Andina Jadi Sandera

Akhyar hanya tersenyum mendengar percakapan orang-orang di depannya. Ia tidak peduli dengan apa yang mereka katakan. Hari ini, Akhyar tak ingin membuat hari Andina rusak. Meski ia tidak sanggup untuk membuat suasana membaik, setidaknya ia tidak membuat suasana semkain memburuk.

“Aku ke kamar mandi dulu.” Andina berdiri.

“Aku akan mengantarmu.”

Sebelum Akhyar berdiri, Andina menahan tangan pria itu. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Kamu tunggu saja di sini. Tolong jaga tasku sebentar.”

Akhyar mengangguk. Ia terus menatap Andina hingga menghilang di antara tamu yang semakin banyak.

“Apa kamu memang mencintai Andina?” Surya menjentikkan kedua jarinya tepat di depan wajah Akhyar yang terus menatap ke arah perginya Andina.

Akhyar terkesiap. Keningnya mengerut. “Itu pertanyaan yang nggak perlu aku jawab. Kalau aku nggak mencintai Andina, nggak mungkin aku menikahinya.”

“Benar juga.”

Akhyar berdiri. “Aku akan menyusul Andina. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya.”

Semua orang yang ada di sana saling bertukar tatapan. Mereka mengedik, melihat sikap Akhyar yang sangat bertolak belakang dengan yang mereka ketahui selama ini.

Di kamar mandi, Andina berdiam diri. Ia hanya menatap pantulan dirinya di cermin. Ia tak peduli dengan orang-orang yang keluar masuk.

Setelah merasa kakinya pegal, ia keluar. Ia terperanjat, melihat Akhyar berdiri di samping pintu.

“Kenapa kamu ada di sini?”

“Aku tahu kamu pergi ke kamar mandi untuk menghindari mereka. Jadi, untuk apa aku di sana. Aku lebih nggak suka duduk bersama mereka daripada kamu.”

Andina menghela napas. “Ayo kembali ke sana. Mereka bisa membicarakan kita nanti. Kita hanya perlu bertahan di sana setengah jam lagi. Setelah itu, kita bisa pulang.”

“Oke.”

Akhyar dan Andina kembali ke ballroom. Tamu yang datang semakin banyak. Teman-teman Andina yang tadi berkumpul, sekarang sudah berpencar.

Kedua mempelai memasuki aula. Semua orang bertepuk tangan. Tidak lama, satu per satu tamu undangan naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat pada pengantin. Andina menunggu agar tidak perlu antre terlalu lama.

Di tengah antrean dan alunan musik yang mengalun, tiba-tiba seorang pria menerobos keramaian. Pria itu melompat ke pelaminan dengan pisau di tangannya. Semua orang yang mengantre sontak bubar. Mereka menjauh dari pelaminan.

“Kak Miko?” gumam Andina, menyembut nama pria yang baru saja naik ke pelaminan itu.

“Kamu mengenalnya?” tanya Akhyar.

“Iya.” Andina mengangguk. “Dia pacarnya mempelai perempuan. Kedua pengantin dijodohkan karena perusahaan mereka bekerja sama. Itu sudah biasa dalam hal bisnis. Yang aku nggak habis pikir, kenapa Kak Miko sampai berbuat seperti ini?”

Satpam hotel mulai memenuhi ballroom. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Pisau di tangan pria bernama Miko itu bisa saja saja menghunjam tubuh salah satu pengantin atau anggota keluarga yang  masih bertahan di pelaminan.

“Kita harus keluar dari ini sekarang.” Akhyar menarik tangan Andina.

Andina mengangguk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat mempelai wanita turun dari pelaminan bersama dengan Miko.

Khawatir Miko tiba-tiba mengamuk, Akhyar menarik Andina ke dinding, menjauh dari jalan.

Akhyar berpikir pengantin wanita akan pergi dengan sukarela bersama sang mantan. Namun, ternyata dirinya salah. Sang pengantin wanita tiba-tiba menendang Miko hingga jatuh.

Miko yang hendak keluar tak menyadari pengantin wanita akan melakukan hal itu. Ia berpikir bahwa cintanya belum berakhir. Ia ingin hidup bersama dengan wanita yang dicintainya. Ternyata, kenyataan tak berpihak padanya.

Saat sang pengantin wanita berhasil menjauh, satpam hotel langsung berlari menghampiri Miko. Buru-buru Miko berdiri. Ia menatap sekeliling. Matanya kemudian berhenti pada Andina.

Miko melompati kursi. Ia terus menerjang hingga berdiri di depan Andina.

Sialnya, Andina tak sempat kabur. Miko langsung menarik tangannya dan meletakkan pisau di leher Andina.

Miko membawa Andina melewati kursi dan berjalan ke arah pintu.

“Jangan berbuat macam-macam atau kutebas leher perempuan ini!” teriak Miko.

Akhyar menatap para satpam. Ia berharap orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun, mereka hanya mundur tanpa melakukan apa pun.

Dada Akhyar naik turun. Kepalanya terasa panas. Keselamatan Andina adalah tanggung jawabnya. Tak peduli jika pernikahan mereka adalah sandiwara. Ada janji yang harus ia tepati. Dalam balas budi yang dilakukannya, keselamatan Andina dan bayi yang dikandung wanita itu adalah nomor satu.

 Akhyar perlahan bergerak. Langkah demi langkah dengan mata tak lepas dari Miko. Diambilnya sendok garpu ketika melewati salah satu meja. Ia terus bergerak hingga berdiri tepat di samping pintu.

“Minggir dari jalanku!” perintah Miko dengan suara bergetar. Keringat membasahi tubuhnya.

Akhyar menunggu Miko lengah. Akan tetapi, dengan kewaspadaan Miko sekarang, ia khawatir Andina akan dibawa tanpa ada kesempatan untuknya menyerang. Ia harus berpikir secepat mungkin.

Diambilnya alat rias dalam tas Andina yang dibawanya sejak tadi. Ia lantas melempar alat rias itu ke belakang Miko.

Di saat Miko menoleh ke belakang karena mendengar benda jatuh, Akhyar menerjang. Ia memegang mulut pisau yang berada di leher Andina. Ia lantas menancapkan garpu yang diambilnya ke lengan Miko.

Andina terlepas dari cengkeraman Miko. Ia menjauh dengan mata melebar.

Satpam hotel pun meringkus Miko.

Napas Akhyar tak beraturan. Ia menjauhkan tangannya dari pandangan. Ia mematung dan perlahan matanya terpejam. Tubuhnya mulai bergetar.

“Dasar bodoh!”

Akhyar mendengar umpatan itu. Ia lantas membuka mata, menatap Andina yang membalut tangannya dengan taplak.

“Ayo pergi dari sini.” Andina mengambil tasnya, lalu menarik Akhyar.

Andina buru-buru membawa Akhyar ke rumah sakit. Darah yang mengalir dari luka di tangan Akhyar tidak bisa ditangani hanya dengan selembar taplak. Akhyar juga sejak masuk mobil tadi tidak membuka mata lagi. Tampak jelas kalau pria itu takut dengan darah.

Akhyar baru membuka mata kembali setelah lukanya dibalut dengan perban oleh dokter. Ia menghela napas lega.

“Apa kamu bodoh?” ujar Andina setelah mereka berada di mobil hendak pulang.

“Bodoh?”

Kening Akhyar mengerut. Seharusnya, wanita itu berterima kasih karena sudah diselamatkan, bukan mengolok-oloknya.

“Kamu takut dengan darah, ‘kan? Makanya waktu kamu terkena pecahan kaca kemarin, kamu berteriak histeris seperti. Padahal, itu hanya luka kecil.”

Akhyar tidak menjawab. Ia menoleh keluar.

Andina menyalakan mobil. Ia kemudian melaju perlahan.

“Aku nggak butuh bantuanmu tadi. Seharusnya, kamu biarkan saja Kak Miko membawaku.”

Akhyar berdecak. “Apa kamu nggak bisa menghargai usahaku? Aku berusaha menyelamatkanmu.”

“Ya, karena itu kamu terluka. Kamu nggak perlu melakukan itu. Tadi, Kak Miko berbisik padaku. Dia meminta bantuanku untuk menjadi sandera agar bisa keluar dari hotel tanpa ditangkap.”

Akhyar mengusap keningnya. Ia menatap perban yang membalut tangannya.

“Jadi, apa yang aku lakukan nggak ada gunanya?” Akhyar tertawa sinis. “Kalau begitu, aku benar-benar bodoh. Aku sampai terluka seperti ini karena sesuatu yang sia-sia.”

“Kamu memang bodoh. Tapi, nggak ada yang sia-sia. Karena kejadian ini, aku tahu kamu bisa diandalkan ketika aku dalam bahaya. Terima kasih.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!