Akhyar sengaja menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun selama dalam perjalanan. Kemampuan menyetirnya tidak terlalu baik karena jarang digunakan. Jadi, ia harus benar-benar fokus.
Sesampainya di apartemen, begitu menutup pintu, Akhyar langsung berkata, “Lain kali, bilang padaku situasinya sebelum aku sampai. Kamu tahu, aku sangat terkejut waktu melihat kamu dikelilingi orang-orang itu.”
Andina menghela napas. “Iya. Aku minta maaf. Aku sengaja nggak bilang karena aku yakin kamu nggak akan datang kalau sudah tahu ada mereka di sana.”
Akhyar tidak menjawab. Apa yang dikatakan oleh Andina benar. Ia tidak akan datang kalau tahu situasi yang sebenarnya. Jika datang pun, ia akan menunggu di mobil.
“Lain kali, jangan seperti ini lagi.” Akhyar memperingatkan Andina, lalu masuk ke kamarnya.
Andina menatap Akhyar hingga masuk ke kamar. Ia menggigit bibir bawahnya. Sejak awal, ia tidak bisa mengendalikan Akhyar. Dan, semakin lama, pria itu akan bertindak sesuka hati padanya.
Sebelum ini, ia masih punya keberanian untuk memerintah Akhyar karena Bu Nani bekerja di rumahnya. Sekarang berbeda. Ia tidak punya siapa pun yang bisa dijadikan untuk mengancam Akhyar.
Saat membukan pintu kamarnya, Andina mengingat apa yang dilakukan Akhyar tadi di restoran. Pria itu bahkan berani mencium tangannya begitu saja. Jantung Andina berdebar. Dalam kepalanya muncul pemikiran aneh. Bagaimana kalau Akhyar benar-benar suka padanya? Bukankah pria itu akan menjadikan pernikahan ini sebagai kesempatan? Di balik sikap dinginnya selama ini, bisa saja Akhyar memendam rasa.
Andina menggeleng. Ia berusaha membuang pikiran buruk itu. Namun, satu yang ia sadari. Dirinya harus waspada terhadap Akhyar.
Hari ini benar-benar melelahkan. Seharian, bersama dengan teman-temannya, tak ada waktu untuknya bersantai. Ia selalu dicecar pertanyaan yang membuat tak nyaman.
Andina melepas bajunya. Matanya berkaca-kaca, melihat perutnya yang mulai membesar. Ia mengusap perutnya tiga kali, lalu memejamkan mata. Sebisa mungkin, ia berusaha mengingat senyuman Ronald. Sialnya, senyuman pria itu semakin memudar dalam ingatannya walaupun terakhir kali ia berbincang dengan pria itu baru sebulan yang lalu.
“Apa ini akan berakhir seperti keinginanku?” gumam Andina. Ia menghela napas.
Dimbilnya ponsel, lalu membuka galeri foto. Satu-satunya yang bisa menghibur dirinya sekarang adalah menatap foto Ronald, pria yang dicintainya. Ayah dari anak yang dikandungnya.
Sungguh, Andina menyesal karena telah melewati batas. Ia terlena dalam cinta hingga menyerahkan hidupnya pada Ronald. Pujian, rayuan, dan kata-kata manis pria itu telah memerangkap dirinya. Dan, ia tidak bisa kabur lagi sekarang. Lagi pula, ia tidak ingin kabur. Ia ingin berada di samping Ronald selamanya.
Sebagian besar orang beranggapan bahwa Andina adalah wanita yang sangat beruntung. Hidup dalam kemewahan, punya kedua orang tua lengkap yang menyanginya, dan semua keinginannya selalu dipenuhi.
Namun, tak ada yang tahu, sering kali ia merasa seperti boneka. Ia didandanni dengan baju-baju indah penuh warna. Dipercantik dengan polesan berbagai macam alat rias. Setiap langkahnya diatur hingga membentuk kepribadian layaknya porselen hasil pengrajin andal. Indah, mahal, tapi tetap rapuh.
Andina segera mandi. Ia kemudian mengecek kembali catatan dari dosen atas skripsinya. Melihat tanda silang di beberapa bab, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ia sudah dua kali melakukan revisi dan ini yang ketiga kali. Bukannya berkurang, tanda silang di skripnya malah semakin banyak.
Andina menutup laptop, lalu berbaring di ranjang. Dengan kehamilannya, ia tak sanggup terlalu banyak berpikir. Ia mudah lelah dan cepat pusing.
Sementara itu, Akhyar mulai bekerja di kamarnya setelah membersihkan diri. Ia mencari informasi tentang perhotelan. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa diterapkan ke Hotel Teratai Putih. Sesuatu yang bisa menarik tamu untuk menginap di hotel itu.
Karena tidak kunjung menemukan sesuatu, Akhyar tidak sadar malam telah tiba. Ia menoleh ke jendela. Ia terkejut, langit telah berubah gelap.
Buru-buru Akhyar keluar dari kamar. Sejak tadi, ia tidak mendengar suara Andina. Ia khawatir terjadi sesuatu pada wanita itu.
“Andina,” panggil Akhyar sembari mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban.
Akhyar mengetuk sekali lagi. Kali ini lebih keras. Tetap tak ada respons dari si pemilik kamar. Diraihnya gagang pintu. Untungnya, pintu itu tidak dikunci. Ia lantas membukanya perlahan.
Ternyata, Andina sedang tidur. Tubuh wanita itu terbaring di ranjang dengan kaki yang menjulur ke lantai. Berpikir posisi tidur Andina tidak bagus untuk kehamilan wanita itu, Akhyar berinisiatif untuk menaikkan kaki yang menjulur ke ranjang.
Saat Akhyar baru hendak meraih kaki Andina, sepasang kaki itu menendangnya tepat di ************. Akhyar membeku. Rasanya seperti nyawanya akan lepas dari badan.
Akhyar ambruk ke lantai sembari memegang ***********. Ia menggigit bibirnya agar tidak berteriak.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu berbuat macam-macam padaku, ya?” Andina menjauh dari Akhyar. Ia mengambil stuni gun dari laci.
Akhyar tidak sanggup menjawab, rasa sakit di selangkangannya benar-benar luar biasa. Ia memukul-mukul lantai untuk mengalihkan rasa sakit itu.
Andina mendekat dengan stun gun diarahkan pada Akhyar. “Jawab! Apa yang kamu lakukan di kamarku!”
Sejenak Akhyar akhirnya berhenti memukul lantai. Ia mematung dengan wajah menempel ke lantai.
“Akhyar, jawab!” teriak Andina. Namun, pria yang dipanggil tidak bersuara.
Rasa takut yang sempat menyelimuti Andina, perlahan berubah menjadi khawatir. “Akhyar, kamu belum mati, ‘kan? Jangan bilang kamu sudah mati.”
“Dasar perempuan bodoh!” bentak Akhyar tiba-tiba hingga Andina terkesiap. “Bagaimana mungkin aku bilang kalau sudah mati?”
Akhyar berusaha mengabaikan rasa sakitnya setelah beberapa saat. Ia menegakkan tubuhnya.
“Kenapa kamu ada di kamarku?” tanya Andina kembali.
“Aku mau memastikan kamu masih hidup atau sudah mati,” ketus Akhyar. “Kamu nggak dengar dari tadi aku mengetuk pintu?”
Andina menggeleng. “Nggak. Tadi kamu mau menyentuh kakiku.”
Akhyar mengusap wajahnya. “Sebenarnya, kamu ngapain sejak tadi? Kenapa tidur saja, posisimu berbahaya seperti itu? Kamu tahu bagaimana posisi tidurmu tadi?”
Dengan raut wajah kesal, Akhyar mempraktikkan posisi tidur Andina tidur tadi. Badan berbaring di ranjang dan kaki menjulur ke lantai. “Kamu tadi tidur seperti ini. Kalau kamu jatuh, bagaimana? Aku juga nanti yang disalahkan.”
Andina mengendurkan tangannya. Ia menunduk, menatap lantai.
Setelah menjelaskan apa yang dilakukannya di kamar itu, Akhar turun dari ranjang. Ia mendekati Andina.
“Tolong jaga dirimu sendiri. Karena kalau terjadi sesuatu padamu, bukan hanya kamu yang menanggung akibatnya. Semua orang juga akan menyalahkanku. Jangan buat balas budiku ini sia-sia. Aku sudah berkorban terlalu banyak untuk ini semua.”
Akhyar kemudian keluar dari kamar itu. Niat baiknya, membuahkan rasa sakit yang sekarang masih tersisa.
Begitu Akhyar keluar, Andina mengepalkan tangan dan membuang stun gun ke ranjang. “Andina, apa yang kamu pikirkan?” geramnya pada diri sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments