Ngidam

Akhyar dan Andina sampai di apartemen. Mereka kembali ke kamar masing-masing sembari membawa kantong belanjaan.

Akhyar mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Saat matanya terpejam, raut wajah Sania penuh luka muncul di kepalanya. Dadanya sesak melihat kesedihan di mata wanita yang pernah mengisi hari-harinya itu.

Karena kelelahan, tanpa sadar Akhyar tertidur. Ia baru terjaga ketika langit telah berubah gelap. Buru-buru diperiksanya jam di ponsel. Matanya sontak melebar ketika melihat ternyata sekarang sudah pukul dua puluh.

Akhyar keluar dari kamar. Ia melangkah pelan sembari menatap sekeliling. Apartemen itu terasa sepi. Tak ada suara yang terdengar.

Perut Akhyar berbunyi. Ia berjalan ke dapur hendak mencari apakah ada yang bisa dimasak. Saat mendekati kompor, ia mendapati nasi goreng di wajan.

Akhyar berkacak pinggang. Ia bingung siapa yang memasak nasi goreng  itu. Ditatapnya ke arah kamar Andina. Ia perlahan menggeleng, berpikir tidak mungkin Andina yang memasak.

Perut Akhyar kembali berbunyi. Ia tidak peduli lagi siapa yang memasak nasi goreng itu. Diambilnya piring, lalu mengambil makanan yang ada di depannya. Ia tersenyum lebar karena tanpa perlu membuang waktu untuk memasak, ia bisa mengisi perut.

Akhyar duduk di meja makan. Saat ia memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulut, satu rasa yang tak enak menyebar di lidah. Ia mencoba sekuat tenaga untuk menelan makanan itu. Namun, pada akhirnya ia terbatuk. Ia berlari mengambil air minum. Diteguknya hingga tiga gelas.

“Makanan apa itu?” Dada Akhyar naik turun.

Lidahnya masih terasa aneh. Dari penampilan, nasi goreng itu terlihat biasa saja. Namun, rasanya benar-benar buruk. Pedas dan asin menjadi satu. Rasa pedas dan asin itu benar-benar tidak bisa ditolerasi oleh lidahnya.

 Akhyar mengambil piring dari meja, lalu membuang nasi goreng di piring itu ke tempat sampah di sudut dapur. Kepalanya terasa pusing setelah memakan nasi goreng dengan rasa yang aneh dan perut yang lapar. Piring di tangannya jatuh hingga pecah.

Akhyar berdecak kesal. Ia mengambil pecahan piring di lantai.

“Ada apa? Kenapa piringnya pecah?”

Akhyar menoleh ke belakang. Andina berdiri dengan baju piama berwarna merah muda di sana.

“Siapa yang memasak nasi goreng itu?” tanya Akhyar pada Andina.

“Aku yang memasaknya. Kenapa? Kamu makan nasi gorengnya?” Andina tertawa. “Bagaimana rasanya? Enak?”

Akhyar menatap sinis. “Itu adalah makanan terburuk dari makanan yang pernah masuk ke mulutku. Itu bahkan nggak pantas disebut makanan. Itu seperti racun.”

Bukannya tersinggung, Andina malah tertawa. “Makanya, kalau ada makanan jangan asal dimasukkan ke mulut. Tanya dulu, punya siapa.”

“Argh!”

Akhyar benar-benar tidak bisa fokus sekarang. Tangannya terkena pinggir pecahan kaca. Ia merintih kesakitan ketika darah mulai keluar dari luka di ujung jari tengahnya.

“Astaga, kamu benar-benar ceroboh, ya.” Andina menggeleng. Ia berdiri, kemudian pergi ke kamar. Tidak berapa lama, ia kembali dengan sebuah kotak P3K di tangan.

Andina meletakkan kotak P3K di meja makan, lalu menarik Akhyar ke arah keran. Disiramnya darah yang terus mengalir pelan di jari Akhyar. Buru-buru Andina kembali menarik Akhyar ke meja makan.

“Duduk,” perintah Andina.

Dengan sigap, Andina meneteskan antiseptik ke luka Akhyar. Ditempelnya plester agar darah tidak menetes lagi.

“Lukanya kecil. Jadi, nggak usah cengeng,” kata Andina, menutup kotak P3K.

“Memangnya aku terlihat akan menangis?”

“Sedikit.”

Akhyar memalingkan wajah. Ia memiliki trauma sendiri pada darah. Jika ada tampak ketakutan di wajahnya, itu bukan hal yang aneh.

“Semua ini karena nasi goreng yang nggak manusiawi itu,” gerutu Akhyar.

Andina kembali tertawa. Satu jam yang lalu, ia memasak nasi goreng itu berdasarkan resep di internet. Namun, ternyata rasanya benar-benar hancur dari yang diperkirakannya.

“Tunggu sebentar.” Andina membawa kotak P3K ke ke kamarnya.

Tidak sampai dua menit, Andina keluar lagi. Kali ini, ia membawa sebuah kotak. “Tadi aku memesan tiga kotak piza. Satu kotak buat kamu aja.”

“Apa tiga kotak? Sebesar ini?” Akhyar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dari kotaknya, porsi piza yang dibeli Andina seharusnya untuk tiga sampai lima orang. “Kamu sudah makan dua kotak?”

“Baru satu kotak. Dua kotak lagi, nanti aja. Aku masukkan ke oven nanti sebelum makan.”

Karena sudah sangat lapar, Akhyar langsung menyantap piza itu. Ia bahkan tidak sadar Andina kembali ke kamar. Dihabiskannya satu kotak piza dengan cepat.

“Akhirnya.” Akhyar menepuk perutnya. Diteguknya dua gelas air, kemudian pergi ke kamarnya.

Bingung mau melakukan apa, Akhyar pergi ke ruang tamu. Ia membuka aplikasi streaming di TV. Ditontonnya series yang sering dibicarakan oleh teman-temannya ketika di kampus.

Akhyar mencoba untuk kembali tidur setelah dua episode. Sialnya, ia benar-benar tidak bisa tidur lagi. Saat teringat belum membereskan pecahan kaca tadi, buru-buru ia mengerjakannya sebelum terinjak olehnya. Ia kemudian kembali menonton TV di ruang tamu.

Tidak terasa, jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Akhyar menoleh ketika mendengar suara pintu kamar Andina dibuka.

“Ada apa?” tanya Akhyar.

“Aku mau minta tolong,” kata Andina.

“Minta tolong apa?”

“Belikan martabak keju.”

“Beli martabak keju?” Akhyar menatap ke jam dinding. “Sudah pukul berapa ini?”

Andina memutar bola matanya. “Memangnya, kamu nggak tahu? Ngidam itu nggak pernah punya waktu teratur. Bisa ngidam apa aja dan kapan aja.”

Akhyar menggaruk kepalanya. Ia menatap perut Andina. Bukan dirinya yang mmebuat Andina hamil, lalu kenapa ia yang harus repot memenuhi ngidam wanita itu?

“Kalau kamu nggak mau, ya sudah. Aku pergi sendiri.” Andina berbalik.

“Sudah gila ya ini perempuan.” Akhyar melompat dari sofa. Ditangkapnya tangan Andina. “Apa benar-benar nggak bisa ditunda? Piza yang tadi masih sisa satu kotak lagi, ‘kan?”

“Aku lagi nggak mau piza. Aku mau martabak keju,” tegas Andina.

Akhyar berkacak pinggang. Ditatapnya lantai, mempertimbangkan apa yang seharusnya ia lakukan.

“Kamu mau belikan atau tidak?” tanya Andina. “Kalau kamu nggak mau biar aku yang pergi.”

“Jam segini mana mungkin ada penjual martabak yang buka?”

“Ada. Di Jalan Kamboja, setelah lampu merah. Ada yang buka dari tengah malam sampai pukul tujuh. Aku pernah beli.”

Akhyar menghela napas. “Oke. Aku belikan. Kamu tunggu di sini. Perempuan hamil memang merepotkan, ya.”

“Coba kalau kamu tahu bagaimana rasanya hamil, pasti kamu nggak akan bilang kayak gitu. Belikan martabak doang, bukan bawa bayi ke mana-mana sembilan bulan udah cerewet aja.”

Akhyar ke kamar untuk mengambil jaket. Ia lantas bergegas pergi. Saat sampai di lobi hotel, hujan turun dengan deras. Petir terus muncul beberapa kali.

Sebuah chat dari Andina masuk ke ponsel Akhyar ketika ia hendak berbalik.

‘Naik taksi online saja. Aku sudah transfer uangnya ke rekeningmu.’

Akhyar membaca  chat itu dengan perasaan kesal. “Aku bukan ayah bayi itu,” gerutunya yang dibalas langsung dengan guntur yang sangat kencang.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!