Akhyar turun dari mobil. Ia mengeluarkan koper dari bagasi, lalu menarik dua koper ke arah lift. Ia memelankan langkahnya agar Andina bisa menyusul.
“Lantai berapa?” tanya Akhyar setelah Andina berdiri di sampingnya.
“Lantai dua puluh satu.”
Akhyar mengangguk.
Pintu lift terbuka. Mereka masuk dan Akhyar langsung menekan angka dua puluh satu.
Sesampainya di lantai dua puluh satu, Akhyar keluar dari lift sembari menatap kiri dan kanan. Ia membayangkan berapa harga satu unit apartemen itu. Selain letak yang strategis, dari luar gedung apartemen terlihat mewah.
Andina membuka pintu. “Kamarmu ada di sana!” tunjuknya pada kamar sebelah kanan.
Tanpa mengatakan apa pun, Akhyar menarik kopernya ke kamar yang ditunjuk oleh Andina. Ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu dua kali lebih besar dari kamarnya di rumah.
Akhyar mengeluarkan bajunya dari koper dan menyusunnya ke lemari. Belum selesai ia mengeluarkan semua baju, pintu kamar diketuk oleh seseorang.
“Ada apa?” tanya Akhyar.
“Ayo belanja. Di kulkas nggak ada apa-apa.”
Akhyar mengikuti Andina keluar. Mereka pergi ke supermarket terdekat menggunakan taksi online.
Sesampainya di supermarket, Andina mengeluarkan ponsel. Ia membuka catatang yang sudah disimpannya.
"Kamu sudah menyiapkan daftar barang yang mau dibeli?” celetuk Akhyar. Ia tidak menyangka Andina bisa memikirkan hal itu.
“Mama yang membuat catatannya semalam.”
“Hah?” Akhyar melongo. Ia lantas menggeleng. Memang sudah seharusnya ia tidak berekspektasi apa pun pada Andina.
Mereka pun menjelajahi supermarket. Andina mengambil satu per satu barang-barang yang ada di dalam catatannya. Akhyar juga mengambil barang yang kemungkinan nanti dibutuhkannya.
Saat mereka menuju rak bumbu dapur, Akhyar berhenti.
“Memang kamu mau masak?” tanya Akhyar.
“Iya. Masak mi instan. Aku suka masak mi pakai bawang goreng, daun bawang, seledri, sawi. Memangnya kamu selalu polos gitu aja kalau masak mi.”
“Nggak juga. Cuma terkejut aja kamu mau beli bumbu dapur.” Akhyar mendorong troli.
Andina mendengkus. “Ternyata, selama ini kamu selalu menganggap aku nggak bisa ngapain-ngapain, ya.”
“Memang kamu nggak bisa ngapa-ngapain, ‘kan?”
Andina mempercepat langkahnya. Seandainya ia tidak membutuhkan bantuan Akhyar saat ini, ia pasti sudah memaki pria itu.
Saat sedang ke arah rak bawang merah, seseorang menyenggol Andina hingga hampir saja terjatuh. Untung Akhyar dengan sigap menangkap pinggang wanita itu.
“Matamu itu cuma pajangan, ya?” gerutu Andina sebelum melihat siapa yang menyenggolnya. “Sania?”
Bukannya menatap Andina yang mengomel padanya, Sania malah menatap Akhyar penuh dengan kemarahan.
“Bukannya kamu mau ke Paris?” kata Akhyar.
“Apa pedulimu? Aku mau ke Paris atau nggak, itu terserah aku.” Tatapan Andina kemudian bergeser pada Andina, lalu pindah lagi ke troli yang ada di samping Akhyar. “Kalian tinggal serumah atau gimana? Selama kamu pacaran dengan aku, kamu nggak pernah menemani aku belanja seperti ini, Yar.”
Andina yang kesal karena disenggol, mendorong Akhyar agar mundur sedikit. “Kamu mau tahu kenapa kami belanja bareng? Akan aku katakan, tapi kamu harus terima kenyataan ini.”
Akhyar menarik tangan Andina. Ia tidak tega melihat Sania sedih karena kata-kata yang akan diucapkan istrinya itu.
Namun, Andina mengempaskan pegangan Akhyar. Ia malah mengangkat pergelangan tangan pria itu.
“Kamu lihat cincin di jarinya?” Andina berkata dengan dagu terangkat. “Lihat juga di jariku. Ini adalah cincin pernikahan kami.”
Kening Sania mengerut tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. “Nggak mungkin. Baru semalam kamu bilang akan menikah. Nggak mungkin kalian langsung begitu saja.”
“Kamu yang bertanya tadi. Setelah aku katakan yang sejujurnya, kamu malah nggak percaya.” Andina menyilangkan tangannya di dada.
“Andina, sudah. Ayo kita pergi.” Akhyar menarik lengan Andina dan troli sekaligus.
“Tunggu.” Sania mengusap wajahnya. “Apa selama ini kamu memang sudah punya hubungan dengan dia di belakangku, Yar? Kamu selingkuh selama ini?”
Akhyar tidak menjawab. Ia pergi meninggalkan Andina dan Sania menuju kasir. Andina berlari menyusul.
“Kenapa kamu pergi begitu saja?” Andina menyikut lengan Akhyar yang berdiri di antrean.
Akhyar menatap tajam. “Kamu nggak punya perasaan atau memang suka melukai hati orang lain?”
“Dia sendiri yang mulai. Kalau dia nggak bersikap seperti itu tadi, aku juga nggak mungkin mengatakan hal-hal seperti itu. Menikah denganmu bukan sesuatu yang membanggakan, Akhyar. Kamu harus tahu itu. Kamu lihat sendiri apa yang dia lakukan. Dia pasti sengaja menyenggolku.”
Berdebat dengan Andina, hanya akan membuat amarahnya semakin memuncak. Akhyar lantas memalingkan wajah, tak mau merespons lagi.
Saat mengeluarkan barang-barang yang ada di troli ke meja kasir pun Akhyar tidak mengatakan apa pun. Ia juga memisahkan barang yang milik Andina dan barang miliknya sendiri. Ia kemudian membayar barang-barangnya dan membiarkan Andina membayar barang wanita itu.
Kasir yang melihat tingkah Akhyar dan Andina sampai bingung. Sebelumnya, kasir itu berpikir Akhyar dan Andina adalah pasangan yang sedang belanja kebutuhan keluarga. Namun, yang dihadapinya terlihat berbeda.
Walaupun terlihat tampak tidak peduli, Akhyar tetap membawa kantong belanjaan Andina ke pinggir jalan. Ia bahkan memesan taksi online.
Di belakang, Andina tertawa. Ia melihat tingkah Akhyar sangat lucu. Pria itu tampak seperti bocah yang sedang merajuk.
“Padahal, aku masih mau membeli beberapa bumbu dapur lagi tadi,” celetuk Andina di samping Akhyar.
Ucapan Andina tidak mendapatkan respons dari pria yang sedang memesan taksi online itu. Akhyar tetap menatap layar ponsel, mengikuti sebuah titik yang bergerak ke arah mereka.
“Aduh!” Andina memegang perutnya.
Sontak Akhyar menoleh. “Ada apa? Kita ke rumah sakit sekarang.”
Hampir saja Akhyar menekan tombol cancel di aplikasi taksi online yang dibukanya. Kedua alisnya kemudian hampir bertautan saat Andina tertawa.
“Kamu ini benar-benar seperti anak kecil,” kata Andina.
“Apa maksudmu? Kamu nggak benar-benar sakit?”
Andina menggeleng. “Aku berpura-pura agar kamu sadar. Dari tadi aku ngomong kamu diam aja.”
“Jangan biasakan ini. Kalau kamu beneran sakit dan aku nggak peduli, bagaimana? Kamu mau terjadi sesuatu pada kandunganmu.” Akhyar berkata dengan tegas dan sorot mata yang tajam. “Ingat, Andina. Bayi itu nggak ada hubungannya denganku. Jangan sampai aku benar-benar nggak peduli. Kamu harus menjaga sikap.”
Seketika Andina merasa dirinya tertampar sangat keras dengan ucapan Akhyar. Ia mengangguk dan sadar. Ia bergantung pada orang lain sekarang. Sudah seharusnya, ia tahu diri. Posisinya bukan lagi di atas, melainkan pemohon.
Andina memegang perutnya. Ia berharap bayinya juga kuat untuk menghadapi apa yang terjadi.
Taksi datang. Akhyar masuk sembari membawa kantong belanjaan. Andina mengekor dengan raut wajah yang berbeda.
Sopir taksi online yang melihat ekspresi dua penumpangnya lewat kaca spion menggaruk kepala. Ia yang biasanya berbasa-basi dengan setiap penumpang memutuskan untuk mengunci mulutnya. Hanya melihat sekilas, tapi terlihat jelas kalau kedua penumpangnya itu adalah pasangan suami istri yang sedang bertengkar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments