Teror

“Cuma kamu yang ada di sini. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Apa kotoran di kloset itu membawa jus alpukat ke sini?”

Sania menatap tajam pada Andina. Ia tidak suka dengan tuduhan yang ditujukan padanya. “Aku katakan sekali lagi. Jangan asal menuduhku atau aku akan menjambak rambutmu sampai rontok. Aku peringatkan, aku bukan orang yang akan bersikap lemah lembut kalau terus dipojokkan.”

Sania beralih, hendak keluar dari toilet. Ketika ia sampai di depan pintu, ia berkata, “Kalau kamu penasaran siapa yang menuangkan jus itu, kenapa nggak lapor polisi saja? Bawa gelas yang ada di tong sampah itu ke polisi. Minta mereka mengecek sidik jari siapa yang ada di sana.”

Andina mendekat ke tong sampah di sudut toilet. Ada sebuah gelas di sana. Masih tersisa beberapa tetes jus alpukat di gelas itu.

Tangan Andina mengepal. Tidak mungkin ia melapor ke polisi karena hal sepele seperti ini. Polisi pasti tidak akan meresponsnya. Malah, ia akan ditertawai.

Sembari menjinjing tasnya, Andina kembali ke kantin. Ia duduk di meja yang berbeda dengan Lani. Ia menunggu sahabatnya itu selesai makan mi ayam tadi. Dengan gerakan mulut, ia meminta Lani untuk makan dengan santai.

Andina mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mencari Dara. Ke mana sahabatnya itu?

Khawatir orang lain terganggu karena jarak mereka cukup jauh, Andina bertanya pada Lani lewat chat.

‘Ke mana Dara?’

‘Tadi dia pergi sama Danang. Katanya mau ke perpustakaan, minjam buku.’

Kedua alis Andina terangkat. Danang memang sudah lama dekat dengan Dara. Jadi, tidak heran kalau Dara pergi dengan Danang.

Andina kemudian berselancar di sosial media. Dibukanya akunnya yang lain. Ia mengecek akun Ronald. Ada beberapa story terbaru dari Ronald. Pria itu sedang berada di kelab malam. Di salah satu foto, Ronald tampak memamerkan minumannya ke arah kamera.

Andina menghela napas. Di usia sekarang, memang seharusnya mereka bersenang-senang, bukannya tenggelam dalam masalah yang terlampaui sulit diatasi.

Saat mencari tahu apa yang dilakukan Ronald lewat akun teman-teman pria itu, perhatian Andina teralihkan oleh Sania yang datang ke kantin bersama dengan tiga orang lainnya.

Sania tampak tak peduli dengan Andina. Namun, mata Andina tak bisa lepas dari Sania. Setelah kejadian di supermarket beberapa waktu yang lalu, kemudian jus alpukat yang membasahi barang-barang dalam tasnya, Andina tak bisa menatap Sania dengan cara yang tak biasa. Apalagi, ketika ia mengingat apa yang dilakukan oleh Miko. Cinta pada seseorang bisa membutakan akal sehat. Bisa saja Sania melakukan hal gila seperti yang dilakukan Miko, bukan?

Jantung Andina berdegup kencang. Ia tak mau menunggu lebih lama lagi di sana. Ia harus meninggalkan tempat itu sebelum Sania melakukan sesuatu. Dengan kondiisinya yang sekarang, ia tidak akan bisa melawan Sania. Hanya kerugian yang akan didapatkannya.

“Sembari menutup hidung dengan tangan, Andina menghampiri Lani. “La, aku pulang duluan, ya. Aku kurang enak badan.”

“Kandungan kamu nggak apa-apa?”

Mata Andina melebar. Ia memang sudah memberitahu pada Dara dan Lani kondisinya. Akan tetapi, ia masih tidak ingin seluruh kampus tahu apa yang terjadi.

“Maaf, nggak sengaja,” kata Lani, menatap sekeliling. Untung tidak ada yang mendengar ucapannya karena suasana kantin yang cukup berisik.

“Mau aku temani?” Lani menawarkan.

“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku akan naik taksi online.”

Lani mengangguk. “Kalau begitu, hati-hati. Hubungi aku kalau sudah sampai rumah.”

Andina mengacungkan jempol, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu. Ia berjalan ke arah gerbang, sembari memesan taksi online.

“Hai, Andina!”

Andina mengangkat wajahnya dari ponsel. Ia menatap seorang wanita yang melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu berlari ke arahnya.

“Monica?”

“Kamu mau bimbingan lagi? Gimana? Udah beres?” tanya Monica.

“Belum. Pak Bambang nggak ada di ruangan. Kamu dari mana?”

“Aku habis beli map dari fotokopian depan. Yang di sini habis.” Monica tersenyum tipis. “Oh ya, mengenai kejadian di resepsi kemarin. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak tahu Kak Miko akan melakukan hal seperti itu.”

Andina tersenyum. Ia menepak lengan Monica. “Nggak apa-apa. Aku mengerti kenapa Kak Miko melakukan itu. Nggak usah dipikirkan. Aku pergi dulu.”

Tak berniat mengobrol lebih lama, Andina melewati Monica. Meski bibirnya tersenyum, tapi sebenarnya ia masih jengkel. Ia tahu kenapa Monica bersikukuh mengundangnya ke pernikahan. Monica ingin pamer bahwa sebuah pernikahan itu seharusnya dirayakan dengan acara yang mewah, bukan dengan sembunyi-sembunyi seolah itu adalah aib. Dan, sialnya, hidupnya juga hampir berakhir di pesta itu.

Taksi online yang dipesan Andina datang. Ia sedikit tenang setelah berada di dalam taksi. Direbahkannya punggungnya. Ia berpikir, jika seperti ini, kapan skripsinya bisa selesai?

Sesampainya di rumah, Andina hanya berbaring di tempat tidur. Sepi. Akhyar sedang di kantor. Tak ada temannya yang bisa diajak mengobrol.

Akan banyak hari seperti ini dalam hidupnya. Hari di mana hanya ada dirinya sendiri. Untuk mengusir sepi, Andina memikirkan sesuatu. Ia harus melakukan sesuatu agar tidak gila sendirian di apartemen. Dikirimnya chat pada Akhyar.

‘Tolong belikan untukku sebuah oven sebelum pulang.’

Tidak berapa lama, chat balasan masuk. ‘Kenapa nggak beli online saja.’

‘Aku mau tidur. Nggak mau diganggu. Aku akan kirim foto ovennya.’

Andina mencari foto sebuah oven di internet, lalu mengirimnya pada Akhyar. Ia tak menunggu respons dari Akhyar lagi. Ia berbaring, lalu tidur.

Tidak sampai lima menit dan Andina belum benar-benar terlelap, bel berbunyi. Andina berdecak kesal. Ia turun dari ranjang untuk mengecek siapa yang datang.

Sebelum membuka pintu, Andina bertanya, “Siapa?”

“Ada paket untuk Bu Andina.”

“Paket?” Andina mencoba mengingat siapa yang mengirim paket untuknya. Ia tak memesan apa pun. Dan, tidak mungkin Akhyar mengirim oven yang dimintanya setelah apa yang disampaikan pada pria itu tadi.

Andina membuka pintu. Benar saja. Di kotak paket itu, tertulis namanya dan alamat apartemennya.

“Dari siapa, Pak?”

“Saya nggak tahu namanya. Tapi, ini dikirim dari Pink Bakery oleh seorang wanita.”

Andina mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya, menerima paket itu.

Setelah menutup pintu, Andina buru-buru membuka kotak paket itu. Isinya adalah kue cokelat yang sudah dihancurkan, seperti diremas oleh seseorang.

Andina langsung membuang kue itu ke tong sampah. Diambilnya segelas air dan meneguknya hingga tandas untuk menenangkan diri.

Pink Bakery hanya berjarak tiga toko dari kampusnya. Bisa ia tebak siapa yang mengirim kue itu. Siapa lagi kalau bukan Sania? Hanya wanita itu yang punya motif untuk melakukan hal seperti ini.

Setelah berpikir beberapa saat, Andina mengambil kue tadi dari tong sampah. Ia harus menunjukkannya pada Akhyar dan meminta pria itu untuk menghentikan Sania. Jika tidak, ia bisa gila terus diteror seperti sekarang. Sania sudah mulai semakin berani dan Andina semakin takut terjadi sesuatu pada kandungannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!