Akhyar menatap pakaian yang melekat di tubuh Andina. Tak ada yang aneh. Semua tampak normal seperti biasa. Semua yang dipakai oleh Andina berasal dari merek ternama. Gaji yang didapat oleh Akhyar dari pekerjaannya di restoran kemarin belum tentu cukup untuk membeli satu setel pakaian Andina.
“Apa yang salah?” tanya Akhyar, tidak mengerti.
Andina mendengkus. Ia mempercepat langkahnya.
Kening Akhyar mengerut. Ia mengikuti Andina. Dibukakannya pintu mobil untuk wanita itu.
“Apa maksudmu tadi? Apa yang kamu pakai baik-baik saja. Semua tampak normal,” kata Akhyar setelah mereka di dalam mobil.
“Kenapa kamu sangat sulit mengerti, Akhyar? Aku dengar nilai IPK-mu yang tertinggi di jurusan ini.”
“Ya, jelaskan dulu. Soalnya, dari kacamataku, semua tampak baik-baik saja.”
Andina menghela napas. “Kamu lihat baju yang aku pakai. Aku nggak pernah memakai baju selonggar ini. Kenapa aku memakai baju seperti ini? Karena aku hamil, Akhyar. Perutku membesar. Dan, aku nggak ingin semua orang tahu itu. Senggaknya untuk saat ini. Aku nggak mau.”
Sekarang, Akhyar mengerti. Baju yang dipakai Andina memang baru. Akan tetapi, wanita itu memang tidak pernah memakai baju yang terlalu longgar. Perutnya akan tampak jelas terlihat jika mengenakan baju yang seperti biasa dipakainya.
“Lalu, bagaimana sekarang? Aku sudah telanjur bilang ‘iya’ tadi. Atau, aku bilang saja pada Monica kita nggak jadi datang.”
Dengan wajah malas, Andina memutar bola matanya. “Temani aku ke mall sekarang. Aku akan cari baju untuk ke pesta itu. Kita nggak mungkin nggak datang. Bisa-bisa, Monica akan selalu membahas masalah itu nanti.”
Karena Akhyar mengakui ini adalah kesalahannya, ia pun mengikuti kemauan Andina. Alih-alih ke rumah, ia malah mengantar wanita itu ke mall. Ia selalu berjalan di belakang Andina, memastikan wanita yang dijaganya itu tidak terjatuh.
Satu jam lebih, Akhyar dan Andina berkeliling mal. Mengecek satu per satu toko, mencari baju yang sesuai dengan keinginan Andina.
“Apa kita perlu mencari ke mal yang lain?”
Andina berkacak pinggang. Ia sudah mulai kelelahan. Namun, tak satu pun toko di mal itu menyediakan baju yang sesuai dengan seleranya.
“Nggak perlu. Aku akan mengambil yang ada saja.” Andina keluar dari toko tempatnya berada sekarang, lalu kembali ke toko yang mereka kunjungi setengah jam yang lalu.
Akhirnya, Andina mengambil gaun yang paling mendekati seleranya. Gaun berwarna hitam. Tentu dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya. Ia berharap gaun itu bisa menyembunyikan apa yang terjadi pada dirinya.
Usai memilih pakaian, mereka pun pulang.
Akhyar benar-benar merasakan perubahan sikap Andina. Wanita yang biasa sesuka hati memberinya perintah, kini terlihat ingin berusaha sekeras mungkin agar bisa melakukan apa pun sendiri. Seperti setelah membayar gaun yang dipilih, Akhyar sempat menawarkan diri untuk membawa kantung belanjaan Andina. Namun, wanita itu menolak.
Jika dilihat dari hubungan mereka sebelum pernikahan atau setelah pernikahan, sudah sewajarnya Andina sama sekali tidak berbicara dengannya. Saat Bu Nani bekerja di rumah Pak Satrio dan Akhyar datang ke rumah itu, dari tatapan Andina setiap kali mereka bertemu seolah menegaskan mereka berada di kasta yang berbeda.
“Kamu hanya perlu bertahan beberapa bulan, Akhyar. Nggak sampai setahun,” ucap Akhyar pada dirinya sendiri.
***
Hari pernikahan kakaknya Monica tiba. Sejak pagi, Andina berulang kali mengecek pantulan dirinya di cermin. Ia memastikan semua orang yang bertemu dengannya nanti tidak tahu tentang kehamilannya. Ia masih butuh waktu. Satu atau dua bulan lagi agar ceritanya bisa lebih diterima orang-orang.
Andina tersentak, mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia beralih, membuka pintu.
“Apa kamu sudah siap? Ini sudah siang.” Akhyar berdiri di depan pintu menggunakan setelan lengkap. Jas dan celana hitam, putih kaos putih ia kenakan.
Andina mengangguk. Ia mengambil tasnya yang diletakkan di meja rias. Ia kemudian berjalan lebih dulu.
“Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan?” Akhyar bertanya setelah mereka berada di dalam mobil. “Aku nggak kenal dengan semua orang yang ada di pesta itu. Katakan saja kalau ada yang nggak boleh aku lakukan di sana.”
“Kamu sudah tahu semuanya. Jadi, aku nggak perlu menjelaskannya lagi.” Andina menyandarkan punggungnya. Ia lantas memejamkan mata.
Akhyar tancap gas ke lokasi pesta. Acaranya diadakan di sebuah ballroom hotel.
Sesampainya di lokasi, Akhyar menatap sekeliling. Ia bisa melihat jepas perbedaan antara hotel itu dengan Hotel Teratai Putih. Selain tamu undangan pernikahan, tamu yang menginap di hotel itu juga lalu-lalang di lobi.
“Jangan terlihat kampungan.” Andina memperingatkan karena hampir saja Akhyar menabrak seseorang.
“Maaf. Aku cuma mau melihat kenapa bisa hotel ini lebih ramai daripada Hotel Teratai Putih.”
“Sudah. Jangan terlalu banyak berpikir. Akan banyak yang harus kamu tangani nanti di dalam. Hemat tenagamu.” Andina mengikuti salah satu rombongan tamu yang baru datang.
Akhyar mengerucutkan bibir. Ia lantas mengekor di belakang Andina.
Mereka pun sampai di ballroom hotel. Sudah banyak tamu yang datang. Agar tidak terlalu kelelahan, Andina duduk di salah satu meja. Ia sengaja duduk di tengah orang-orang yang tak dikenalnya.
Teman-teman kampus Andina sudah banyak yang datang. Mereka berkumpul di meja paling dekat dengan pelaminan.
Andina berharap mereka tidak akan menyadari kehadirannya. Namun, baru lima belas menit berlalu, dua orang teman dekatnya menyadari kehadiran Andina. Dua wanita itu berjalan ke meja tempat Andina duduk.
“Din, kapan kamu ke kampus lagi?” tanya Ratih. “Aku mau numpang, dong. Mobilku dibawa kabur sama adikku. Minggu depan baru balik.”
“Aku belum bisa pastikan. Kamu tahu sendiri, aku masih harus revisi. Coretan di skripsiku main bertambah. Aku nggak bakal bisa selesaikan dalam minggu ini.” Andina pura-pura terlihat frustrasi. “Kenapa nggak minta Laura aja yang menjemputmu?”
Ratih menatap sinis pada wanita yang duduk di sampingnya. “Aku masih ingin panjang umur. Duduk di mobil yang sama dengannya bisa memperpendek umurku. Kamu mengerti maksudku, ‘kan?”
“Hei, kamu lihat sendiri. Apa aku pernah kecelakaan? Nggak, ‘kan? Keahlian menyetirku ini nggak perlu kamu ragukan lagi.” Laura mengangkat dagunya.
“Hei, Andina! Kami pikir, kamu nggak akan datang.” Surya bersama dengan teman-teman sekampus yang lain mulai berdatangan. Pria itu menepuk pundak Andina karena memang mereka cukup akrab.
Andina memalingkan wajahnya. Aroma parfum Surya hampir membuatnya muntah.
“Akhyar, ini pertama kali kamu berada di tempat semewah ini, ‘kan? Nikmati sebisa mungkin. Jarang-jarang kamu bisa berada di tempat mewah seperti ini. Ya, aku tahu kalau Pak Satrio itu punya Hotel Teratai Putih. Tapi, hotel ini jauh lebih mewah daripada hotel itu. Kamu bisa lihat perbedaannya, ‘kan?”
Akhyar memutar bola matanya. Ia melihat Andina tidak nyaman dengan percakapan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments