Andina Kecelakaan

Hari pertama Akhyar bekerja di Hotel Teratai Putih akhirnya dimulai. Sebagai seorang manajer, ia langsung mencari apa yang salah dalam pengelolaan hotel. Lokasi Hotel Teratai Putih cukup bagus. Namun, ada beberapa pesaing yang baru berdiri dua tahun belakangan ini. Dari ruangannya, Akhyar bisa melihat dua hotel saingan itu.

Pintu ruangan Akhyar diketuk oleh seseorang.

“Masuk!” seru Akhyar.

Yang muncul adalah seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Akhyar terlonjak dari kursinya. Ia berdiri, segera menyambut pria yang baru datang itu.

“Silakan duduk, Pak.” Akhyar menunjuk sofa di depan mejanya.

Pak Syarif mendekat ke jendela. Ia menatap hotel saingannya yang semakin berkembang. “Aku tidak tahu apa yang salah. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Aku mencoba untuk membuat semua fasilitas di hotel ini dalam kondisi baik. Setiap komplain, diselesaikan demi kepuasan tamu hotel. Tapi, tetap saja orang yang menginap di hotel ini semakin sedikit.”

Sejenak, Pak Syarif menoleh pada Akhyar. Ia kemudian menghampiri kursi sang pemilik ruangan.

“Orang yang menduduki kursi ini sebelumnya adalah sahabatku. Aku sangat percaya padanya karena aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Tapi, namanya manusia.” Pak Syarif tertawa. “Uang sering membutakan manusia. Dia lupa dengan orang yang membantunya berada di titik sekarang.”

“Apa orang itu yang—“

“Ya. Dia yang menipuku. Setelah memanipulasi berkas keuangan hotel, mengambil uang operasional, dia belum puas juga. Dia ingin aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Karena dia sahabatku, tanpa pikir panjang, aku langsung setuju waktu dia menawarkan sebuah investasi. Aku tidak punya waktu untuk mencari tahu invetasi itu. Aku lupa, orang yang kamu kenal sekali pun bisa menjadi pemangsa kalau sudah berhadapan dengan uang.”

Pak Syarif berbalik. Ia menaikkan kedua bahu, lalu menurunkannya kembali. “Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Aku hanya ingin mengatakan, jangan coba-coba berpikir untuk mengambil sesuatu dariku. Karena kalau aku tahu ada yang hilang dari perusahaan ini dan kamu pelakunya, kamu akan menyesal.”

Raut wajah Akhyar seketika berubah. Tujuan Pak Syarif datang ke ruangannya bukan untuk berbasa-basi atau menyambutnya sebagai karyawa baru, melainkan untuk memperingatkannya.

“Tentu saja saya tidak akan mengambil apa pun dari sini, Pak.” Akhyar menghela napas. Ia berusaha untuk tidak terlihat terintimidasi. “Saya akan memastikan semua tetap seperti ini ketika saya pergi nanti. Dan, sepertinya saya perlu menegaskan juga pada Pak Syarif. Saya menikahi Andina karena balas budi. Saya juga bekerja di sini karena balas budi.”

“Bagus kalau kamu berpikir seperti itu.” Pak Syarif menepuk pundak Akhyar tiga kali, lalu meninggalkan ruangan itu.

Akhyar bergeming hingga pintu menutup kembali. Ia duduk di kursinya sembari tertawa sinis. Matanya yang tajam menatap sekeliling. Ia merasa buang-buang waktu memikirkan hal terbaik yang bisa membawa perubahan pada Hotel Teratai Putih. Untuk apa memikirkan hal itu jika ia akan meninggalkan pekerjaannya setelah bercerai dengan Andina nanti?

Hidup terasa lucu untuknya. Kadang, ia merasa harus bersungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu. Namun, terkadang semua usaha yang dilakukannya terasa sia-sia. Bahkan, sebelum memulai. Niat baik belum tentu mendapatkan sambutan yang baik dari orang lain. Itu yang dialami Akhyar sekarang.

Ponsel Akhyar berbunyi tepat ketika ia hendak meraih tetikus. Ditatapnya layar ponsel yang menampilkan nama Andina.

Akhyar memutar bola matanya. Diambilnya ponsel itu, lalu menggeser tombol hijau.

“Ada apa?” Akhyar bertanya dengan nada yang ketus.

“Tolong jemput aku di rumah. Aku membawa barang-barang yang tertinggal.”

Akhyar meletakkan ponsel. Ia membiarkan ponsel itu beberapa saat. Sudah cukup ia mendengar ocehan Pak Syarif tadi. Ia tidak ingin mendengar suara putri dari pria itu.

Hampir lima menit, Akhyar hanya bergeming. Ia menarik napas sedalam mungkin, lalu membuangnya perlahan. Ia mengulanginya beberapa kali.

Setelah merasa lebih tenang, ia kembali menempelkan ponsel di teling.

“Akhyar!” Andina berteriak entah sudah berapa kali.

“Maaf, aku nggak bisa jemput kamu. Aku baru mulai bekerja. Banyak yang harus aku pelajari di sini agar bisa sedikit berguna untuk perusahaan.”

Tanpa mendengar respons dari Andina, Akhyar menutup telepon. Ia bahkan mematikan ponselnya agar Andina tidak mengganggunya lagi. Ia kemudian mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya.

***

Akhyar baru mengaktifkan ponselnya setelah jam makan siang hampir usai. Ia makan di restoran pertigaan jalan karena harga makanan di sana lebih murah. Ia harus menghemat pengeluaran. Apalagi, ia masih harus menabung untuk biaya hidup selama mencari pekerjaan setelah keluar dari Hotel Teratai Putih nanti.

Begitu ponselnya terhubung dengan jaringan internet, muncul beberapa notifikasi chat dan telepon tak terjawab. Dari Andina, Bu Rini, Bu Nani, dan Pak Syarif.

Akhyar membaca chat dari Bu Nani karena ibunya yang paling utama untuknya. Matanya sontak membelalak begitu membaca chat itu.

‘Andina kecelakaan. Cepat datang ke Rumah Sakit Cahaya Medika.’

Akhyar buru-buru memesan taksi online. Ia membaca chat yang dikirim oleh Andina, Bu Rini, dan Pak Syarif. Semua menanyakan keberadaannya.

“Goblok!” umpat Akhyar di pinggir jalan hingga beberapa orang menoleh ke arahnya.

Begitu taksi yang dipesannya datang. Akhyar melompat masuk. Ia mencoba menelepon Bu Nani. Namun, teleponnya tidak diangkat. Karena khawatir dengan kondisi Andina, Akhyar beralih ke nomor Bu Rini.

Kali ini, yang diteleponnya mengangkat.

“Dari mana saja kamu? Kenapa kamu nggak ngangkat telepon dari tadi? Kamu nggak tahu apa yang terjadi? Andina kecelakaan. Ini semua gara-gara kamu!”

Akhyar tidak menjawab. Ia mengakui kalau apa yang terjadi pada Andina salahnya. Seandainya ia mengiakan untuk menjemput Andina tadi, ini tidak akan terjadi.

Dari suara Bu Rini, Akhyar menarik kesimpulan bahwa Andina baik-baik saja. Tak ada kesedihan yang terdengar, hanya amarah yang meledak-ledak.

Akhyar tidak takut untuk menerima amukan Bu Rini. Ia tetap pergi ke rumah sakit.

Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Akhyar masih terus mencoba menelepon ibunya. Untungnya, Bu Nani mengangkat sebelum ia sampai.

“Bagaimana kondisi Andina, Bu?” tanya Akhyar.

“Kamu dari mana saja, Yar? Berapa kali Ibu menelepon kamu?”

“Maaf, Bu. Tadi HP-ku dinonaktifkan.”

“Cepat kamu datang ke sini. Ibu tunggu di lobi.”

“Iya. Aku hampir sampai, Bu. Tapi, bagaimana dengan Andina. Dia baik-baik saja, ‘kan?”

“Syukurnya, dia baik-baik saja. Dia hanya syok.”

“Kandungannya juga?”

“Iya. Dia dan kandungannya baik-baik saja.”

Akhyar membuang napas lega. Ia menyandarkan punggungnya. Setelah memastikan kondisi Andina, ia bisa lebih tenang.

Tidak berapa lama, Akhyar sampai di rumah sakit. Ia berlari menghampiri Bu Nani. Mereka kemudian bergegas ke ruang rawat Andina.

Di pintu ruang rawat Andina yang terbuka, Akhyar berdiam diri. Ia menatap wanita yang terbaring di ranjang. Wajah wanita itu pucat dan ada perban kecil di bagian kening.

Lagi-lagi kekesalan yang sempat memenuhi dada Akhyar tadi pagi lenyap seketika, berganti dengan rasa bersalah yang mendalam.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!