Capcai

“Halo, Andina?”

Jantung Andina berdebar kencang. Hanya beberapa bulan ia tak mendengar suara itu. Namun, rasanya sudah lama sekali.

Matanya Andina berkaca-kaca. Ingin ia meneriakkan dirinya sangat merindukan orang yang meneleponnya itu. Namun, saat ia memegang perutnya, bahagia yang sempat menguasai hatinya sontak menyusut. Ia membuang napas perlahan, lalu memejamkan mata. Ia berusaha untuk terdengar santai.

“Halo, Ron. Kamu ke mana saja? Kok aku nggak bisa menghubungi nomormu?” Andina berbicara sebisa mungkin dengan nada suara yang biasa ditunjukkannya pada Ronald.

“Aku minta maaf, Din. Aku benar-benar nggak bisa menghubungi kamu. Aku sudah berusaha sebisa mungkin.

Andina menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak. Ia takut tak bisa menahan diri. Ia lantas mendekatkan ponsel kembali setelah beberapa saat.

“HP-ku hilang. Dan, aku baru menggantinya tadi. Aku sudah meminta uang sama Mama, tapi nggak tahu kenapa mereka nggak mau kirim. Ya, mereka selalu mentransfer biaya hidupku setiap minggu, tapi itu selalu pas-pasan. Aku nggak bisa beli HP baru dengan uang itu. Ini juga sangat aneh. Kenapa mereka tiba-tiba harus mentransfer tiap minggu? Biasanya satu kali sebulan. Apa sesuatu terjadi pada orang tuaku?”

Ingin Andina berteriak bahwa tidak ada yang terjadi dengan kedua orang tua Ronald. Malah sesuatu yang besar terjadi dalam hidup Andina sendiri. Namun, lagi-lagi ia menahan diri. Ia tersenyum meski tahu Ronal tak bisa melihatnya.

“Aku sudah mencoba untuk menghubungimu. Aku beberapa kali menelepon, tapi kamu nggak pernah angkat. Aku juga menghubungimu lewat e-mail dan social media. Tpi, kamu nggak balas. Ada apa, Din? Kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?”

“Aku nggak kenapa-napa. Aku cuma nggak pernah buka DM, nggak ngecek notifikasi. E-mail yang biasa aku pakai juga nggak pernah aku buka lagi.”

“Ya, ampun, Andina. Kamu tahu aku sangat cemas. Kamu nggak tanya kapan aku balik?”

“Memangnya, kapan kamu akan kembali?”

“Nggak lama. Paling tiga bulan lagi. Skripsiku hampir selesai.”

“Baguslah. Aku akan menunggu.”

“Apa selama ini kamu nggak coba menghubungi aku? Sudah beberapa bulan loh kita nggak mengobrol. Kenapa kamu nggak mengirim e-mail atau DM? Kamu tahu aku selalu aktif di social media.”

Andina terdiam. Ia memang melihat berbagai unggahan Ronald di social media menggunakan akun baru. Pria itu bersenang-senang di berbagai kelab malam. Jalan-jalan menikmati keindahan London. Tertawa bersama dengan teman-teman kampusnya. Dan, belanja berbagai macam barang mahal.

Andina menatap Akhyar. Matanya meminta bantuan untuk mengakhiri percakapan itu.

Secepat  mungkin, Akhyar menatap sekeliling. Matanya tertuju pada panci di dekat kompor. Ia mengambil pancil itu, lalu membantingnya ke lantai.

Andina tak sempat menghentikan Akhyar. Ia menutup telinga dan meletakkan ponselnya ke meja beberapa saat.

‘Udah gila ya kamu!” ujar Andina lewat gerakan bibir.

‘Cepat tutup teleponnya,’ kata Akhyar.

Andina memutar bola matanya. Ia lantas meraih ponsel kembali. “Sudah dulu, ya. Aku nggak sengaja menjatuhkan panci. Soalnya, aku lagi mau masak mi sekarang.”

Tanpa menunggu respons dari Ronald, Andina menutup telepon. Ia lantas menyalakan mode hening.

Seolah tak ingin terjadi apa-apa, Andina mengambil pisau untuk memotong wortel kembali. Namun, ternyata ia hanya sanggup bersikap seperti itu beberapa detik. Air matanya jatuh ketika baru saja mengambil potongan kedua.

“Andina?”

Tak tahan lagi bersikap biasa saja, Andina menangis sejadi-jadinya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan meski dirinya tahu itu sia-sia. Akhyar tetap bisa melihat air mata dan bahunya yang terus berguncang.

Akhyar bingung harus berbuat apa dan harus mengatakan apa. Ia belum pernah menenangkan seorang wanita yang sedang menangis. Bahkan, ibunya tak pernah menangis di depannya, termasuk saat ayahnya meninggal. Namun, ia tahu di tengah malam, di saat sendiri, ibunya menangis di kamar.

Akhyar mendekat ke Andina. Ditepuknya pundak Andina perlahan.

Tiba-tiba, Andina berubah arah. Ia memeluk pinggang Akhyar dan membenamkan wajahnya di perut pria itu. Ia lanjut menangis dengan pelukan yang semakin erat.

Akhyar menelan ludah. Ia bisa merasakan air mata Andina yang membasahi kaosnya. Tanpa mengatakan apa pun, ia mengusap puncak kepala wanita itu.

Jika ada yang melihat keduanya sekarang, pasti tidak akan ada yang percaya betapa enggannya Akhyar bertatap muka dengan Andina dulu.

Cukup lama Andina menangis hingga sikunya tak sengaja menyenggol meja. Ia tersadar. Rasa canggung mendadak memenuhi ruangan itu.

Jantung Andina berdebar kencang. Ia sangat malu karena telah memeluk Akhyar begitu saja. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Ia tak sanggup bertatapan dengan Akhyar. Namun, ia tidak mungkin menyembunyikan wajahnya dengan memeluk pria itu selamanya.

“Apa kamu sudah baik-baik saja?” Akhyar bertanya setelah merasakan tubuh Andina tidak berguncang lagi. “Apa capcai ini nggak sudah jadi dimasak?”

Andina melepas pelukannya. “Jadi. Aku masih mau makan capcai.”

Sembari berusaha keras untuk terlihat seperti tak ada yang terjadi, Andina kembali memotong wortel. Sialnya, jantungnya tak bisa kompromi. Debar jantungnya tetap kencang ketika mengingat tindakan bodoh yang baru saja dilakukannya. Bagaimana bisa ia memeluk Akhyar? Sungguh memalukan!

“Aku ke kamar dulu. Mau ganti baju. Kayaknya, selain air mata, ada ingus juga di bajuku.”

“Apa? Aku nggak ada ingus kalau nangis, ya. Jangan asal ngomong.” Andina mengangkat wajahnya. Ia memberengut.

Akhyar tertawa. Ia pergi ke kamar untuk mengganti bajunya yang basah. Tidak berapa lama, ia duduk kembali di kursi yang bersebelahan dengan Andina.

“Bagaimana kalau Ronald kembali? Apa dia akan mengerti jika kamu menjelaskan semuanya?”

Andina menggelembungkan kedua pipinya. “Aku nggak akan menjelaskan apa pun sampai anak ini lahir. Aku akan langsung tes DNA. Itu akan membuktikan semuanya.”

Akhirnya, semua sayuran selesai dipotong. Ukurannya juga sudah sesuai dengan permintaan Akhyar. Bahan-bahan lain pun disiapkan dengan cepat.

“Bagaimana dengan Sania? Apa kamu akan kembali padanya setelah pernikahan ini selesai?”

Akhyar yang sedang menyalakan kompor mengedik. “Sepertinya, nggak. Siapa aku berani kembali setelah apa yang kulakukan? Seperti yang kamu tahu? Aku nggak punya nilai lebih ... kecuali ketampananku.”

“Oh my God! Aku nggak tahu kamu senarsis ini.” Kening Andina mengerut seraya menatap Akhyar tak percaya.

Tawa Akhyar pecah. “Aku nggak narsis. Tapi, memang faktanya begitu. Kalau aku nggak punya ketampanan ini, nggak mungkin Sania mau pacaran denganku. Dan, nggak mungkin juga kamu mau menikah denganku. Ya, aku tahu ini pernikahan sandiwara. Tapi, setidaknya kamu bisa membanggakan ketampananku ini di depan banyak orang.”

“Teruslah mengoceh hal yang nggak diakui orang lain.” Andina berdiri. “Beritahu aku kalau sudah masak, ya. Aku akan menunggu di depan TV.”

“Iya. Aku akan memanggilmu nanti.”

Andina berjalan ke arah ruang tamu. Ia menahan senyumannya.

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!