingin yang mulai menusuk dan membuat Diksi kedinginan.
"Ya ampun aku tertidur", kata Diksi yang kemudian meletakan kembali foto mendiang ibunya di meja tempat ia mengambil foto tersebut.
Setelah terbangun dari tidurnya Diksi tak bisa lagi untuk tidur dan memejamkan matanya meski Diksi sangat ingin melanjutkan lagi tidurnya karena ia sangat lelah namun rasa takut dan tak suasana yang tak nyaman membalutnya tetap terjaga meski sudah mencoba menutup mata.
Diksi takut jika ia akan bermimpi hal yang sama. Tangannya mulai bergetar dan trauma tentang ingatan itu datang lagi, dengan cepat ia mengambil obat yang biasa ia minum ketika tubuhnya mulai bergetar akibat trauma yang ia alami, segera Diksi mengambil obat penenang yang ia letakkan di laci meja kecil sebelah ranjang tempat ia tidur.
Mengambil satu butir obat penenang dengan tangannya yang masih terus bergetar.
Berdiri dan mengambil segelas air yang selalu tersedia di kamarnya dengan sesekali berhenti karena terus menahan tubuhnya yang bergetar tanpa henti.
***
Pagi ini rintik hujan masih menghiasi langit, Diksi yang sudah bersiap lalu pergi menuruni tangga.
Hari ini adalah hari penerimaan mahasiswa baru di kampusnya.
Meski umurnya yang terbilang masih muda namun Diksi sudah menyandang gelar sebagai ketua pimpinan di kampus tempat ia mengajar.
Dia juga masih menyempatkan waktunya untuk mengajar sastra Inggris di berbagai kelas di universitas milik keluarganya.
Maka dari itu meski sikapnya yang sedingin es, tak menutup kemungkinan para wanita tetap mengejarnya karena ketampanan dan kekayaan yang ia miliki.
"Hari ini aku sedikit mual jadi aku tidak sarapan", kata Diksi saat berjalan melewati ayahnya yang tengah menyantap sarapan pagi.
"Jangan lupa untuk ke dokter jika kau masih mual", kata ayahnya pada Diksi meskipun ayahnya tau Diksi tak akan mendengarkan sedikitpun nasehat darinya.
Pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan ayah ataupun dengan ibu tirinya.
Itu semua adalah kebiasaan yang Diksi lakukan sedari dulu. Tumbuh menjadi anak yang arogan dan pembangkang dan tak pernah mendengarkan berbagai teguran dari keluarganya, bahkan ayahnya sudah cukup menyerah untuk menasehati Diksi di umurnya yang bukan lagi remaja.
Ayahnya tak pernah berani untuk memarahi Diksi. Semua kendali kini Diksi yang memegangnya termasuk kampus peninggalan mendiang ibunya.
Anak kecil yang dulunya ia anggap sebagai kucing yang lucu kini berubah menjadi serigala yang bisa memangsa siapapun yang di kehendaki nya.
***
Hari ini kampusnya di penuhi dengan calon mahasiswa yang akan ospek di hari pertama mereka masuk kuliah.
Diksi yang sudah memarkirkan mobilnya dan bergegas turun dengan badannya yang tegap dan wajahnya yang tajam.
Setelan jas yang senada dengan dasi yang ia kenakan menambah wibawa saat ia tengah berjalan di kerumunan mata yang tertuju padanya.
Tak jarang banyak yang menunduk dan mengucapkan selamat pagi dan menghormatinya sebagai pimpinan di kampus tersebut.
Tak ada yang bisa melepaskan pandangan dari Diksi sang Pangeran yang memiliki wibawa dan ketampanan yang tiada habisnya untuk di bahas.
"Pengumuman untuk mahasiswa baru silakan memasuki lapangan indoor di bagian barat", suara keras yang berasal dari pengeras suara yang berada di kampus memberitahukan untuk mahasiswa baru segera memasuki ruangan yang sudah di tetapkan.
Acara berlangsung dengan baik hingga saat Diksi maju ke panggung sebagai ketua pimpinan untuk menyampaikan beberapa pidatonya kepada calon-calon mahasiswa.
Ruangan indoor langsung di penuhi dengan teriakan mahasiswi yang kegirangan ketika melihat pemimpin di kampusnya yang sangat muda dan tampah dengan karisma yang sangat membius setiap mata yang menatapnya.
***
"bunga coba lihat, gila..gak percuma mama dan papa menyekolahkan ku di sini,ahh... ",kata seorang calon mahasiswi pada temannya yang bernama Bunga.
"Ya ampun Din, gak usah terlalu histeris beliau juga sama-sama makan nasi kayak kita",jawab bunga cuek pada temannya dan tanpa respon yang baik seperti mahasiswi lainnya.
"Coba liat baik-baik dia bahkan jauh lebih tampan dari yang terlihat di tv dan internet ya ampun, beruntung banget pasti nanti yang jadi istrinya lebih beruntung...", kata Dini yang masih tertegun mengagumi sosok ketua pimpinan kampus yang tengah berdiri di atas mimbar dengan setiap pidato yang ia berikan.
"Aneh banget kamu tu, kita ke sini kan mau belajar bukan nyari jodoh..", kata Bunga menambahkan untuk menyadarkan pikiran temannya yang sudah terbius dengan ketampanan Pimpinan mereka.
Bunga yang terus memandangi sosok yang masih berdiri di mimbar dan sudah merasakan aura gelap di sekitar orang tersebut.
Meski yang terlihat orang lain, pimpinan yang sedang berpidato adalah orang yang sempurna namun berbeda bagi penglihat Bunga sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan untuk melihat setiap aura manusia.
"Sepertinya banyak hal gelap yang mengelilinginya", kata bunga bergeming dalam hati dan terus menundukkan pandangannya karena merasakan ketidaknyamanan ketika ia terus menatap seorang yang tengah berbicara di atas mimbar dengan parasnya yang sempurna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
sights sky
sad
2023-01-04
6