Hujan turun semakin deras. Petir terus mengiringi perjalanan Akhyar mencari martabak keju untuk Andina. Beberapa titik yang dilewati taksi online yang ditumpanginya juga mulai digenangi air sehingga laju mobil semakin melambat.
Sesampainya di alamat yang dikatakan oleh Andina, Akhyar tak melihat apa pun di sana. Memang ada beberapa stand makanan di pinggir jalan. Akan tetapi, tak satu pun yang buka.
“Mau turun di mana, Mas?” tanya sopir taksi.
“Di sana aja, Mas!” Akhyar menunjuk ke arah teras salah satu toko.
Akhyar kemudian diantar ke teras toko yang ditunjuknya tadi. Ia melompat dari taksi, lalu merapatkan tubuhnya ke dinding.
Petir kembali bergemuruh. Akhyar mengepalkan tangannya. Ia berbalik, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku. Dikirimnya chat pada Andina.
‘Yang jual martabaknya tutup.’
Tidak sampai satu menit, satu chat balasan masuk. Andina tidak meminta Akhyar untuk pulang, melainkan mengirim satu alamat lagi.
Akhyar menggeleng tidak percaya. “Dia pikir aku siapa? Aku cuma suami pura-puranya. Otaknya memang nggak dipake mikir, ya,” ucapnya menggerutu sendiri.
Meski dengan hati yang dongkol, Akhyar tetap pergi ke alamat yang dikirim Andina. Untungnya, kali ini ia langsung menemukan stand penjual martabak. Namun, taksi yang ditumpanginya tak bisa masuk mengantarkan langsung ke depan penjual martabak itu. Masih ada jarak tiga meter ke depan stand si penjual.
Akhyar melompat dari mobil. Ia menaruh tangan di kepala untuk menghalangi hujan. Walaupun tidak basah kuyup, ia bisa merasakan air hujan di bajunya.
“Pesan martabak kejunya dua porsi, Pak,” kata Akhyar.
“Iya, Mas.”
Akhyar menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sendiri. Ia mencoba mengusir dingin yang semakin terasa. Ditontonnya penjual martabak yang sedang menyiapkan pesanan pembeli yang lebih dulu datang.
Sembari menunggu, Akhyar kembali mengingat kejadian di supermarket. Andina sudah sering menatapnya dengan mata yang tak ramah. Namun, tidak dengan Sania. Sejak pertama kali bertemu, Sania selalu baik padanya. Karena itu, saat Sania mengatakan jatuh cinta padanya, ia langsung menerima wanita itu.
Untuk pertama kali, Akhyar melihat kemarahan di mata Sania kemarin. Mantan kekasihnya itu seolah ingin membunuhnya saat itu juga. Benar-benar tatapan yang sangat berbeda dari seorang Sania.
“Mas, ini martabaknya,” kata si penjual.
Akhyar terkesiap. Ia tersenyum bingung, lalu membayar pesanannya itu.
Hujan semakin deras. Akhyar memesan taksi online. Cukup lama ia menunggu hingga seorang driver mengambil order-annya. Sialnya, lagi pengemudi taksi online itu kesulitan menemukan titik lokasi yang tepat karena aplikasi yang error.
Terpaksa Akhyar ke pinggir jalan setelah meminta satu kantong plastik lagi agar martabak di tangannya tidak basah. Ia membiarkan tubuhnya terkena hujan.
Untungnya, taksi yang dipesannya sudah mengarah padanya sehingga ia tak sampai benar-benar basah kuyup. Namun, ia tetap bisa merasakan air hujan di bajunya setelah duduk di jok belakang taksi.
“Maaf ya, Pak. Saya baru pertama kali ke daerah ini,” kata sopir taksi.
“Nggak apa-apa, Pak.”
Setelah perjalanan yang cukup dingin, Akhyar sampai di apartemen. Sekeliling tampak sepi karena masih dini hari. Diketuknya pintu apartemen. Hampir sepuluh menit Akhyar berdiri di depan pintu. Suara yang memanggil Andina dan ketukannya semakin kencang.
“Oh, maaf.” Andina membuka pintu sembari mengucek mata.
“Apa kamu ketiduran?” Akhyar menatap tidak percaya.
Tanpa rasa bersalah, Andina cengengesan.
Akhyar masuk dengan kepala terus menggeleng. Ia meletakkan martabak yang dibelinya di atas meja. Tanpa mengatakan apa pun, ia pergi ke kamarnya.
Di kamar, Akhyar berdiri di depan cermin. Ia menghela napas ketika menatap pantulan dirinya di cermin itu. Tangannya mengepal, menahan kesal. Ia merasa seperti pria yang tak punya harga diri. Rambutnya lepek dan bibirnya tampak pucat. Ia benar-benar kedinginan.
“Akhyar!”
Pintu kamarnya diketuk. Ia menoleh dengan dahi berkerut. Mendengar suara Andina, kalimat-kalimat penuh amarah muncul di kepala Akhyar. Ia tak yakin bisa menahan luapan amarahnya jika Andina menyuruhnya membeli sesuatu yang lain lagi.
Akhyar membuka pintu. “Ada apa?” tanyanya dengan ketus.
“Kalau nggak salah, kamar mandi di kamar ini belum ada handuk. Aku bawakan handuk, nih. Buruan ganti baju, aku ada minuman herbal biar kamu nggak masuk angin.”
Akhyar mematung. Setelah dibuat kesal, ia tak menduga Andina akan memperhatikannya seperti itu.
“Kenapa bengong? Buruan ambil handuknya, nih. Aku tunggu di ruang tamu. Nggak mungkin aku habiskan martabak itu sendirian. Sekalian bawa surat lamaran yang aku minta kemarin.” Andina meletakkan handuk yang dibawanya di bahu Akhyar, lalu pergi. Ia menghangatkan martabak yang mulai dingin di oven.
Akhyar menatap langit-langit. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah hatinya terlalu lemah sehingga bisa luluh dengan hanya satu kebaikan?
Dengan raut wajah bingung, Akhyar berbalik. Ia mengganti baju, lalu keluar lagi ke ruang tamu. Ia duduk di sofa sembari menatap segelas minuman berwarna cokelat yang masih mengeluarkan uap. Diletakkanya berkas-berkas lamaran yang sudah disusunnya dengan buru-buru di malam sebelum pernikahan.
“Itu minumannya. Habiskan sebelum benar-benar dingin biar kamu nggak masuk angin,” kata Andina, membawa martabak yang telah dihangatkan. Diambilnya berkas lamaran Akhyar.
Akhyar memakan martabak yang masih tersisa banyak. Ditatapnya Andina yang tampak serius memeriksa surat lamarannya.
“Kenapa martabaknya seperti nggak berkurang sama sekali?” ujar Akhyar.
“Oh, itu aku cuma makan sepotong. Selebihnya, nggak selera lagi.”
Mata Akhyar melebar. Martabak yang dibelinya sampai hujan-hujanan, hanya dimakan sepotong? Ia merasa dipermainkan.
“Ekspresimu nggak usah seperti itu. Namanya juga perempuan hamil. Udah tahu rasanya, ya sudah. Ngidamnya terpenuhi.” Andina meletakkan surat lamaran yang telah diperiksanya. “Besok, kamu langsung datang aja ke hotel Papa. Temui HRD yang namanya Pak Syarif, dia akan langsung mengantarkan ke ruang kerjamu.”
“Jadi, untuk apa aku beli sebanyak ini?” Akhyar menggeser piring martabak.
“Aku nggak tahu. Aku nggak pernah minta kamu buat beli sampai dua porsi. Kayak baru pertama kali menghadapi perempuan hamil aja.”
“Ya, emang ini pertama kali. Aku belum pernah satu atap sama perempuan hamil. Aneh-aneh aja.”
Andina tertawa. “Kamu dengar nggak tadi aku ngomong apa? Kamu harus menemui siapa besok?”
“Pak Syarif.”
“Bagus. Kamu buruan habiskan obat herbalnya itu. Setelah itu, kamu tidur. Aku akan bangunkan kalau sudah pagi nanti.”
“Aku nggak yakin kamu bisa bangun pagi.”
“Aku kan memang nggak akan tidur lagi.”
“Oh, iya. Kamu sudah tidur ya tadi,” sindir Akhyar seraya meraih gelas obat herbal.
Rasa hangat memenuhi tenggorokan Akhyar ketika obat herbal yang disiapkan Andina ia minum. Ia menyukai minuman itu. Dalam sejenak, dingin yang sempat menusuk pori-porinya menghilang.
“Apa nama minuman ini?” tanya Akhyar. Ingin membeli minuman yang sama untuk ibunya.
“Aku lupa. Ada di kabinet samping panci, tuh. Kalau nggak salah, Mama beli waktu dari Singapura.”
Mendengar ucapan Andina, Akhyar langsung memalingkan wajah. Tidak mungkin ia ke Singapura hanya untuk membeli obat herbal itu.
Andina berdiri. “Besok, jangan permalukan aku di kantor,” tegasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Enung Samsiah
memang minuman apa sih dr sungapura ni jauh,,,
2023-05-30
0