Bu Rini menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki. Begitu melihat Akhyar di pintu, ia berdiri dengan tatapan nanar. Langkah yang penuh intimidasi tertuju pada Akhyar. Tak ada yang berani mencegat, bahkan Bu Nani sekali pun.
Satu tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Akhyar. Andina yang tadi tertidur sontak terjaga.
“Apa sebegitu sulit meluangkan waktu untuk menjemput Andina? Apa yang kamu lakukan di kantor? Suamiku nggak mengharapkan apa pun darimu di sana. Di perusahaan, kamu cukup duduk dengan tenang dan melakukan tugas-tugas kecil.”
Akhyar menunduk. “Saya minta maaf, Bu.”
“Mama!” panggil Andina. “Sudah. Aku juga nggak apa-apa. Ayo kita pulang.”
Bu Rini berlari menghampiri Andina yang hendak turun dari ranjang. “Kita tunggu satu hari saja, ya. Walaupun dokter bilang kamu nggak apa-apa, tetap saja Mama khawatir.”
“Akhyar, kamu bawa mobil ke sini?” Andina tidak memedulikan ucapan ibunya.
Akhyar menggeleng.
“Kalau begitu, aku akan istirahat sebentar lagi di sini. Tolong ambil mobil sekarang. Aku nggak mau naik taksi. Aku mau naik mobilku sendiri.”
Dengan sigap, Akhyar mengangguk. “Aku akan segera kembali.”
Tanpa menunggu lebih lama, Akhyar berbalik. Ia meninggalkan ruangan itu secepat mungkin. Sementara Andina kembali berbaring.
Tak ada yang bisa membantah Andina di ruangan itu. Saat ingin pulang, ia akan pulang. Ia tidak bisa ditahan meski sedetik pun.
Setelah Akhyar kembali, Andina meminta ibunya untuk memanggil dokter untuk memastikan kondisinya sekali lagi dan melepas infusnya. Ia kemudian pulang bersama dengan Akhyar.
Di dalam mobil, suasana benar-benar canggung. Akhyar menyalakan mobil tanpa menoleh pada orang yang duduk di sampingnya.
“Nggak usah terlalu dipikirkan,” kata Andina setelah mereka meninggalkan tempat parkir rumah sakit.
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Sudah aku bilang. Tidak usah dipikirkan. Lagi pula, menjagaku bukan kewajibanmu. Kita bukan siapa-siapa. Kita hanya dua orang asing yang kebetulan harus terikat untuk sementara. Aku memaklumi itu. Aku bukan anak kecil yang nggak ngerti apa pun.”
“Bagaimana kecelakaan itu terjadi?”
“Ada motor yang tiba-tiba lewat di depan taksi yang aku tumpangi.”
“Kamu melihat orangnya?”
Andina menghela napas. Ia memegang perutnya. Meski tampak tenang dari luar. Sebenarnya, hingga detik ini, ia masih merasa ngeri jika mengingat kecelakaan itu.
Taksi yang ditumpanginya melaju dengan santai. Tiba-tiba seorang pengendara motor lewat dengan kecepatan tinggi. Agar tidak menabrak motor itu, sopir taksi banting setir hingga menabrak pembatas jalan. Kening Andina membentur bagian belakang jok depan karena ia tidak memakai sabuk pengaman.
Ia masih beruntung. Tak ada luka yang serius. Kandungnnya juga tak ada masalah.
“Aku nggak lihat muka orangnya,” kata Andina, menutup mata.
Akhyar mengangguk. Ia kemudian fokus menyetir. Satu-satunya yang diperlukan Andina sekarang adalah istirahat, bukan interogasi. Akhyar harus memahami itu.
Sesampainya di apartemen, Akhyar terus berjalan di belakang Andina hingga wanita itu berbaring di ranjang.
Sebelum keluar dari kamar Andina, Akhyar bertanya, “Apa kamu butuh sesuatu?”
“Nggak. Tutup saja pintunya.”
Akhyar mengangguk. Ia keluar dari kamar itu. Namun, setelah kejadian siang tadi, ia tak melepaskan tatapan lagi dari pintu kamar Andina. Ia juga memasang indra pendengarannya sefokus mungkin agar bisa mendengar jika Andina meminta sesuatu.
Perasaan bersalah menyelimut dada Akhyar. Hingga beberapa hari berikutnya, raut wajah ketakutan Andina masih tampak jelas di ingatannya. Setiap hari, Akhyar meletakkan ponsel di dekatnya dengan nada dering yang paling kencang agar ia mengetahui ada chat atau telepon yang masuk.
Namun, Andina tidak pernah lagi meminta bantuannya. Wanita itu seolah menjauh dan berusaha untuk melakukan apa pun sendiri.
Di saat Akhyar sedang memikirkan bagaimana ia memperbaiki kesalahannya, ponselnya berdering. Ia buru-buru meraih ponsel, khawatir Andina membutuhkan bantuan. Namun, ternyata yang menelepon adalah Bu Rini.
“Halo, Bu.”
“Halo, Akhyar. Kamu pergi ke kampusnya Andina sekarang. Bawa mobil juga.”
“Apa terjadi sesuatu pada Andina?” Akhyar sontak berdiri.
“Nggak. Tadi dia minta dijemput. Tapi, sekarang malah HP-nya nggak aktif. Kamu yang paling tahu kampusnya Andina. Jadi, cari dia sekarang juga.”
“Baik, Bu. Saya berangkat sekarang.”
Tanpa mematikan komputernya, Akhyar buru-buru ke apartemen untuk mengambil mobil. Ia kemudian tancap gas ke kampus Andina.
Di jam seperti ini, kampus masih ramai. Banyak junior yang mengenalnya berlalu-lalang. Bahkan, juga ada dosen dan senior yang belum lulus. Ia sempat ragu untuk turun karena malas berbasa-basi. Diteleponnya Andina, berharap wanita itu mengangkat. Namun, tak ada jawaban.
Akhyar akhirnya keluar dari mobil. Dengan langkah selebar mungkin, ia menuju ruang kelas Andina. Beberapa junior menyapanya. Akhyar membalas dengan senyum tipis.
Di ruang kelas, Akhyar bertemu dengan teman-temanya Andina yang sempat makan bersama dengannya beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, Andina tidak ada di ruangan itu.
“Andina di mana?” tanya Akhyar.
“Dia sedang ke kamar mandi. Kamu tunggu saja di sini. Itu tasnya.” Monica menunjuk tas di meja belakangnya.
Akhyar mengambil tas Andina. Ia memutuskan untuk menunggu di ambang pintu.
“Akhyar, apa tanggal dua puluh tiga, kamu dan Andina ada rencana?” Monica bertanya dengan senyum yang tampak seperti palsu.
Sebelum menjawab, Akhyar menatap langit-langit. Tanggal dua puluh tiga, hari Minggu. Ia tidak punya jadwal apa pun.
“Aku dan Andina nggak ke mana-mana tanggal segitu. Ada apa?”
“Aku mau mengundang kalian ke pernikahan kakakku. Ya, walaupun kalian nggak kenal dengan kakakku, aku harap kalian bisa datang. Semakin ramai, semakin bagus. Undangan di rumah sisa beberapa. Jadi, aku akan kirim undangannya kalau kalian bisa datang. Soalnya, yang datang harus bawa undangan biar bisa masuk.”
Akhyar mengangguk. “Baik. Kirim saja. Kami akan datang.”
“Terima kasih. Aku akan kirim undangannya sore ini.”
Tidak berapa lama, Andina datang. Keningnya mengerut, bingung dengan Akhyar yang tiba-tiba muncul di kampusnya.
“Kamu kenapa ada di sini?” Andina mengambil tasnya yang ada di tangan Akhyar.
“Aku mau menjemputmu. Bu Rini tadi meneleponku. Kamu nggak bisa dihubungi, makanya aku langsung ke sini.”
“Oh. Baterai HP-ku habis. Kalau begitu, ayo pulang.” Andina melambaikan tangan ke teman-temannya. “Aku pulang duluan, ya. Sampai ketemu minggu depan.”
Tanpa melihat respons teman-temannya, Andina meninggalkan ruang kelas itu. Ia berjalan di depan.
“Oh ya, tadi Monica bilang akan mengirim undangan. Dia mengundang kita ke pernikahan kakaknya.”
Andina berhenti melangkah. “Kamu menolaknya, ‘kan?”
“Aku bilang kita akan datang.”
Andina berdecak. “Kenapa kamu nggak tolak? Sejak tadi, aku sudah berusaha untuk menghindar dari percakapan soal pernikahan kakaknya Monica. Aku nggak enak nolak, tapi aku juga nggak bisa datang.”
“Kenapa? Bukannya kamu paling suka dengan pesta?”
“Kamu lihat baju yang aku pakai!” ketus Andina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments