Gosip

Akhyar terjaga, mendengar Andina menjeluak. Dengan kesadaran yang masih belum terkumpul sepenuhnya, ia keluar dari kamar.

“Kenapa?” tanya Akhyar, menghampiri Andina yang sedang menghadap ke wastafel dapur.

Andina mengangkat tangan kanannya. “Aku nggak apa-apa,” ucapnya.

Kening Akhyar mengerut. Ucapan Andina sangat berbeda dengan apa yang dilihatnya sekarang. Wanita itu tampak tersiksa.

“Apa ada yang bisa aku bantu?” Akhyar tidak tega melihat Andina dalam kondisi seperti itu. Sifatnya yang satu ini memang sangat sulit dihilangkan. Ia terlalu gampang luluh di depan seorang wanita yang kesakitan.

Andina mencuci mulutnya dengan air keran. Ia lantas menegakkan tubuhnya. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia berbalik.

“Aku nggak apa-apa. Ini sudah biasa.” Andina menghela napas. “Sebaiknya, kamu baca beberapa artikel tentang perempuan hamil, deh. Biar nggak terlalu terkejut begitu. Morning sickness pada wanita hamil itu sudah biasa.”

Akhyar menghela napas. Ia bukan orang bodoh. Tanpa membaca artikel apa pun, ia tahu kalau wanita hamil biasa mual-mual.

“Kamu siap-siap aja ke kantor. Aku sudah biasa seperti ini,” kata Andina, lalu kembali ek kamarnya. “Jangan lupa bawa berkas lamaran.”

Akhyar menoleh ke arah jam dinding. Matanya sontak melebar ketika melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit.

“Woi, pagi menurutmu pukul berapa? Ini sudah siang banget!” teriak Akhyar.

Jika akan ke kantor, menurut Akhyar ini sudah sangat terlambat. Apa kata orang nanti ketika melihatnya baru datang setelah hampir jam istirahat?

“Datang saja ke kantor.” Andina memunculkan kepalanya, lalu menutup pintu kembali.

Akhyar mengepalkan tangan. Ya, apa lagi yang bisa dilakukannya sekarang? Tidak mungkin ia berada di apartemen seharian. Ia harus bekerja untuk menghidupi ibunya yang sekarang sudah berhenti bekerja dari rumah Pak Satrio.

Ketika Akhyar bersiap ke kantor, Andina juga pergi ke kampus. Ia harus menyelesaikan skripsinya secepat mungkin. Targetnya, dua bulan lagi ia skripsinya selesai. Karena kondisi tubuhnya, Andina memutuskan untuk naik taksi online.

Belum berangkat ke kantor, Akhyar sudah kelelahan. Semua dilakukannya dengan buru-buru. Mandi, pakai baju, sarapan, dan mengecek berkas-berkas dikerjakan secepat mungkin.

Ia baru berangkat setelah jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh. Ditambah kemacetan ibu kota, Akhyar semakin lama sampai di kantor.

Sesampainya di Hotel Teratai Merah, Akhyar langsung ke meja resepsionis. Ditanyakannya di mana ruangan Pak Syarif. Karena orang yang dicarinya sedang rapat di luar, ia memutuskan untuk menunggu di sofa sudut lobi.

Sembari menunggu, Akhyar duduk di sofa. Ia mengamati sekeliling. Memang tak ada yang istimewa dari hotel Pak Satrio itu. Nama Hotel Teratai Putih juga hanya sekadar nama. Memang ada kolam kecil di depan hotel, tapi di kolam itu hanya diisi air dan beberapa ikan koi.

Akhyar berdiri. Ia menghampiri meja resepsionis. “Mbak, kalau Pak Satrio datang, tolong hubungi saya, ya,” ucapnya, meninggalkan nomor ponselnya di selembar kertas.

Setelah menitipkan pesan, Akhyar pergi ke lantai delapan. Di lantai delapan, ada restoran dengan kapasitas yang tidak banyak. Ia duduk di salah satu meja. Restoran itu sangat sepi. Hanya dua meja yang terisi.

Seorang staf restoran menghampiri Akhyar. “Silakan, Pak. Buku menunya,” ucap staf restoran itu.

Akhyar mengecek buku menu. Sesuai dengan dugaannya, harga makanan di restoran itu sangat mahal. Dipesannya satu porsi nasi goreng, menu termurah di sana.

Ketika sedang menunggu nasi goreng yang dipesannya datang, satu chat masuk dari Andina.

 

‘Apa kamu bisa menyetir mobil?’

 

Akhyar langsung menjawab.

 

‘Bisa.”

 

Akhyar punya SIM. Ia belajar mengendarai mobil ketika sedang bekerja di bengkel salah satu teman kuliahnya.

Untuk menambah uang jajan, Akhyar memang beberapa kali bekerja di tempat yang berbeda. Selain di bengkel, ia juga bekerja di toko kelontong, Selain itu, ia menerima permintaan pembuatan tugas kuliah. Setelah, mengerjakan skripsi, ia berhenti dari itu semua. Ia fokus dengan skripsinya agar cepat lulus.

 

‘Tolong bawa mobil di parkiran apartemen dan jemput aku ke kafe. Aku akan mengirim alamatnya nanti. Kepalaku benar-benar sakit.’

 

‘Oke. Aku akan segera datang.’

 

Akhyar menggembungkan kedua pipinya. Ia akan menjemput Andina setelah bertemu dengan Pak Syarif.

“Eh, apa kamu sudah dengar gosip tentang anaknya Pak Satrio?”

Akhyar yang baru saja mendengar salah satu staf restoran berbicara memfokuskan indra pendengarannya tanpa menoleh.

“Gosip tentang Mbak Andina yang hamil luar nikah?”

“Kamu sudah tahu?”

“Ya, iyalah. Banyak staf di sini sudah tahu itu semua. Beruntung salah satu staf restoran tinggal dekat rumah Pak Satrio, jadi gosip menyebar cepat.”

“Tapi, itu bukan gosip, sih. Itu udah pasti fakta. Nggak mungkin Pak Satrio menikahkan putri tunggalnya dengan seorang anak pembantu. Mana pernikahannya sederhana banget. Seperti bukan pernikahan keluarga kaya. Bahkan, pernikahan saudaraku di kampung lebih mewah.”

Akhyar tidak tahan dengan percakapan dua staf restoran itu. Tamu restoran yang hampir tidak ada, membuat para staf punya banyak waktu untuk mengobrol.

“Pesanan saya dibungkus saja, Mas,” ucap Akhyar pada salah satu staf restoran, lalu melakukan pembayaran.

Akhyar meninggalkan restoran itu setelah menerima makanan yang dipesannya. Ia kembali ke lobi hotel. Tepat ketika ia hendak duduk, ponselnya bergetar. Resepsionis meneleponnya. Ia menolak panggilan itu, lalu menghampiri si resepsionis.

“Pak Syarif sudah ada di ruangan, Pak. Silakan naik ke lantai dua. Nanti belok kanan, terus jalan sampai nemu pintu yang ada tulisan HRD.”

“Terima kasih, Mbak.”

Akhyar buru-buru ke lantai dua. Untunglah ia tidak kesulitan menemukan ruangan Pak Syarif. Diserahkannya berkas lamaran yang dibawa. Semua mata yang ada di ruangan itu langsung tertuju pada Akhyar. Ia tidak tahu gosip apa lagi yang akan menyebar ketika orang-orang tahu siapa dirinya nanti. Apalagi, jabatan yang didudukinya sekarang lebih tinggi daripada staf yang sudah bekerja bertahun-tahun di sana.

“Saya akan mengantarkan Pak Akhyar ke ruangan. Silakan, Pak.” Pak Syarif menuntun Akhyar ke sebuah ruangan di lorong sebelah kiri. “Ini ruangan Pak Akhyar. Kalau ada yang Bapak perlukan, minta bantuan saya saja, Pak.”

“Terima kasih, Pak.”

Akhyar masuk ke ruang kerjanya. Ada rak berisi ratusan dokumen di sebelah kiri. Ia duduk dan merasakan kursinya yang terasa nyaman, tapi juga janggal.

“Sudahlah. Nggak usah terlalu memikirkan ucapan orang lain,” ujar Akhyar pada dirinya sendiri.

Akhyar meninggalkan ruangan itu setelah Andina mengirim sebuah alamat. Ia pulang lebih dulu ke apartemen untuk mengambil mobil, lalu menjemput Andina.

Alamat yang dikirim Andina adalah sebuah kafe. Akhyar masuk buru-buru, berpikir Andina sudah menunggu cukup lama. Namun, keningnya sontak mengerut ketika melihat Andina tidak sendiri. Ada delapan orang lagi duduk bersama wanita itu.

“Akhyar!” seru Andina, melambaikan tangan.

Akhyar ragu untuk mendekat. Ia merasakan firasat yang tidak baik. Orang-orang yang duduk bersama Andina itu tampak tertawa sembari sesekali melirik ke arahnya.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!