Jus Alpukat

Semenjak kehamilannya, Andina jarang menyetir sendiri jika pergi ke suatu tempat. Ia lebih sering naik taksi online. Ia tak ingin merepotkan siapa pun. Dan, ia ingin membuktikan dirinya bisa mandiri.

Setelah revisi yang panjang, Andina pergi ke kampus untuk menemui dosen. Sebisa mungkin, ia menghindari orang-orang yang dikenalnya. Namun, bagaimana pun ia berusaha, tetap saja ada seseorang yang melihatnya dan langsung menghampiri.

“Din, kamu kok nggak bilang mau ke kampus? Padahal, semalam aku sudah chat kamu, loh.” Lani menepuk bahu Andina hingga wanita itu melonjak kaget.

“Ah, niatnya sih memang seperti itu. Aku lagi nggak enak badan. Tapi, kalau ditunda-tunda, bakal semakin lama. Aku juga nggak tahu kapan dosen ada di kampus. Aku harus cari info biar urusan ini cepat selesai.” Andina berusaha memasang ekspresi senormal mungkin. “Kamu sendiri, kamu bilang baru ke kampus minggu depan.”

Lani mengangguk. “Aku memang maunya kayak gitu. Tapi, kamu lihat itu siapa!” tunjuk Lani pada seseorang yang berlari ke arah mereka. “Dia minta ditemani sejak kemarin. Dia bahkan sampai ke rumahku. Padahal, aku sudah malas ke kampus.”

Wanita yang dibicarakan oleh Lani mengerutkan kening. Namanya Dara. “Apa kalian membicarakan aku. Dari tatapan kalian, aku tahu kalian sedang membicarakan aku.”

“Jangan asal nuduh. Aku sudah mau menemani kamu ke sini. Seharusnya, kamu berterima kasih. Traktir minum, kek.” Lani mencubit lengan Dara pelan. “Oh ya, gimana? Udah dapat tanda tangannya?”

“Belum. Orangnya lagi ada urusan di luar,” ujar Dara geram. “Kamu mau nyari Pak Bambang, Din? Nanti siang dia baru balik. Ayo ke kantin. Aku traktir mi ayam.”

Dara kemudian merangkul Andina dan Lani. Mereka berjalan ke kantin.

“Din, kok aku ngerasa kamu gemukan?” Lani melepas rangkulannya. Ia memijat-memijat lengan Andina. “Beneran, loh. Kamu gemukan.”

“Itu tandanya dia bahagia dengan pernikahannya. Itu aja nggak ngerti.” Dara mendorong kepala Lani menggunakan jari telunjuk.

Lani mencubit pipi Dara. Tatapannya kemudian tertuju pada tubuh Andina dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Menurutnya, ini benar-benar tidak wajar. Setahunya, Andina seseorang yang sangat peduli dengan penampilan. Bahkan, pernah beberapa kali Andina histeris karena berat badannya naik beberapa gram dari batas toleransinya.

Tatapan Lani kemudian berhenti di perut Andina. “Apa kamu sedang hamil, Din?”

Pertanyaan yang diajukan Lani itu sontak menghentikan langkah Dara dan Andina. Mereka bergeming.

“Jujur aja, Din. Kami ini sahabat kamu, loh. Kami sudah mengenal kamu cukup lama. Dan, kamu tahu sendiri kalau mataku ini sangat jeli dengan penampilan seseorang. Selain berat badan kamu yang bertambah, kamu juga nggak biasanya memakai baju kayak gini.” Lani meraih ujung blus yang dikenakan Andina. “Ini bukan gaya kamu. Kamu dulu nggak suka pakai baju kayak gini.”

“Stop mengomentari penampilan Andina, Lan. Setiap orang punya waktunya untuk berubah selera. Apalagi, soal fashion.” Dara menghela napas. “Udah, deh. Din, biar Lani puas, katakan padanya. Kamu memang bahagia sekarang, makanya berat badan kamu bertambah.”

Andina tak menjawab. Ia berjalan, lalu masuk ke kantin. Ia duduk di meja dekat jendela. Dara dan Lani yang menyusul duduk di kursi yang berseberangan dengannya.

Andina menghela napas. Ia memegang perutnya. Ia tahu kalau fisiknya berubah. Entah pengaruh hormon atau nafsu makannya yang tak terkendali akhir-akhir ini. Namun, satu yang pasti. Ia tidak bisa menghentikan itu begitu saja. Dan, ia juga tidak bisa menyembunyikan apa yang terjadi selamanya.

“Aku memang hamil. Hampir empat bulan.”

Lani menelan ludah. Dalam diam, ia menelaah apa yang terjadi. Jika kehamilan Andina sudah empat bulan, berarti hubungan Andina dan Akhyar sudah jauh dari perkiraan mereka. Bahkan, saat Ronald kembali ke Jakarta sebelumnya, Andina sudah punya hubungan dengan Akhyar. Itulah yang ada di kepala Lani.

“Kamu selingkuh dari Ronald sudah lama?” Dara memastikan.

Andina terdiam. Seharusnya, teman-temannya sudah bisa menyimpulkan semuanya dari kalimat pengakuannya.

"Astaga, Andina. Aku benar-benar nggak ngerti deh sama kamu. Apa sih yang kamu lihat dari Akhyar sampai kamu seperti ini? Kalau kehamilanmu itu sudah empat bulan, berarti kamu melakukannya dengan Akhyar sewaktu Ronald di Jakarta. Dan, aku nggak yakin kalau itu hanya sekali.”

“Semua sudah terjadi. Aku nggak bisa melakukan apa pun atau mengubah apa pun lagi. Ini takdir yang harus aku jalani.”

“Takdir? Kamu berbicara seolah kamu nggak bisa memilih. Padahal, ini semua karena kebodohan kamu. Kalau kamu nggak mudah digoda, pasti ini nggak akan terjadi. Kamu nggak memikirkan Ronald sama sekali, Andina.”

Lani menatap Andina dan Dara bergantian. Melihat raut wajah Dara, ia harus menghentikan percakapan itu sekarang juga.

“Sudah. Ayo kita pesan makan saja. Aku laper banget.”

Dara membuang muka ke arah jendela.

“Oke. Aku yang pesan. Kalian tunggu di sini. Seperti biasa, ‘kan?”

Lani buru-buru menghampiri penjaga kantin. Ia memesan tiga porsi mi ayam. Ia tak kembali hingga pesanannya selesai. Hawa di antara Andina dan Dara sangat tidak menyenangkan.

Setelah pesanannya selesai, Lani kembali. Ia meletakkan nampan di atas meja, lalu menaruh satu per satu mangkuk mi ayam di depan pemilik masing-masing.

“Kenapa aku merasa seperti pegawai di kantin ini, ya?” celetuk Lani. Ia ingin mencairkan suasana, tapi jelas itu gagal total.

Saat aroma mi ayam menusuk hidung Andina, ia merasa tidak nyaman. Perutnya mulai bereaksi. Ia berusaha untuk menahan diri. Namun, gagal. Rasanya, ia ingin muntah.

“Aku ke kamar mandi sebentar,” kata Andina, meraih tasnya. Ia lantas melangkahkan kaki selebar mungkin.

Ia meletakkan tas di wastafel, lalu menghambur ke kloset yang terbuka. Ia menjeluak di sana. Beberapa mahasiswi menatap ke arahnya. Namun, Andina tak peduli. Kepalanya terasa berputar-putar.

Setelah beberapa saat, Andina berdiri. Ia berkumur-kumur di wastafel, lalu mengelap menggunakan tisu. Sialnya, tisu yang tersisa tak cukup. Ia lantas meraih tasnya untuk mengambil tisu dari sana.

Saat Andina memasukkan tangannya ke dalam tas, ia merasakan sesuatu yang lengket dan dingin. Buru-buru ia mengecek apa yang ada di tasnya. Seingatnya, ia tak punya cairan apa pun di dalam tasnya yang berwujud seperti itu.

“Jus alpukat?” Kening Andina mengerut. Semua barang-barang dalam tasnya basah karena jus alpukat.

Andina menatap sekeliling, mencari orang yang menuangkan jus itu ke dalam tasnya.

Tepat saat itu, salah satu bilik kamar mandi terbuka. Sania keluar dari sana.

“Apa kamu yang melakukan ini?” tuding Andina, menunjukkan isi tasnya.

“Apaan, sih? Aneh.” Sania mengambaikan Andina, lalu mencuci tangannya.

Hanya ia dan Sania yang ada di toilet itu. Tak ada orang lain lagi. Berarti, satu-satunya tersangka yang menyiram tas Andina menggunakan jus adalah Sania. Dan, Sania punya motif yang sangat jelas untuk melakukannya, yaitu karena Akhyar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!