“Terima kasih.”
Dua kata yang terus terngiang di kepala Akhyar. Kata yang untuk pertama kali terucap dari mulut Andina dan ditujukan untuknya. Nada bicaranya memang terdengar datar, tapi entah kenapa Akhyar merasa ada kebanggaan tersendiri mendapatkan dua kata itu. Mungkin jika terucap dari mulut orang lain, akan terasa biasa saja. Namun , ini adalah Andina, wanita yang selalu bersikap angkuh di depan Akhyar. Yang ketika mereka tak sengaja berpapasan di jalan selalu memberikan tatapan merendahkan.
Untuk mendapatkan terima kasih itu, ada pengorbanan yang harus dilakukan. Bukan hanya tangannya yang terluka, bisa saja nyawanya yang menghilang saat mengambil keputusan bodoh itu.
Bukan rasa sakit yang muncul di wajah Akhyar. Sudut bibirnya malah terangkat ke atas, membentuk senyum tipis yang dirinya sendiri bingung ketika tersadar.
Akhyar menggeleng. Ia lantas meringis ketika melihat perban di tangannya. Aktivitasnya bisa terganggu karena hal itu.
Akhyar kemudian merebahkan tubuh di ranjang. Di kepalanya kembali muncul kejadian tadi. Betapa mengerikan apa yang bisa diperbuat oleh seseorang yang masih berharap. Ia tak tahu apakah Miko dan wanita itu sudah saling berbicara mengenai pernikahan itu. Jika sudah, tak seharusnya Miko mengacau di pesta. Atau, mereka sudah berbicara, tapi Miko masih bersikukuh?
Bayangan wajah Sania muncul di kepala Akhyar. Ia berharap wanita itu sudah menerima perpisahan mereka. Lagi pula, ia bukan siapa-siapa. Ia hanya anak pembantu yang tak bisa menjamin kehidupan Sania.
Karena belum sempat makan apa pun tadi di pesta, Akhyar memesan makanan lewat aplikasi online. Ia juga memesankan makanan yang sama untuk Andina. Diantarnya makanan itu setelah sampai ke kamar Andina. Mereka makan masing-masing.
Usai makan, Akhyar membuka laptop. Ia tahu jenjang kariernya tidak akan terlalu lama di Hotel Teratai Putih. Namun, ia bisa mengambil kesempatan ini untuk belajar banyak hal agar ketika mencari pekerjaan lain nanti dirinya lebih siap.
Akhyar terus bekerja hingga larut. Makan malam pun, ia sambil mencari informasi di internet.
Akhirnya, ia menutup laptop ketika jam menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia lantas membaringkan tubuhnya, bersiap untuk tidur.
Tidak sampai satu jam setelah Akhyar memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Keningnya mengerut, mendengar ketukan itu semakin lama semakin kencang.
Akhyar turun dari ranjang sembari berdecak.
“Ada apa?” Akhyar menoleh ke jam dinding di kamarnya. “Ini hampir pukul dua, loh. Aku baru mau tidur.”
“Aku ngidam. Aku mau makan capcai?”
Mata Akhyar melebar. “Capcai? Di jam seperti ini?”
Bersamaan dengan itu, suara petir menyela percakapan keduanya. Detik berikutnya, hujan turun dengan deras.
“Kamu lihat sendiri? Di luar hujan lebat. Dan tanganku juga sekarang dalam kondisi seperti ini. Nggak mungkin aku keluar untuk membeli capcai.” Akhyar menunjukkan tangannya yang dibalut perban.
Mendengar suara hujan yang semakin lebat, Akhyar teringat dengan waktu ia membeli martabak untuk memenuhi ‘ngidam’ Andina. Martabak itu hanya dimakan sepotong oleh Andina. Padahal, ia sudah bersusah payah membelinya sampai hujan-hujanan.
“Kalau kamu nggak bisa, ya sudah.” Andina berbalik dengan raut wajah masam.
Lagi-lagi sifat tak tega Akhyar muncul. Ia meraih tangan Andina, lalu menarik wanita itu ke dapur.
“Duduk,” ucapnya, menunjuk meja di sana.
Akhyar membuka kulkas. Ada wortel, sawi, dan brokoli. Sudah jauh dari kata segar, tapi masih bisa digunakan.
Akhyar mengambil pisau, dari baskom. Diletakkannya semua yang diambilnya di depan Andina.
“Kamu potong-potong sayurannya, aku akan menyiapkan bahan yang lain.”
“Apa? Aku belum pernah memotong sayuran.” Andina mendorong baskom menjauh.
“Selalu ada saat pertama untuk melakukannya. Kamu tinggal pilih, mau memenuhi ngidammu itu atau menahannya. Keputusannya ada di tanganmu.”
Kedua alis Andina hampir bertautan. “Memangnya kamu bisa memasak capcai?”
“Kalau cuma capcai, itu masalah gampang. Aku sering melihat Ibu memasaknya.”
“Ya, aku suka capcai buatan Bu Nani.”
“Kalau begitu, potong sayurannya, aku akan menyiapkan bahan-bahan yang lain.” Akhyar mengulang perintahnya.
Terpaksa Andina menurut. Ia sangat ingin memakan capcai. Membayangkan seporsi capcai, membuat air liurnya hampir menetes.
Akhyar mengambil beberapa bumbu dapur dan meletakkannya dalam baskom. Saat ia hendak meminta Andina mengupas bawang dan membersihkan bumbu dapur lainnya, ia melongo ketika melihat sayuran yang dipotong Andina.
“Apa seperti ini caramu memotongnya?”
“Memangnya kenapa?” Andina bertanya dengan wajah polos.
“Lihat, dong. Ini terlalu besar. Apa kamu pernah melihat capcai dengan potongan brokoli sebesar ini?”
“Yang nggak tahu. Menurutku ini sudah cukup kecil.”
Akhyar membuang napas dengan kasar. “Potong dua lagi semua yang sudah kamu potong itu. Wortelnya juga. Itu terlalu tebal. Iris lagi. Terus kupas bawang ini.”
Kening Andina mengerut. “Kenapa aku harus melakukan semua ini?”
“Karena kamu yang ngidam, bukan aku. Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku perintahkan.”
Akhyar kemudian duduk. Ia mengawasi Andina memotong kembali brokoli.
“Oh ya, bagaimana dengan laki-laki di pesta itu?” Akhyar memulai kembali percakapan agar suasana tidak canggung. “Namanya Miko, ‘kan?”
“Kak Miko? Mereka setuju untuk berdamai.”
“Berdamai?” Akhyar mengangkat tangannya. “Bukannya aku harus ada di sana kalau mau berdamai? Aku yang jadi korban.”
Andina melirik tangan Akhyar sembari terus memotong brokoli. “Itu salahmu sendiri. Kan aku sudah bilang, Kak Miko meminta tolong aku. Kamu saja yang berinisiatif untuk melakukan hal bodoh itu. Oh ya, kalau kamu mau memulai berdebatan soal ini seperti tadi siang, lebih baik kita akhiri percakapan ini.”
Hampir saja kalimat yang sama dengan tadi siang terucap dari mulutnya. Untung ia masih bisa menahan kalimat itu.
“Lalu, si Miko itu mau menerima keadaan yang sekarang? Maksudku, yakin dia nggak akan berbuat hal aneh lagi?”
Andina mengedik. “Itu bukan urusanku. Kata Monica, mereka sudah menandatangani surat perjanjian. Kak Miko harus menjaga jarak.”
Akhyar menunjuk wortel yang belum dipotong. “Lagi pula, aku nggak habis pikir apa yang diharapkannya dengan melakukan itu? Dia berharap mereka akan kembali bersama gitu?”
“Jangan asal bicara. Kamu nggak tahu saja isi hati orang lain bagaimana. Kamu sendiri lihat apa yang dilakukan Sania, ‘kan? Dia sengaja menyenggolku di supermarket kemarin. Berdoa saja dia nggak akan berbuat nekat seperti Kak Miko.”
“Nggak mungkin Sania berbuat seperti itu. Dia perempuan yang sangat mementingkan harga dirinya.”
Tawa Andina hampir saja lepas. “Kalau sudah dibutakan dengan yang namanya cinta, banyak yang lupa dengan harga dirinya sendiri.”
Seketika, tangan Andina berhenti memotong wortel. Ia merasa kalimat yang diucapkannya menampar dirinya sendiri. Ia juga tak mementingkan harga dirinya di depan Ronald. Hidupnya ia serahkan pada pria itu.
Ponsel Andina berdering. Suasana apartemen yang sepi, membuat dering ponselnya terdengar dari kamar ke dapur. Ia lantas berdiri untuk mengambil ponsel dari kamar.
“Aku saja yang mengambilnya. Kamu lanjut memotong saja.” Akhyar menggantikan Andina ke kamar wanita itu.
Nomor yang menelepon adalah nomor baru. Akhyar menyerahkan ponsel pada Andina tanpa menanyakan apa pun.
“Siapa ini?” gumam Andina. Ia menggeser tombol hijau.
“Halo, Din.”
Darah Andina berdesir. Suara yang menyapanya sangat familier. Suara yang ia rindukan dan ia harapkan kehadirannya di saat ini juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments